Namanya Lala. Usianya belum genap dua tahun. Baru tiga bulan lalu dia mulai dapat berjalan sendiri dan mengucapkan satu dua kata. Setiap sore, saya sering mengamati bocah itu bermain kejar-kejaran ataupun petak umpet bersama sekumpulan bocah lain yang usianya di atasnya. Tentu saja Lala belum dapat berlari secepat teman-temannya ataupun memilih tempat persembunyian yang sulit ditemukan. Akibatnya, bocah lain beranggapan bermain bersama Lala tidak terlalu menyenangkan. Ia terlalu mudah ditangkap dan ditemukan sehingga kelompok tempat Lala bergabung selalu kalah. Mereka pun berembuk dan mengerahkan kebijaksanaan khas anak-anak mereka. Akhir kata mufakat pun tercapai. Lala diposisikan sebagai ‘anak bawang’ – artinya ia boleh ikut bermain tapi kehadirannya tidak diperhitungkan.
Pandangan saya beralih dari bocah-bocah itu ke pucuk pohon suji di tepi halaman. Berkebalikan dengan keputusan bocah-bocah itu yang memposisikan termuda pada posisi terbawah yang tidak diperhitungkan, pucuk-pucuk terhijau dan termuda tumbuhan itu justru terletak paling atas. Yang termuda justru diberi kesempatan pertama untuk menikmati paparan sinar matahari. Lalu dimanakah yang muda dan yang hijau seharusnya ditempatkan?
Dalam Matius 18, Yesus jelas-jelas menegaskan bahwa yang anak-anaklah yang terbesar. Ayat-ayat itu menegaskan penghargaan-Nya pada anak-anak yang hijau dan seringkali diperlakukan sebagai ‘anak bawang.’ Yesus menempatkan bocah-bocah hijau seperti tetumbuhan yang menempatkan tunasnya yang paling muda dan hijau di tempat teratas.
Bila bagian pucuk yang muda perlu dipersilahkan menikmati matahari dan sejuknya air hujan, dimanakah bagian lain yang lebih tua sebaiknya memposisikan diri? Bila diamati, bagian yang telah dewasa dan kokoh menyokong bagian muda. Daun yang telah kaku menyokong pucuk muda yang masih lemas. Begitu pula bagian batang bawah yang kokoh menyokong pucuk batang yang masih lunak. Mengutip kata-kata Ki Hadjar Dewantara , sang bapak pendidikan nasional, tut wuri handayani – di belakang memberi dorongan. Demikianlah kiranya peran golongan yang telah dewasa dan kokoh: memberi kesempatan untuk berkembang sembari menyokong dari belakang sehingga pada saatnya kelak pucuk-pucuk hijau itu dapat menghasilkan buah yang manis pada waktu-Nya. Di mata Bapa, tidak ada ’anak bawang’, karena seluruh anak adalah ’anak emas-Nya’—anak-anak kesayangan-Nya.
beautiful
indah sekali analogi yang dimain2kan oleh clara, aku terbawa dan terhanyut dalam pemikirannya... jadi ingat signature hai hai tentang anak-anak dan surga...
Terima kasih Mas
Terima kasih Mas Daniel,
Betul. Sepertinya saya dan Om Hai memiliki persepsi yang sealur tentang anak-anak. Ada sesuatu yang sangat luar biasa besar dalam diri seorang anak yang kecil..
GBU
anita
ms. clara
Ms. Clara, what a beautiful blog... plok plok plok....
love it. ms. clara, penulisan anda lembut sekali. love it.
dulu, karena maalah body, penampilan, sy sering di-anakbawang-in, padahal sy ingin bermain adil seperti temen temen yang lain. dan akhirnya itu kebawa bawa hingga sekolah, hingga kuliah, hingga bekerja.
ms. clara, dengan ini officially sy resmi bergabung jadi fans anda.
^-^
Dear minmerry, Terima kasih.
Dear minmerry,
Terima kasih. Waduh jadi fans? Kalau boleh justru saya yang ingin belajar lebih banyak dari minmerry dan teman-teman SS lainnya. Ganti bertanya nih; bolehkah saya belajar?
GBU
anita