Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

SDKG 4 - Anda SUKAREWELAN atau SUKARELAWAN?

Purnomo's picture

Setiap saya mengatakan “Saya mau menyelenggarakan sekolah gratis” orang selalu berpikir betapa kayanya saya. Paling tidak saya mampu menyediakan uang 2 milyar rupiah untuk membeli tanah seluas 1000 meter² dan mendirikan bangunan seluas 500 meter². Mengapa saya harus mendirikan sekolah baru bila yang sudah lama berdiri saja ada yang gulung tikar (seperti yang dikisahkan oleh seorang blogger di situs ini)? Menyelenggarakan tidak perlu membangun atau memiliki. Membuat sekolah gratis bisa dilakukan dengan memindahkan diri sendiri dari hilir ke hulu sungai berkat. Jelasnya begini.

 

Mari mengritik gereja.

“Mengapa kelenteng bisa menyelenggarakan sekolah gratis sementara gereja kita tidak bisa?” begitu yang sering ditanyakan oleh jemaat gereja saya (lihat Anda mau sekolah gratis?). Dengan pertanyaan ini pula sebuah diskusi untuk mengritisi gereja habis-habisan dapat dilakukan. Dalam hal mencari kelemahan dan kesalahan gereja, saya jagonya. Katakanlah 5 kejelekan gereja saya, maka saya bisa menambah dengan 5 kejelekan lainnya. Dan saya menjadi populer di antara para sukarewelan ini.

 

Pada saat semua sudah trance karena nafsu menjelekkan gereja terpuaskan saya bertanya, “Siapakah yang ada dalam gereja yang sedang kita bicarakan ini? Mengritik gereja bukankah berarti mengritik diri kita sendiri? Dalam hal mengadakan sekolah gratis, kita tidak perlu membangun sekolah baru. Kalau kita dengan cara patungan menanggung SPP seluruh murid-murid sebuah sekolah, otomatis sekolah itu menjadi sekolah gratis. Hanya diperlukan 150 orang jemaat gereja yang masing-masing mau memberikan 70 ribu rupiah kita bisa membuat sebuah SD Kristen gratis.”

 

“Kita memang anggota gereja, tetapi untuk makan sehari-hari saja kita masih susah. Yang seharusnya patungan itu adalah anggota gereja yang kaya. Azas keadilan terabaikan bila kita yang tidak kaya dilibatkan.”

“Lalu kalau mereka yang kaya tidak mau menyumbangkan uangnya, bagaimana?”

“Itu tugas pendeta dan penatua untuk menyadarkan mereka bahwa iman yang tidak berbuah itu iman yang mati.”

 

Lantas di manakah tempat mereka yang belum kaya dalam Kerajaan Allah di muka bumi ini? Kita ada di muara sungai sebagai penikmat berkat yang mengalir. Kita tidak berada di hulu sungai sebagai mata air yang mengeluarkan berkat itu. Kita senang bila gereja mempunyai sekolah gratis karena kita bisa menyekolahkan anak-anak kita di sana tanpa bayar. Impaslah persembahan persepuluhan yang kita setorkan setiap bulan. Tetapi jangan berharap menempatkan kita-kita ini dalam daftar para donatur. Kita pura-pura tidak tahu bahwa sebuah sungai besar airnya tidak berasal dari sebuah mata air. Sungai itu mendapatkan air dari belasan bahkan puluhan mata air kecil yang membentuk parit-parit lalu kali-kali kecil kemudian sungai-sungai kecil dan terakhir menyatu dalam satu sungai besar.

 

Mungkinkah kita berpindah posisi dari hilir ke hulu sungai berkat? Bisa, asalkan kita mau merubah gelar kita dari sukarewelan menjadi sukarelawan.


 

Milikku hanya roti jelai.

Roti jelai adalah roti yang dibuat dari jelai. Itu semua orang tahu seperti halnya roti singkong pasti bahan bakunya singkong bukan ketan. Tetapi tahukah Anda bahwa jelai adalah padi-padian yang harganya jauh lebih murah daripada gandum(1)? Karena murahnya maka selain dibuat roti oleh orang kebanyakan, jelai juga diperuntukkan makanan ternak(2).

 

Roti jelai itulah yang ada dalam bungkusan bekalnya ketika para rasul berkata kepada Yesus, "Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa" (Matius 14:15). Ketika ia mendengar Yesus bertanya kepada Filipus, “Di manakah kita akan membeli roti . . . . .” (Yohanes 6:5) ia melihat Yesus yang lapar. Yesus yang ia kagumi, Yesus yang bercerita tentang banyak hal yang indah dalam hidup ini dalam bahasa yang sederhana sehingga ia yang hanya seorang anak bisa mengerti, sekarang tampak letih dan sangat lapar tetapi tidak mempunyai roti untuk dimakan. Ia meraba kain pembungkus bekalnya. Aku ingin memberikan bekalku kepada Yesus. Tetapi Ia tak pantas menyantap roti jelai. Ia orang hebat, Ia seorang nabi, Ia lebih pantas makan roti gandum seperti layaknya orang kaya. Ia tak pantas menyantap makanan orang kebanyakan.

 

Anak itu sejenak menunggu. Ada orang-orang yang duduk di depannya berpakaian bagus. Pasti mereka membawa bekal makanan yang jauh lebih baik. Tetapi mereka tidak menawarkan bekalnya kepada Yesus. Ia menoleh berkeliling. Seorang murid Yesus berdiri di dekatnya. Ia berdiri dan dengan langkah ragu menghampirinya. Disodorkan bungkus bekalnya. “Bapak, ini bekal saya. Hanya roti jelai dan ikan. Kalau Guru Bapak berkenan, biarlah Ia menyantapnya.”

 

Ia tahu sebentar lagi ia harus berjalan pulang dengan perut kosong. Ia tahu bisa saja ia jatuh pingsan di jalan. Tetapi itu tidak dialaminya karena sebuah mujizat mendadak terjadi gara-gara bekalnya yang berada di tangan Yesus dan kisahnya kemudian dibaca oleh orang sepanjang abad sepanjang jaman.

 

Bukankah kita juga tidak lebih kaya daripada anak Galilea itu? Bukan karena pelit kita tidak memberikan sesuatu milik kita kepada Yesus. Mungkin saja kita merasa tidak layak memberi Yesus roti jelai. Kita menunggu, berharap saudara-saudara seiman kita yang melayani kebutuhan Yesus dengan roti gandumnya. Lalu bagaimana bila mereka yang kaya tidak juga memberikan roti gandumnya kepada Yesus yang letih, Yesus yang lapar, Yesus yang menangis tidak berani berangkat ke sekolah karena sudah menunggak SPP 6 bulan?

– o –

Dalam menjelaskan mujizat 5 roti dan 2 ikan para penafsir terpilah dalam 2 kubu. Satu kubu mengatakan bahwa dengan cara yang ajaib Yesus menggandakan bekal anak itu sehingga cukup untuk dimakan oleh lebih dari 5000 orang. Proses mujizat ini seperti yang terjadi pada minyak dan tepung janda di Sarfat (1 Raja 17:16)

 

Sebuah SMS masuk ke gereja saya. Pengirimnya berkabar ia mentransfer uang ke rekening gereja untuk departemen beasiswa. Ia tidak memberi identitas dirinya kecuali bahwa ia bukan anggota gereja kami tetapi pernah diberkati oleh santunan beasiswanya.

 

Penatua bingung karena tidak bisa mengirimkan surat ucapan terima kasihnya. Seperti biasa bila mereka bingung saya ikut repot. Saya diminta menyelidiki siapa donatur gelap ini.

 

“Sableng, edan, gelo orang ini,” begitu yang ada dalam benak saya setelah disodori catatan penerimaan uang dari Sang Donatur. Rp.10.000.100,- (03.07.07), Rp.5.000.100,- (24.09.07), Rp.5.000.100,- (21.11.07), dan seterusnya yang tidak saya tulis agar Anda tidak makin terpesona. Bila saat ia masih anak-anak dan menerima santunan sejak TK sampai SMA, maka dengan memakai nilai santunan maksimum saat ini yang Rp.60.000 ia telah menerima uang sebanyak 14 tahun x 12 bulan x Rp.60.000 = Rp.10.080.000,-

 

Pada tahun 2004 ketika untuk pertama kalinya saya melihat catatan keuangan departemen ini saya termehek-mehek karena makian-makian yang ingin saya keluarkan menyumbat tenggorokan. Jumlah santunan yang diberikan hanya 31% dari jumlah seluruh SPP-nya dan paling besar hanya Rp.40.000 per bulan untuk seorang anak. Bahkan ada anak dengan SPP Rp.127.000,- hanya menerima santunan sebesar Rp.25.000,- sehingga pengurus tidak bisa berbuat apa-apa ketika saya ingatkan bahwa 29% dari jumlah penerima santunan tidak pernah menghadiri kebaktian anak atau remaja di gereja kami. Bagaimana gereja bisa menuntut sesuatu dari mereka bila yang diberikan hanya roti jelai saja? Di pihak lain bagaimana departemen ini bisa menaikkan jumlah santunannya bila ia harus mandiri dalam hal keuangan dan dana yang dimilikinya berasal dari para donatur kelas roti singkong yang berkisar dari Rp.5.000 sampai Rp.25.000,-?

 

Tidak ada seorangpun dari pengurus departemen ini yang berani berharap santunan yang mereka bagikan akan dikembalikan dalam jumlah berlipat ganda. Selama ini mereka hanya menerima ungkapan ketidakpuasan dari mereka yang disantuni. Bahkan ketika saya mengingatkan agar menegur mereka yang setelah menerima uang santunan tidak mengucapkan kata terima kasih, mereka hanya tersenyum sedih. Tidak ditegur saja sudah ada yang tidak sudi lagi datang mengambil uang santunannya, kata mereka.

 

Karena itu apabila Sang Donatur itu membaca artikel ini, saya ingin ia mengetahui bahwa uang yang telah dikirimkannya telah merubah bukan saja posisi keuangan departemen ini, tetapi juga pola pikir para pengelola pelayanan beasiswa ini dan juga para penatuanya (Efesus 4:23, “supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu).

 

Sekarang rencana anggaran departemen ini telah disatukan dalam anggaran besar gereja. Nilai nominal santunan dinaikkan. Mereka yang telah lulus SMA/SMK mendapat penawaran beasiswa ke IKIP atau Teologi. Bila mereka tidak berminat melanjutkan ke sekolah ini, mereka ditawari kursus komputer senilai Rp.350.000 sampai Rp.500.000,-

 

Sepotong roti jelai telah digandakan oleh Yesus dalam diri Sang Donatur untuk menjadi berkat bagi banyak orang.

– o –

Dalam menjelaskan mujizat 5 roti dan 2 ikan para penafsir kubu yang lain menjelaskan bahwa penyerahan bekal anak ini kepada Yesus membuat orang lain tergerak hatinya untuk saling berbagi dengan yang lain, bahkan mau menyerahkan sisa bekal mereka sehingga terkumpul roti 12 bakul penuh.

 

Inilah mujizat yang kurang laku. Ketika orang menderita sakit, ia lebih memilih Yesus memulihkan tubuhnya daripada Yesus merombak pola pikirnya sehingga ia bisa tetap bersukacita dalam penderitaannya seperti yang terjadi pada diri Paulus.

 

Inilah yang saya alami. Ketika saya menyerahkan roti jelai dengan takut-takut karena kuatir dituduh kurang ajar atau sok dermawan, tiba-tiba saja orang sekitar saya membuka tas bekalnya dan tanpa risih ikut berbagi.

 

Sekolah gratis format mini.

Saya bisa melihat catatan keuangan departemen beasiswa gereja saya gara-gara saya cerewet mengritik pelayanan gereja dalam bidang pendidikan. Penatua meminta saya masuk menjadi pengurusnya daripada mulut saya meracau terus. Saya mau dengan syarat terlebih dahulu mempelajari semua data yang ada dalam departemen itu. Setelah mempelajarinya, saya mengajukan beberapa rencana perubahan. Penatua menolak sehingga saya juga batal menjadi pengurusnya. Tetapi semua berkas itu sudah saya fotocopy. Dasar orang jahat! Setiap kesempatan selalu diambil. Termasuk mencuri.

 

Malam itu dengan berbekal data diri seorang anak yang disantuni oleh departemen ini saya masuk ke sebuah perkampungan kumuh. Di sebuah rumah liliput seorang remaja putera sedang mengerjakan PR-nya di depan rumahnya di bawah penerangan lampu jalan. Saya memarkir sepeda motor saya dan bertanya apakah ia bernama Anto. Ia mengiyakan.

 

Saya menemui kedua orangtuanya yang adalah anggota jemaat gereja saya dan menjelaskan bahwa saya secara pribadi ingin membantu meringankan beban SPP Anto yang Rp.209.000,- dan baru mendapat santunan dari gereja Rp.40.000,-. Tetapi sebelumnya saya ingin berbicara dengan Anto.

 

Anto dipanggil masuk. Lalu saya membacakan data dirinya seperti ia baru saja ketahuan mencuri sandal saya. “Kamu sudah setahun lebih dibantu gereja, tetapi kamu tidak pernah beribadah di gereja yang membantumu. Itu boleh-boleh saja karena pengurus beasiswa tidak melarangnya. Tetapi kamu adalah anak yang tidak bertanggungjawab kalau orangtuamu sudah mau membayar SPP-mu 200 ribu rupiah sebulan tetapi angka rapotmu hanya ada 2 yang hitam (55 ke atas). Oom tidak tahu kamu ini sebetulnya malas atau bodoh. Kalau kamu memang malas atau bodoh lebih baik uang SPP-mu dijadikan modal untuk berjualan pisang goreng di pasar. Dua ratus ribu rupiah itu bukan jumlah yang sedikit. Dengan uang sebanyak itu kamu bisa beli es puter di pasar satu ember buat mandi!”

 

Dia kaget. Saya melirik. Orangtuanya juga terkejut. Mimpi apa kamu kemarin malam sampai-sampai malam ini kedatangan orang gila. Saya menurunkan nada bicara saya.

 

“Jika kamu menyayangi orangtuamu, kamu harus membantu ayahmu mencari uang. Mau kamu tetap sekolah tetapi bisa mencari uang? (Ragu ia mengangguk) Oom beritahu caranya. Empat bulan lagi kamu akan terima rapot. Kalau rapotmu nanti angka merahnya berkurang sampai 2 saja, dan kamu rajin datang ke kebaktian remaja di gereja orangtuamu, Oom beri kamu uang 100 ribu untuk bantu SPP-mu. Dengan santunan dari gereja 40 ribu, berarti orangtuamu hanya menanggung Rp.69.000,- Jelas? (Ia mengangguk) Tetapi kalau rapotmu nanti tidak ada angka merahnya, walaupun itu pelajaran menggambar atau Bahasa Jawa, Oom beri 169 ribu setiap bulan selama 1 semester. Dengan belajar rajin kamu bisa mencari uang sendiri untuk membayar SPP-mu.”

 

Saya minta ia keluar dolan ke tetangganya. Lalu kepada orangtuanya saya minta maaf karena telah berkata kasar kepada anaknya. Di atas secarik kertas saya menjelaskan kembali apa yang tadi saya paparkan. Saya juga mencantumkan nama saya, nomor hape saya, dan menerakan tandatangan saya agar saya tidak memungkiri apa yang saya jelaskan. Yang berulang kali saya tekankan adalah saya tidak mewakili gereja atau yayasan manapun juga.

 

Anto kemudian saya lihat rajin menghadiri ibadah di gereja saya. Empat bulan kemudian ia menemui saya dan dengan wajah takut menyodorkan selembar fotocopy rapotnya serta kertas catatan yang dulu saya berikan kepada orangtuanya. Mata saya terbelalak. Angka merahnya tinggal 3!

 

“Ketahuan sekarang bohongmu! Kamu ternyata tidak bodoh, tetapi malas. Dengan masih ada 3 angka merah saya tidak bisa memberimu uang. Tetapi satu kali dispensasi tidak mengapa. Mulai bulan depan berikan fotocopy bukti pelunasan SPP-mu kepada saya dan kamu akan mendapat uang 90 ribu rupiah. Kalau rapot semester berikutnya lebih baik, saya akan memberi uang lebih banyak. Kalau tanpa angka merah dan nilai rata-ratamu mencapai angka 70, ada bonus 10% x SPP-mu untuk uang jajanmu setiap bulan ”

 

Dia mengangguk dan pergi meninggalkan saya dengan wajah gembira.

 

Setelah Anto mulai saya santuni, saya mencari “korban-korban” berikutnya. Saya menjemput bola. Karena “transaksi” penyerahan uang saya lakukan di tempat terbuka, di kantin, di halaman gereja, di bawah pohon, orang-orang akhirnya menginterogasi saya. Hampir semua yang menanyai saya adalah para sukarewelan. Tetapi setelah mendengar paparan saya, mereka menjadi sukarelawan dengan mengambil-alih satu atau dua anak, atau “setengah” anak. “Anak kecilpun gampang menjadi sukarewelan karena modalnya hanya mulut,” itu yang pernah saya katakan. “Tetapi untuk menjadi sukarelawan dibutuhkan kedewasaan berpikir dan keberanian mengeluarkan uang. Uangmu sendiri, bukan uang gereja atau organisasi.”

 

Pernah suatu saat jabatan saya sebagai Penyantun berubah menjadi Pengepul karena semua anak asuh saya “terjual” habis. Mereka tidak mau memberikan uangnya langsung kepada si anak. Mereka tetap meminta saya yang menjadi penyalurnya.


 

Melalui mujizat roti jelai ini yang membuat orang lain tanpa risih ikut membuka bungkus bekal hidupnya dan tulus berbagi, beberapa pelajar SMA telah menikmati sekolah gratis. Juga seorang pemuda yang kuliah di sebuah sekolah teologi dan mendadak nyaris drop-out karena usaha ayahnya mendadak ambruk sehingga tidak sanggup lagi mengiriminya uang satu juta rupiah setiap bulan.

 

Alkitab tidak mencatat nama anak yang telah mempersembahkan roti jelai dan ikan bekalnya itu. Padahal mujizat yang terpicu karena tindakannya bukan sebuah mujizat yang kecil. Saya tidak tahu mengapa nama anak itu tidak dicantumkan. Mungkin Tuhan ingin memberi kita peluang untuk bisa menamai anak itu dengan nama kita. Tuhan ingin anak itu adalah Anda dan saya.

 

(selesai bagian ke-4)

 

Catatan: nama dalam kisah ini telah disamarkan.

 

(1) 2 Raja 7:18b – "Dua sukat jelai akan berharga sesyikal dan sesukat tepung yang terbaik akan berharga sesyikal, besok kira-kira waktu ini di pintu gerbang Samaria."

   Wahyu  6:6b – "Secupak gandum sedinar, dan tiga cupak jelai sedinar. Tetapi janganlah rusakkan minyak dan anggur itu."

 

(2) 1 Raja 4:28 –  Jelai dan jerami untuk kuda-kuda biasa dan kuda-kuda teji dibawa mereka ke tempat yang semestinya, masing-masing menurut tanggungannya.

 

 

Serial Sekolah Gratis:

 

bagian ke-1: Anda mau sekolah gratis?

bagian ke-2: Anak itu bernama Roi.

bagian ke-3: BOS – Bikin Orang Sableng.

bagian ke-4: Anda sukarewelan atau sukarelawan?

bagian ke-5: Astaga, Tuhan mengejutkan saya.

 

 

iik j's picture

@Purnomo, dimulai dari rumah sendiri.

SPP Gratis saya mulai dari rumah sendiri sejak saya mulai bekerja di tahun 97.

Dengan sengaja saya memilih sekolah yang tidak membutuhkan jangka waktu lama untuk lulus. Menurut saya asal untuk bekal bekerja, cukuplah. Sedangkan ketrampilan yang lain bisa dipelajari sambil jalan. Setelah akhirnya saya 'waras' dan akhirnya bekerja. Saya memilih untuk menyisihkan Rp.100.000, dari uang gaji saya yang waktu itu sangat minim, untuk saya masukkan ke rekening adik saya (dengan sepengetahuan ibu pastinya). Supaya ia bisa mengambil uang SPP dan uang lain2 dari situ (dengan kontrol ketat kami), sedangkan sisanya bisa terkumpul sedikit demi sedikit untuk keperluan study tour dsb.

Saya juga belajar dari Firman Tuhan, dan meminta sungguh2 sama Tuhan, dengan uang pas-pasan itu untuk mencukupkan kebutuhan saya selama 1 bulan yang kadang besarnya di luar pemikiran (apalagi jika harus visitasi, F-up, dll). Dan Tuhan menggenapi FirmanNya. Saya tak sekalipun pernah 'kekurangan' atau berhutang, bahkan tetap ada sisanya. Bahkan disaat saya 'kepepet' Tuhan selalu mengirim orang orang untuk menambahkannya pada saya.

Itu terus berlanjut sampai sekarang. Dan mulai berlanjut kepada keponakan...

Yahhh.. itu sedikit kesaksian langkah kecil saya..

 

passion for Christ, compassion for the lost

Purnomo's picture

Iik, thx melengkapi blog saya

Iik betul, charity (derma) harus berawal dari rumah sendiri. Akan terasa janggal bila kita bermurah hati kepada orang lain sementara kita pelit berbagi untuk ‘orang rumah’.

Salam.

 

leo's picture

nice blog, keep posting!!

having a place to go is home; having some one to love is family. having both is a blessing

__________________

having a place to go is home; having some one to love is family. having both is a blessing

DEDE WIJAYA's picture

Sekolah Gratis ada kok

Coba hubungi Pak Daniel Alexander, juga Pimpred REFORMATA, Pdt. Ir. Jarot Wijanarko yg buat sekolah2 kristen di desa2, dll. Memang kebanyakan sekolah kristen itu kesannya ELITE khusus dikota2, MAHAL, MENTERENG, BERMUTU, dll

Maybe program beasiswa bagi anak2 SD-SMu yg tdk mampu juga bisa disalurkan kepada SD-SMU Negeri, atau usul juga ke Sekolah Kristen, ini pak, saya sumbang dana, tolong dipake, bagi siswa yg tdk mampu bayar SPP, beli buku, dll.

Dunia pendidikan akan terasa Indah.

dede wijaya

__________________

dede wijaya

Purnomo's picture

Dede memang bercanda

dengan menawarkan dana kepada saya.

 

Bagaimana bila kita menjadi berkat di kota asal kita masing-masing? Jika Dede tidak menemukan sekolah yang kekurangan dana di kota Jambi, saya sarankan Dede pergi ke luar kota ke arah Kuala Tungkal. Bagikanlah dana yang Dede miliki di sepanjang jalan itu. Jika sampai di Tungkal uang masih bersisa, bisa dibelikan susu kaleng atau bir kaleng Tiger selundupan yang nanti bisa dijual kembali di Pasar Angso Duo Jambi.

 

Untungnya bisa untuk membantu sekolah di tempat lain, mungkin yang ada di jalan antara Jambi – Muara Bungo. Nah, saya jadi ketularan canda Dede.

 

Thx telah meramaikan lapak saya.

 

Evylia Hardy's picture

@DEDE WIJAYA

Salam kenal, Pak Dede. Meski belum pernah bertegur sapa secara langsung, saya pernah juga membaca tulisan dan komen Anda di sini. Akhir-akhir ini sense of humour Anda cukup sering tampak dalam bertutur kata, sehingga pembaca diijinkan sedikit lebih mengenal kepribadian Anda. Oya, saya juga mendapat kesan bahwa Anda berusaha menjaga agar kepala tetap dingin, sepedas apa pun komen yang ditujukan kepada Anda.

Apa yang saya dengar dan amati di lingkungan sekolah-sekolah Kristen (tentu yang saya kenal) membuat saya pribadi lebih suka langsung mendatangi target daripada menggunakan perantara. Bagi yang terpaksa memakai perantara karena terlalu sibuk, atau memang ingin begitu untuk alasan kepraktisan, no problem ... daripada tidak melakukan apa-apa. Namun untuk sekolah negeri, saya sarankan tidak menggunakan jasa calo. Kalau dana yang resmi saja terang-terangan dikembang-kempiskan, apalagi dana segar yang sangat menggiurkan.

eha

__________________

eha

DEDE WIJAYA's picture

@ Xie2 bu Evylia

Salam kenal juga, Terimakasih atas respon anda. Sebenarnya saya humoris orangnya, cuma maybe tdk terlalu terlihat ketika bahas tema2 Teologia:)hehehe

Yup, berusaha terus menjaga KEPALA TETAP DINGIN. Maklum, kalo tidak bisa "gila" dg segala kata2 indah dari beberapa SS-ers:)

Saran ibu, memang benar. Patut diperhatikan bagi yg mau jadi Donatur Sekolah2. Tanpa Calo. Temui Target. Kaya Beli tiket Kereta Api:)

Thanks masukan dan sarannya Bu Evy

dede wijaya

__________________

dede wijaya

Evylia Hardy's picture

Balasannya kilat sekali ...

Balasannya kilat sekali ... ooo kita sama-sama online tho.

Kalau kamsia, jawabnya kamsia li (bener ndak ya). Kalau xie xie ... mmm ... menurut buku paket mandarin anak saya sih ... bu ke qi, yak! Bu ke qi, Pak Dede.

eha

__________________

eha

Anak El-Shadday's picture

bacaan bulan ini adalah

bacaan bulan ini adalah: AYO BIKIN SEKOLAH GRATIS.

ga perlu buat sekolah.. tapi mari menggratiskan anak-anak yang sedang sekolah.

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

__________________

but the one who endure to the end, he shall be saved.....

Purnomo's picture

AES setelah capek berteriak

 “mari jadi pacarku” saya berseru “mari jadi anakku” biar nanti tidak canggung setelah menikah harus mengasuh dan mengongkosi anak sendiri.

 Ada usulan topik bacaan berikutnya? Tapi jangan tentang doktrin ya.

 Salam.

 

DEDE WIJAYA's picture

@ AES jadi inget

Jadi Inget Iklan di TV, yg pake2 gaya malaysia omongnya, SEKOLAH GRATIS, Program Depdiknas tahun 2009, wah Pak SBY pasti menang nech, SEKOLAH GRATIS, Gaji PNS ke-13 turun, apanya yg tdk memanjakan masyarakat:)hehehe

SBY Berbudi, Saya Dukung. Menteri cari dari Profesional. SEKOLAH GRATIS oke2 saja. Minimal kalo anda punya anak, anda happy kagak bayar:)hahaha

 

dede wijaya

__________________

dede wijaya

Evylia Hardy's picture

Pak Pur, kalau boleh saya

Pak Pur, kalau boleh saya ingin link artikel ini untuk tulisan berikutnya di blogspot pribadi. Terimakasih sebelumnya bila benar-benar diijinkan.

Mungkin saya tak punya cukup banyak waktu untuk menghembuskan angin segar di tempat saya bergabung saat ini. Sebab itu saya harus mengambil program intensive course, di antaranya dari tulisan-tulisan Pak Pur.

Saya ingin ketika saya melanjutkan perjalanan, saya sudah melakukan segala yang bisa saya lakukan dalam waktu sesempit ini. Dan harus ada yang bisa melanjutkan.

Kadang saya terjangkit virus berandai-andai. Andai saya bukan ini, andai saya itu, tentu saya bisa begini, dan bukan begitu. Ha ha, benar kata-kata ini, manusia itu always wanting what is not. Siapa pun saya, apa pun saya, selalu ada tidak puasnya.

eha

__________________

eha

Purnomo's picture

Eha silakan link artikel ini

Saya juga sedang mempertimbangkan untuk membagikan print-out-nya kepada orang-orang yang mau ikutan menjadi donatur proyek kecil ini. Saya sudah memberitahu Kepsek sekolah itu untuk membantu SPP anak-anak kelas 6 tahun ajaran 2009-2010 sebanyak 3 anak terpandai dan 3 anak termiskin. Saya pribadi akan menanggung 2 anak sedangkan 4 anak lain harus saya bagikan kepada orang lain. Kepsek mau menurunkan SPP menjadi Rp.50.000 per anak. Dasar salesman! SPP-pun ditawar.

 

Tanggal 24-Mei sambil menunggui lomba di gereja sampai pukul 15.00 saya berjualan. Hasilnya nanti saya kisahkan di bagian ke-5.

 

Salam.

 

lonely prophet's picture

akan kucoba..

terima kasih ya atas ceritanya yang menginspirasi..

tentu saja saya akan berusaha berbuat sebagaimana saudara.

__________________

mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa..

Purnomo's picture

Lonely prophet padat berisi

Komen Anda teringkas tapi padat berisi.

Mari menjadi berkat walau sendiri.

Salam.