Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Tolooooooong

Purnomo's picture

        Saking penuhnya gerobak pemulung cilik ceking itu, ketika ia membelokkannya, gerobak itu terguling kehilangan keseimbangannya. Beberapa ikat kartun bekas yang tampak berat dan sangat kotor, cabikan foam yang tidak putih lagi, beberapa kantong plastik terserak di tepi jalan protokol kota propinsi itu. Pemulung itu berdiri bengong dengan peluh berleleran di tubuhnya.

 
Kebetulan sesaat kemudian seorang pemulung berjalan melintas. Segera saja pemulung itu menghadang “sesama”nya minta tolong memberesi ceceran sampah itu. Melihat jumlah ceceran itu, ia menggeleng kepala dan terus berjalan. Pemulung pemilik gerobak nekad menghadang sebuah sepeda motor yang akan berbelok ke toko buku yang pintu masuknya nyaris terblokir tumpahan sampah itu. Tentu saja pengendara motor itu menolak.
 
Beberapa pejalan kaki yang dihadangnya menghindar ketika ia berusaha menjelaskan kesulitannya. Dengan putus asa ia menghampiri seorang ibu pedagang kaki lima yang berjualan teh botol dan rokok, dan merangkap tukang parkir. Tidak disangka tanpa mengomel, ibu muda ini membantunya memasukkan kembali harta benda pemulung itu ke dalam gerobaknya. Maka berlalulah si pemulung itu setelah mengucapkan “matur nuwun”.
 
Sesaat kemudian beberapa orang dengan pakaian rapi datang menemui ibu ini dan bertanya dengan nada tinggi. “Tadi ada pemulung bikin kotor jalan. Mengapa Ibu mau-maunya membantu dia?”
 
Orang jaman sekarang memang aneh. Kita berbuat baik malah kena marah. “Lho! Ada orang susah kok ndak boleh ditolong. Sampeyan ini kok aneh. Dia minta tolong saya, saya bisa nolong, ya saya tolong. Menopo kulo lepat? (Apa saya salah?)”
 
Ya, Ibu salah, karena membuat kami harus menyerahkan uang kepada Ibu sebanyak 2 juta rupiah sebagai tanda penghargaan perbuatan Ibu yang luar biasa itu,” kata pemimpin rombongan itu sambil tersenyum ramah. Ibu ini tergagap melihat seikat uang yang disodorkan di depan hidungnya. Tetapi segera ia menyadari saat itu adalah saat istimewa baginya ketika melihat sebuah kamera ada di belakang rombongan itu terarah kepada dirinya. Hanya dalam hitungan hari, peristiwa itu disiarkan lewat televisi dalam program “TOLONG” dan wajahnya yang menahan tangis dikenali banyak orang yang sering ke Gramedia Semarang. Begitulah cerita yang saya dengar dari seseorang ketika saya nongkrong di lapak sang pemenang meneguk teh botol dingin di siang yang terik.
 
Trend tivi yang didominasi oleh tayangan tindak kejahatan, dunia mistis, penyimpangan seksualitas (biasanya ditayangkan tengah malam) dan kemalangan selebritis (makin sengsara makin panjang jam tayangnya) mulai bergeser ketika program “Bedah Rumah” mengudara. Rumah orang miskin yang berantakan tahu-tahu didatangi serombongan orang yang menawarkan renovasi tanpa si pemilik harus mengeluarkan uang serupiahpun, asal proses renovasi ini boleh ditayangkan di televisi.
 
Bagaimana dunia bisnis bisa diyakinkan untuk membeli waktu iklan dalam tayangan Bedah Rumah, Nikah Gratis, Uang Kaget, Tolong, Lunas, Ketiban Duit, You Pinter I Bayar, Cabe Rawit dan semacamnya ini? Berdasarkan survey apa sebuah televisi berani menayangkan program beresiko tinggi untuk merugi ini pada jam tayang mahal (prime time) di tengah-tengah kegandrungan pemirsa akan tayangan yang mengungkapkan sisi gelap kehidupan manusia?
 
Bagi mereka yang berkecimpung dalam bisnis periklanan adalah sesuatu yang mengejutkan ketika tayangan-tayangan sejenis yang bertema “kebaikan manusia tak pernah sirna” dalam waktu relatif singkat bermunculan dan selalu dinanti kehadirannya oleh pemirsa. Siapakah yang pertama kali punya ide membuat tayangan-tayangan “abnormal” ini, yang dari kacamata kekristenan terlihat ada pernik-pernik kasih tanpa pamrih?
 
Pada akhir sebuah episode Bedah Rumah, saya melihat dua nomor po box di layar televisi, Jakarta dan Ungaran, sebuah kota kecil di selatan Semarang. Langsung pikiran saya memunculkan sebuah nama yang bergelut dengan media rohani dan tinggal di kota kecil itu di desa Sewakul. Dugaan saya tidak meleset. Nama itu muncul dalam daftar tim kreativitas, Eko Nugroho. Pada tahun 2001 ketika ayah saya meninggal, ia datang untuk mengungkapkan empatinya bersama isteri dan mertuanya. Ia saudara seiman kita juga. Penampilannya sangat sederhana. Karena saya tahu ia memproduksi multimedia Kristen untuk anak dan remaja di bawah nama Yayasan Anak Terang Indonesia, saya bertanya bagaimana bisnisnya.
 
Lumayan,” jawabnya. Tetapi adiknya membisiki saya, “Lumayan itu artinya masih merugi.” Walau merugi, ia tak bisa dibujuk pindah ke bisnis non-rohani yang wahananya bisa disediakan oleh orang tuanya dalam waktu singkat. Bukankah dari hasil bisnis sekuler sebetulnya ia bisa mendanai sebuah kegiatan rohani? Konsep ini dijalankan oleh ayahnya, mantan dosen peternakan Undip yang kini menjadi pengusaha sukses, yang besar perannya dalam berdirinya sebuah gereja di Semarang Barat.
 
Pelayan Tuhan yang idealis,” begitu julukan yang diberikan oleh keluarga besarnya. Saya bertanya tentang prospek majalah anak-anak dan vcd yang diproduksinya. Tapi dengan cerdik ia memancing mertuanya membicarakan penginjilan di Priangan Selatan. Bukan untuk menghindar, tetapi itulah kepribadiannya yang saya kenal. Ia rendah hati. Ia lebih suka membicarakan apa yang orang lain lakukan daripada tentang kegiatannya. Ia selalu mencari kesempatan belajar dari pengalaman orang lain. Ketika saya mencoba sekali lagi mengorek informasi tentang bisnisnya, ia malah mendorong saya bercerita tentang pertumbuhan gereja di Sumatra Barat dan NAD. Ketrampilan salesmanship saya ternyata tak sanggup menandingi jurus-jurus ilmu komunikasi yang dipelajarinya di States.
 
Walau pemasaran produksi Anak Terang Indonesia masih belum bagus, Eko tak goyah dari prinsipnya. Tanggal 12-Juli-2002 ia menayangkan filem Trio Penjelajah Dunia melalui jaringan bioskop 21 serentak di kota Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan. Pemerhati filem nasional tahu benar betapa sulitnya masuk ke jaringan bioskop 21. Hanya produsen ibukota yang bisa masuk dengan filem berkelas seperti Pasir Berbisik, Cau Bau Kan, Jelangkung. Banyak orang mengherani kesuksesan pendatang baru dari Ungaran ini. Yang sebenarnya terjadi adalah kegigihan Eko telah menggugah Tantowi Yahya membantunya menyusup ke jaringan bioskop 21. Sayang, walaupun penjualan tiketnya juga dilakukan di sekolah-sekolah dasar, filemnya tidak sesukses “Petualangan Sherina” dan “Joshua oh Joshua” yang mendahuluinya.
 
Suatu hari ia mendapatkan ide baru. Dengan bantuan Helmy adik Tantowi, sebuah proposal dibawanya ke sebuah setasiun televisi, “BEDAH RUMAH”. Itulah langkah kecil yang kemudian merubah peta tayangan seluruh televisi. Bedah Rumah membuka sebuah cakrawala baru. Melihat minat pemirsa televisi mulai bergerak dari kutub sisi negatip manusia ke arah kutub sisi positip manusia, pada tanggal 19 September 2004 “TOLONG” muncul untuk pertama kalinya di SCTV dengan mengambil lokasi syuting di kawasan Tembalang sekitar kampus Undip, Sri Ratu Jl. Pemuda, dan Swalayan Ada di kota Semarang. Tayangan program “Tolong” langsung jadi pembicaraan masyarakat.
 
Setiap kali sang pemenang dalam program “Tolong” ini diminta menceritakan apa yang mendorongnya melakukan kebaikan, jawabannya pasti ada di antara 3 alasan ini.
 
Pertama, “Saya (atau keluarga saya) pernah mengalami situasi itu dan tidak ada yang menolong saya. Saya tidak ingin penderitaan saya terulang kembali pada diri orang lain.” Bukankah ini hikmah yang ingin Tuhan tanamkan dalam diri kita ketika kita terkapar dalam penderitaan dan doa minta tolong kita tidak Tuhan jawab?
 
Kedua, “Saya (atau keluarga saya) pernah mengalami kesulitan dan ada orang yang mau menolong saya. Saya ingin membalas kebaikan penolong saya dengan menolong orang lain yang sedang berkesusahan.” Bukankah ini adalah prinsip pelayanan kita, “diberkati Tuhan untuk menjadi berkat bagi orang lain”?
 
Ketiga, “Saya kasihan. Titik.” Pernyataan ini membawa ingatan kita kepada penciptaan manusia. Manusia pada awalnya baik adanya. Walaupun manusia sudah jatuh dalam dosa, masih ada pernik-pernik kebaikan Allah yang tersisa dalam dirinya. Bukankah kata “belas kasihan” yang memicu perbuatan kasih bertaburan dalam Perjanjian Baru?
 
Dari karya Eko Nugroho – Bedah Rumah, Tolong, Lunas, Cabe Rawit – saya paling suka Tolong. Memang kadar keharuan lebih tinggi dalam Lunas. Tetapi di situ saya hanya melihat “kebaikan” perusahaan yang menjadi sponsor program ini. Dalam Tolong, saya melihat tindakan kaum marginal yang selama ini dikenal sebagai kelompok yang tersisihkan, tidak pernah diperhitungkan karena status ekonomi dan kejelataan mereka. Kaum marginal yang lemah ini memunculkan pernik-pernik kasih yang mencengangkan.
 
Kita tidak pantas menyalahkan mereka yang tidak memberikan pertolongan karena mereka terpasung oleh keterbatasannya. Siapa yang mau memanjat pohon mengambil balon yang tersangkut pada saat sedang bergegas ke tempat kerja? Tukang jahit mana yang sanggup menolong seorang nenek menjahitkan bajunya tanpa bayaran sementara jahitannya sendiri masih menumpuk? Karena itu kita tercengang-cengang, bahkan berkomentar “uuedan tenan wong iki” (gila betul orang ini) ketika ada pedagang kecil di pasar mau membeli sebuah gelas seharga 15 ribu karena “penjajanya” perlu uang untuk anaknya yang sakit.
 
Melihat adegan-adegan itu ada sesuatu yang selama ini terkubur dalam di lubuk jiwa mencuat keluar menjelma menjadi rasa haru meruyapi dada kita dan air mata kita nyaris tumpah. Itulah pernik-pernik kebaikan purba manusia yang terkubur oleh dosa kekejaman dan keserakahan. Eko dengan caranya sendiri telah berhasil mengungkit kerinduan manusia untuk berbuat baik.
 
Sekarang ia telah masuk ke bisnis non-rohani. Tetapi layaknya seorang dokter yang mencintai Tuhan Yesus sehingga tidak meletakkan uang di atas segala-galanya dengan menutup pintu bagi orang miskin, ia tetap membawa misinya di dalam pekerjaan sekulernya ini. Ia menyusup ke dunia pertelevisian yang sedang gandrung menayangkan kegelapan hidup manusia, bahkan dalam sinetron remaja, untuk mengatakan: “Hei guys, kalian tidak seburuk itu. Ingatlah, kalian masih menyimpan citra Allah yang menciptakanmu. Raise it up.”
 
Adakah karya-karyanya juga telah membuat kita sadar, walaupun (mungkin) kita juga termasuk kelompok marginal, bahwa kita masih punya kekuatan untuk melakukan kasih-tanpa-pamrih kepada sesama?
 
(selesai)
 
Catatan: artikel ini ditulis pada tanggal 24.04.2005 untuk sebuah buletin Kristen.

 

iik j's picture

ibuku 'hampir selalu' menangis

Waktu nonton 'tolong', bisa dipastikan ibuku terharu beratttttttt... apalagi jika ia mengenal orang itu, seperti orang yang cacat, pendek, motornya beroda 3, pengemis di ADA swalayan, atau supir angkutan jurusan Banyumanik - Johar (orang2 Banyumanik-Semarang)

Saya sih 'paling' cuma tercengang... dan salut

habis susah nangis sih...

tapi yang membuat saya terharu berattttttttttttt... saat melihat orang yang saya beritakan FT dengan susah payah, menghabiskan seluruh tenaga, waktu, uang saya, akhirnya mau menerima Yesus Kristus.. bertobat dan diselamatkan.

he he he he... bukan berarti sok rohani lho pak...

Adakah karya-karyanya juga telah membuat kita sadar, walaupun (mungkin) kita juga termasuk kelompok marginal, bahwa kita masih punya kekuatan untuk melakukan kasih-tanpa-pamrih kepada sesama?

kekuatan hanya dari anugerah Tuhan saja...

For to me to live is Christ, and to die is gain.

agamaitucandu's picture

@dicatet

“diberkati Tuhan untuk menjadi berkat bagi orang lain” 

*dicatet*

__________________

.

Anak El-Shadday's picture

diberkati untuk jadi berkat

diberkati untuk jadi berkat (kata-kata favorite gembala sidang saya hehehe)

tapi terasa agak berat juga kalo mau praktek hehehe, lha wong kita kayak cmn jadi pipa air PDAM kok...

ya ga?

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

__________________

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

agamaitucandu's picture

betul

Kita cuma mengelola. Cuma jadi bendahara. Begitu lancang merasa jadi pemilik, maka semua titipan itu bisa diambil dari kita.

__________________

.

Priska's picture

jadi berkat

karena lama kagak ngikuti perkembangan pasar klewer, aku malah baru baca blog ini sekarang pak... hehehe...

memang sih, acara dan program2 yang dibuat pak eko itu, sesuatu yang bisa jadi inspirasi banyak orang, dan i think sangat memberkati, dan menanamkan nilai-nilai yang bagus untuk masyarakat indonesia yang rasanya sudah banyak yang salah kaparah... (mungkin salah satunya aku kali ya,... hehehe... sadar diri juga ni....)

sedikit share aja, karena aku merasa beruntung bisa menjadi bagian dalam pekerjaan yang memberkati banyak orang, meski hanya dalam waktu singkat. tahun 2008, karena kakak tingkatku di unnes butuh asisten untuk ngurusi kerjaane di sebuah ph, akhire selama 3 bulan aku bantuin dia. awalnya kagak ngerti sama sekali harus gimana ngerjainnya, dan selalu dikejar dead-line. lumayan capek juga sih, waktu itu. tapi hari ini, aku baru ngerti, kalo pekerjaanku waktu itu, kagak sia-sia. bisa jadi berkat bagi banyak orang,

karena hari ini aku baru tau, kalo konsep2 yang dikerjaan dalam satu tim, dimana aku tergabung menjadi asisten-penulis skenario, membuahkan hasil yang luar biasa... menjadi sebuah acara minta tolong... yang jadi berkat...

Maaf Tuhan... dan maaf buat teman2 satu tim... kalo waktu itu, terkadang aku mengeluh karena sudah terlalu capek. hari ini... semua terbayar sudah. Thanks Lord.....

"I can do all things through Christ who strengthen me"

__________________

"I can do all things through Christ who strengthen me"