Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Perawan pendamping kematian

Purnomo's picture

 “Apa kamu sanggup mencarikan perawan berumur antara 17 – 19 tahun untuk jadi istri saya biar waktu saya meninggal nanti saya tidak sendirian?” tanya lelaki itu. Kalau duda ini masih berumur di bawah 40 tahun saya tidak akan terkejut mendengar tantangan ini. Tetapi usianya sudah kepala tujuh. Ganti ia yang terkejut ketika saya mantap menjawab, “Tidak masalah! Kapan saya antar perempuan itu ke rumah Oom?” Edan! Apa sekarang purnomo sudah alih profesi jadi germo on line?

– o –
Ketika itu saya membantu persekutuan lanjut usia di gereja dengan menangani tabungan simpan-pinjam para anggotanya. Kantor saya adalah sebuah meja kecil di depan ruang persekutuan. Usai persekutuan saya melihat seorang lelaki tua yang celingukan seperti menunggu jemputan. Sebelumnya saya tidak pernah melihatnya. Pasti ia orang baru. Saya mendekatinya dan bertanya apa ia menunggu jemputan atau perlu dipanggilkan taksi atau becak.
 
“Apa kamu pengurus persekutuan ini?” tanyanya.
“Saya bukan pengurus persekutuan ini.”
“Pengurus gereja?”
“Juga bukan.”
“Lalu kenapa tanya-tanya?”
Pertanyaan yang menjengkelkan. “Ya, daripada Oom celingukan dan tidak ada yang menanyai?” jawab saya sekenanya. “Apa Oom mencari pengurus gereja?”
“Ya”
“Untuk apa?”
“Kenapa kamu mau tahu urusan saya?”
 
Orang Kristen itu harus panjang sabar. Tetapi kadang manusia lama saya ingin dipuaskan nafsunya sehingga kata “harus” sering saya baca “seharusnya”. Sekarang obyek pemuas nafsu saya terhidang di depan mengundang air liur. Nafsu berkanibal.
“Setiap pengurus gereja itu punya kerjaan sendiri-sendiri. Jadi saya harus tahu Oom mau apa supaya saya tidak salah mencari orang. Oom mau memberi persembahan, ada petugasnya sendiri. Begitu juga kalau Oom mau konseling atau minta didoakan. Kalau Oom kepingin diomeli, petugasnya sedang keluar. Tetapi saya bisa mewakilinya kok.”
 
“Saya mau ketemu petugas gereja yang mengurusi kematian!” jawabnya ketus.
Saya memegang lengannya dan dengan agak memaksa menyuruhnya duduk di bangku di depan ruang persekutuan itu. Saya duduk di sampingnya.
“Tidak ada petugas kematian di gereja ini karena gereja sudah punya lembaga pelayanan kematian yang kantornya di tempat lain. Tetapi saya bisa mewakilinya karena sering bantu-bantu di lembaga itu.”
Ia melihat saya dengan pandangan tidak percaya.
“Setiap orang boleh menjadi anggota lembaga ini dengan membayar uang pendaftaran 10 ribu rupiah dan iuran bulanannya 1500 rupiah. Tetapi itu tidak berarti kalau ia meninggal ia mendapat peti mati gratis. Hak seorang anggota adalah ahli warisnya mendapat santunan sebesar 300 ribu rupiah dan diskon 10% untuk pembelian peti matinya. Rumah Oom di mana?”
 
Informasi yang saya dapatkan dari wawancara singkat adalah ia duda, istrinya sudah lama meninggal, tidak punya anak, hidup dari uang pensiun istrinya yang dulu pegawai negeri dan ia hidup sendirian di rumahnya.
“Dulu Oom kerja apa?”
“Pegawai negeri.”
“Di Semarang dulu kantornya di mana?”
“Kantor saya di Bengkulu.”
“Kalau kita masuk kota Bengkulu dari arah Kepahyangan, kita akan melewati jalan utama kota yang kiri kanannya toko semua. Kantor Oom di situ?” Ia tidak menjawab. “Sampai di alun-alun, jalan itu itu akan berbelok ke kanan dan ke kiri. Ke kanan kita akan ke Bengkulu Utara, jalan ke kiri akan menuju pantai. Kantor Oom di mana?”
Ia masih diam. Tetapi saya menunggu jawabannya karena saya ragu apakah ia benar-benar dulu tinggal di kota Bengkulu. “Kamu kok tahu Bengkulu?” tanyanya.
“Saya pernah jadi salesman di kota itu.”
“Sampai alun-alun, belok kiri, kira-kira 200 meter belok kanan. Ada tangsi militer di tikungan itu. Kantor saya di jalan itu.”
Apa yang digambarkannya betul. Berarti ia pernah tinggal di situ.
“Oom hidup dari uang pensiun istri. Mengapa tidak dari uang pensiun sendiri?”
“Waktu pindah ke Jakarta saya keluar dari pegawai negeri.”
“Tahun berapa itu?”
“Kurang lebih tahun 1966.”
Itu tahun di mana ada bencana melibas negeri ini. Banyak orang yang kehilangan nyawa tanpa sebab yang bisa dijelaskan. Yang tidak kehilangan nyawa, banyak yang kehilangan pekerjaan karena fitnah. Nafsu berkanibal saya menurun.
“Sekarang Oom sudah tua dan tinggal sendiri. Maaf, apa Oom tidak kuatir bila terjadi apa-apa, misalnya waktu di tempat tidur kena struk, sementara di rumah tidak ada orang lain.”
“Saya sudah titip kunci di Pak RT.”
“Apa Pak RT setiap pagi menyambangi Oom?”
“Tidak.”
“Lalu apa Oom tahan berhari-hari tergeletak tidak bisa bergerak sambil menahan lapar dan haus sampai Pak RT mencurigai Oom yang lama tidak keluar rumah lalu membuka pintu rumah dengan kunci titipan?”
 
“Kunci duplikat tidak saya titipkan pada Pak RT.”
Nah, mulai lagi.
“Mengapa?”
“Susah cari orang yang bisa dipercaya.”
“Kalau begitu cari tukang cuci yang datang satu atau dua hari sekali.”
“Cucian saya sedikit. Buat apa membayar orang menganggur.”
“Tapi setidaknya Oom butuh orang yang tahu Oom masih sehat atau sedang sakit.”
“Itu tugas seorang istri. Apa kamu bisa mencarikan istri buat saya.”
 
Bagi saya permintaan itu tidak aneh karena orangtua perlu teman curhat. Lebih baik mereka mengikat pertemanan dalam bentuk pernikahan daripada kena razia orang kampung. ‘Kan tidak lucu 2 orang sepuh diarak keliling kampung pada malam hari dengan tuduhan berzinah.
“Bisa.“
“Apa kamu sanggup mencarikan perawan berumur antara 17 – 19 tahun untuk jadi istri saya biar waktu saya meninggal nanti saya tidak sendirian?” tanya lelaki itu. Kalau duda ini masih berumur di bawah 40 tahun saya tidak akan terkejut mendengar tantangan ini. Tetapi usianya sudah kepala tujuh. Setua ini masih cari perawan? Buat apa? Ganti ia yang terkejut ketika saya jawab tanpa ragu,
“Tidak masalah! Kapan saya antar perempuan itu ke rumah Oom?”
“Dalam sebulan ini,” jawabnya menantang.
“Tetapi ada syaratnya. Pertama, sebelum dia tidur di rumah Oom sudah ada pengesahan ikatan perkawinan dari Kantor Catatan Sipil. Kedua, Oom membuat surat wasiat di depan notaris bila Oom meninggal dengan wajar maka rumah Oom menjadi milik perempuan itu. Ketiga, perempuan itu setiap bulan harus dapat uang belanja 1 juta rupiah.”
 
“Tapi saya harus melihat dulu perempuan itu. Apa betul kamu sanggup mencarikan?”
“Tidak sulit kalau melihat alamat rumah Oom harga jual rumah itu pasti paling tidak 350 juta rupiah.”
“Apa hubungannya dengan harga jual rumah saya?”
“Dalam jual beli rumah seorang perantara mendapat komisi dari pembeli dan penjual masing-masing 2½ prosen. Begitu juga dalam pekerjaan ini. Syarat ke-4, saya menerima komisi dari Oom sebanyak 2½ prosen dikalikan 350 juta rupiah. Setiap bulan dari perempuan itu saya dapat komisi uang belanja bulanan 25 ribu rupiah. Nanti waktu Oom meninggal baru perempuan itu membayar saya komisi harga jual rumah Oom.”
 
Ada orang tertawa di belakang saya. Saya menoleh, ternyata sopir gereja. “Pergi sana. Jangan menguping.”
“Pak Pur, saya minta uang dengar. Tidak cuma-cuma. Nanti saya bantu mencari perawan ting-ting dari desa saya. Ndak susah kalau persyaratannya seperti itu. Buat saya, 3 juta rupiah cukup. Satu kali bayar saja.”
 
Lelaki tua itu berdiri dengan wajah kesal. Tanpa pamit ia berjalan meninggalkan saya.
“Mau ke mana, Oom?” tanya saya sambil berjalan di sampingnya.
“Mau ke kantor pengurus kematian.”
“Yok saya antar. Saya juga mau pergi ke tempat yang searah dengan kantor itu. Saya bawa mobil,” kata saya sambil menunjuk mobil saya di area parkir gereja.
“Itu mobil gereja?”
“Biar jelek ini mobil saya sendiri. Ndak usah kuatir, Oom. Saya tidak minta ongkos. Gratis kok.”
Dalam perjalanan menuju kantor LPK saya berbicara sendiri karena ia menulikan telinga tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.
 
Di kantor LPK kami dilayani oleh wakil direkturnya. Ia dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan lekaki tua ini.
“Harga peti mati paling murah 2 juta rupiah? Apa tidak ada yang lebih murah lagi?” tanyanya.
“Oom, itu yang paling murah. Dan harga itu adalah harga modalnya karena kami tidak mengambil untung dari mereka yang kurang mampu.”
“Apa tidak bisa 1 juta rupiah?”
“Tidak bisa, Oom.”
“Rud, begini saja,” kata saya kepada manajer LPK itu. “Apa tidak bisa Oom ini bayar 1 juta rupiah sebagai biaya sewa peti mati? Sampai di krematorium, peti dibuka, jenasah dimasukkan ke tungku, peti mati bisa kamu bawa pulang ke kantor lagi?”
Rudi tertawa ngakak sementara Oom itu tidak berkomentar.
“Maaf Oom, kami tidak menyewakan peti mati. Sudahlah Oom, biar urusan pembayaran ini diurus oleh keponakan Oom. Tadi Oom bilang keponakan ada di Jakarta? Nah, saya catat saja nomor teleponnya,” dan kemudian Rudi menyarankan ia selalu membawa kartu nama LPK itu dalam dompetnya yang mencantumkan nomor telepon 24 jam.
 
Hape saya bergetar. SMS ketiga dari pengirim yang sama mengingatkan saya ditunggu rapat sebuah lembaga pelayanan Kristen. Saya sudah terlambat 20 menit.
“Oom, saya mau pergi dulu,” kata saya kepada lelaki berumur 72 tahun itu. “Sekarang urusan jenasah Oom sudah beres ‘kan? Tetapi, masih ada satu yang kurang. Kematian itu adalah peristiwa terpisahnya jiwa atau roh dengan badan. Badan Oom yang mengurusi LPK ini. Jiwa Oom apa sudah ada yang mengurusinya?”
“Maksudmu apa?”
“Apa Oom sudah tahu pasti setelah meninggal jiwa Oom akan pergi ke mana? Ke neraka, ke sorga, atau gentayangan di emper-emper toko atau di tempat-tempat gelap? Kalau saya meninggal nanti, jiwa saya langsung masuk sorga karena saya sudah memercayakan jiwa saya kepada Tuhan Yesus. Kepada siapa Oom sudah memercayakan jiwa Oom?”
“Maksudmu saya harus masuk gereja?”
“Lembaga kematian ini anggotanya datang dari berbagai agama. Tetapi semuanya tahu pasti kemana jiwa mereka akan pergi setelah badannya dikremasi atau dikubur. Oom sendiri?”
 
“Saya sudah katekisasi tapi belum dibaptis.”
“Buktinya?”
Ia mengeluarkan dompetnya, mencabut sehelai kartu nama dan menyodorkan kepada saya. Kartu nama itu milik seorang pendeta dan mencantumkan nama gereja di daerah Gunung Sahari Jakarta. Di baliknya dengan tulisan tangan pendeta itu menulis keterangan bahwa Oom ini sudah selesai katekisasi tetapi belum dibaptis. Otak saya mereka-reka. Lepas dari Bengkulu, ia ke Jakarta dan masuk ke gereja demi keamanan karena setelah tahun 1966 setiap orang lebih aman memeluk agama yang telah diakui pemerintah. Untuk itu ia ikut katekisasi tetapi menolak dibaptis. “Surat keterangan” ini selama sekian puluh tahun berada di dompetnya untuk membuktikan bahwa ia beragama resmi.
 
“Dulu, kalau kita keluar dari halaman gereja ini lalu berbelok ke kanan, maka di sebelah kanan kita ada sebuah sekolah dasar. Betul?” Ia mengangguk. “Sedangkan di sebelah kiri ada pos angkatan laut. Iya ‘kan?” Kembali ia mengangguk. “Di depan kita ada pertigaan jalan dan di situ dulu ada terminal bis kecil. Terminal bis Bungur Besar.”
“Kok kamu tahu?” tanyanya heran. Saya tidak menceritakan bahwa SD di sebelah gerejanya adalah sekolah saya seperti yang pernah saya kisahkan dalam artikel berjudul “Just a kid”. Saya lebih memilih membicarakan hal yang jauh lebih penting.
“Menyelesaikan katekisasi tetapi tidak dibaptis ibarat orang diberitahu gula itu rasanya manis tetapi ia tidak pernah memasukkan gula ke dalam mulutnya untuk membuktikan kebenaran itu. Sekarang Oom setiap Minggu pergi ke gereja mana?”
 
“Itu bukan urusanmu!” jawabnya dengan nada tinggi.
“Betul, itu bukan urusan saya. Tetapi saya mau mengingatkan kalau Oom percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juruselamat jiwa Oom tetapi tidak pernah datang beribadah di gereja, itu ibarat jiwa Oom punya rumah tetapi Oom lupa alamatnya. Tadi di gereja saya bilang ikatan perkawinan harus disahkan oleh Kantor Catatan Sipil. Tetapi untuk pengesahan itu, Catatan Sipil mengharuskan adanya surat peneguhan pernikahan di gereja. Sekarang terserah Oom mau masuk gereja atau tidak. Kalau mau masuk, juga bukan urusan saya apakah Oom masuk gereja hanya agar bisa menikahi perawan atau untuk mendapatkan tempat tinggal bagi jiwa Oom setelah kematian.”
 
Ia membuka mulut, tetapi saya mendahuluinya,
“Saya sekedar mengingatkan. Oom ‘kan sudah tua. Orang tua ‘kan banyak lupanya. Permisi,” dan segera saya keluar dari kantor itu.
Waktu mobil hampir meninggalkan halaman kantor itu, Rudi berlari menghampiri. Saya membuka kaca jendela. “Kok ada menikahi perawan segala. Bisa kamu jelaskan?” tanyanya.
Saya tertawa. “Daripada kamu nanti mengira aku mengada-ada, lebih baik kamu tanya sendiri kepada orangnya. Sudah ya, aku pergi dulu.”
 
(bersambung)

Catatan: Semua nama yang ditulis telah disamarkan kecuali nama tempat.


Normal 0 MicrosoftInternetExplorer4 Normal 0 MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman";} /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman";}

Serial Menjemput Ajal:

Bagian-1: Perawan Pendamping Kematian.

Bagian-2: Pengantin perempuan itu kerempeng sekali.

Bagian-3: Menggarap Pengantin Perempuan.

 

smile's picture

Sdr Purnomo,ceritanyaTo be continued? wah...jadi penasaran.....

Dear Sdr Purnomo...

ceritanya seru juga...Jadi penasaran menunggu lanjutannya...

Kadang saya bertanya,..kenapa ada orang tua seperti itu, dan ada anak muda sekurang ajar itu....toh dari obrolan ringan tersebut tersirat makna yang luar biasa. saya lebih suka dengan keadaaan seperti itu, ceplas ceplos tapi perduli, daripada sok alim, tapi supercuek, dan tidak mau tahu dengan keadaan orang lain, yang mungkin saja membutuhkan bantuan kita.

Sekali lagi,..saya sangat menantikan kelanjutannya...

Ditunggu.....T.Kasih

 

Smile and maybe tomorrow. You'll see the sun come shining through, for you

 

__________________

"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"

Purnomo's picture

Smile, saya memang kurang ajar

di gereja ini karena selalu mengatakan apa yang ada dalam pikiran saya. Saya berani begini karena “nothing to lose”. Saya pernah mengatakan kepada penatua kalau mereka tidak suka saya ada di gereja ini solusinya mudah. Sodori saya surat atestasi keluar maka saya akan langsung menandatangani tanpa bertanya. Tetapi mereka tidak pernah menyuruh saya keluar. Mengapa? Karena gereja ini butuh “orang jahat” seperti saya agar para petinggi tetap bisa berwajah malaikat.

 

Dalam kisah dalam artikel ini kekurangajaran saya adalah – yang pertama – mengambil keuntungan dalam mencarikan istri. Tetapi bila Anda telisik, maka Anda tahu bahwa Oom yang pensiunan itu tidak mungkin bisa menyediakan uang belanja 1 juta setiap bulan yang berarti sebetulnya saya tidak ingin ia memperistri seorang perawan. Dengan syarat ini dan yang lainnya, saya juga tidak ingin ia memperlakukan istrinya sebagai babu atau istri kontrakan.

 

Kekurangajaran saya yang kedua adalah ketika saya melakukan penginjilan kilat. Waktu yang ada sangat terbatas dan ia emosional sekaligus memandang rendah orang lain. Tetapi ini kesempatan yang harus saya pergunakan agar telinganya mendengar nama Tuhan Yesus. Penginjilan bagi saya adalah mengabarkan Kabar Baik. Apakah kemudian ia mau terima Tuhan Yesus atau tidak, itu bukan tanggungjawab saya.

 

Kekurangajaran yang lain saya tidak tahu. Tetapi bila Anda tahu, write it. Saya senang Anda menyebut saya “sekurang ajar itu” karena itu berarti Anda sudah berani berkata apa adanya seperti saya.

 

Bersabarlah menunggu kisah kekurangajaran saya berikutnya.

Salam.

 

smile's picture

Wah jadi malu nih, Sdr .Pur

Dear Sdr Purnomo....

Wah wah,..saya ceplas ceplos, yah...Itu yang saya dapat dari SS...tapi,..untuk tulisan saya ini,...saya jadi malu juga,....(karena saya pikir, itu bukan anda sesungguhnya, saya pikir itu hanya cerita yang bukan anda alami sendiri...jadi bener bener malu nih.....)

TAPI SUNGGUH.....SAYA PENASARAN BANGET DENGAN CERITA ANDA...Mohon kelanjutannya.......ditunggu banget.........P.E.N.A.S.A.R.A.N

Dan cerita anda itu pasti saya copi paste sebagai koleksi buat kumpulan cerita di LAPTOP saya,...Ijin dulu lho..Sdr Pur...hehehehe

 

Smile and maybe tomorrow. You'll see the sun come shining through, for you

__________________

"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"

Anak El-Shadday's picture

pak pur

emang susah jadi manula yang udah ga ada tempat bergantung.

kakek saya adalah orang yang relatif brengsek bagi anak-anaknya. ketika istrinya meninggal, semua anak-anaknya sepakat untuk  mencarikan istri untuk ngurusi dia, karena jika anaknya yang ngurusi bisa-bisa perang bratayudha yang terjadi.

seperti persyaratan pak pur di atas: sang istri baru mendapat belanja tiap bulan dengan besaran nominal tertentu, tapi bedanya warisan dia bukan rumah tapi ya uang pensiun itu menjadi hak full sang istri baru.

saya belajar dari hidup kakek saya untuk menjadi orang baik yang ga terlalu sering menjengkelkan orang biar nanti waktu saya tua ada orang yang merasa terbebab untuk mau sedikit meluangkan waktunya merawat saya.

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

__________________

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

Purnomo's picture

Pernikahan manula tidak populer

Suatu ketika para pengurus persekutuan manula gereja saya menerima undangan pesta pernikahan anggotanya – seorang janda dan seorang duda – yang sudah berumur di atas 70 tahun. Apa reaksi mereka? Gempar! Apa komentar mereka (di belakang sepasang merpati sepuh ini)?

“Sudah tua tidak tahu tuanya. Berkaca dong!”

“Apa mereka tidak malu kepada anak-anak dan cucu-cucunya?”

“Kalau sudah tua menikah, apanya yang dikawinkan?”

Kepada para komentator ini saya mengatakan bahwa mereka cemburu karena tidak berani melakukan hal yang sama walau mereka menginginkannya. Kekurangajaran saya ini mendapat balasan ketika suatu ketika si nenek datang ke persekutuan dengan langkah terhuyung dan di lehernya terlihat bekas kerokan. Seorang dari komentator berteriak, “Dik, ke sini Dik, Purnomo mau nanya kok lemes gitu apa tadi malam overtime?”

Weleh, saya jadi kelabakan kena fitnah ini.

Tiga tahun kemudian si nenek meninggal dengan mendadak. Waktu melayat saya melihat si Opa sangat terpukul. Anak-anak Opa berkata kepada saya, “Kami sedih kehilangan Mami untuk kedua kali.”

 

AES, saya kagum kepada keluarga Anda yang mau mengerti kebutuhan kakeknya.

Salam.

 

Purnawan Kristanto's picture

Ck..ck..ck

Ck...ck...ck... Mas Purnomo memang sabar banget dan penuh compassion. Kalau saya yang menghadapi situasi seperti itu, sejak awal sudah saya labrak si Oom itu atau saya yang kabur. Nggak tahan

 


 www.purnawan.web.id

__________________

------------

Communicating good news in good ways

Purnomo's picture

Saya tidak sesabar yang Pak Wawan duga

Kesabaran saya seperti seorang yang mengunyah sate kambing berlama-lama agar bisa lebih lama merasakan kenikmatannya di lidah. Pak Wawan menulis, sejak awal sudah saya labrak si Oom itu atau saya yang kabur. Yang saya lakukan di akhir pertemuan bukankah melabraknya dan langsung permisi sebelum si Oom sempat melontarkan serangan balasannya?

Salam.