Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Pendahuluan (Bagian 12-1): Kajian Lucifer – Merunut Kabar (Dari) Burung
Konsep Setan di Negeri Nusantara, Indonesia
Jejak Lucifer sebagai sosok malaikat yang jatuh yang dipercayai sebagai dalang kejahatan oleh hampir BANYAK orang Kristen dan orang beragama pada umumnya sebenarnya (juga) TIDAK ditemukan pada kepercayaan lokal/ agama suku/ atau kepercayaan asli Nusantara, Indonesia.
Merunut jejak Lucifer kepada sejarah agama asli Nusantara yang akan saya paparkan segera di Blog ini secara umum konsep kepercayaan Agama Asli Nusantara tentang kejahatan adalah bersumber pada diri manusia sendiri yang disebut hawa nafsu dan manusia diharapkan mampu mengendalikan hawa nafsunya agar terjadi keharmonisan antara dirinya dengan Sang Pencipta, makhluk lain (binatang, manusia-manusia berwujud di sekitarnya dan makhluk tidak berwujud atau makhluk halus) dan alam sekitarnya.
Yang cukup menarik bahwa semua agama asli Nusantara mempercayai Satu atau Keesaan Tuhan Sang Pencipta dan adanya kepercayaan pada makhluk halus atau makhluk tidak berwujud yang juga dicipta oleh Tuhan Sang Pencipta.
Agama Asli Nusantara
Agama asli Nusantara adalah agama lokal, agama tradisional yang telah ada sebelum agama Hindu, Budha, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Islam dan Konghucu masuk ke Nusantara (Indonesia).
Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui bahwa sebelum agama-agama “resmi” (agama yang diakui) seperti Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha, kemudian kini Konghucu, masuk ke Nusantara atau Indonesia, di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dll.
Di dalam Negara Republik Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme, dinamisme, penyembah berhala/ batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan.
Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dsb. Seiring dengan berjalannya waktu dan zaman, Agama Asli Nusantara semakin punah dan menghilang, kalaupun ada yang menganutnya, biasanya berada di daerah pedalaman seperti contohnya pedalaman Sumatra dan pedalaman Papua.
Untuk memahami agama lokal, ada tiga istilah yang penting untuk dipahami bersama sebagai prinsip dari agama lokal:
(Dari definisi Wikipedia)
1. Animisme
Kepercayaan animisme atau kepercayaan kepada makhluk halus dan roh dipercayai merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul dalam kalangan manusia primitif purba kala. Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua, pokok atau batu besar), mempunyai semangat (spirit) yang mesti dihormati agar semangat tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu mereka dari semangat dan roh jahat dan juga dalam kehidupan seharian mereka. Semangat ini juga dikenali dengan pelbagai nama, antaranya jin, mambang, roh, datuk, tuan, dan penunggu. Kadang-kala semangat ini juga dianggap roh leluhur mereka yang telah meninggal yang kini menetap ditempat sedemikian.
Dianggarkan bahwa di Kalimantan Barat masih terdapat 7,5 juta orang Dayak yang tergolong pemeluk animisme.
Selain daripada semangat dan roh yang mendiami di tempat-tempat yang dinyatakan di atas, kepercayaan animisme juga mempercayai bahawa roh orang yag telah mati boleh masuk ke dalam tubuh hewan, misalnya suku Nias, di sebuah pulau yang terletak di barat Sumatera mempercayai bahawa seekor tikus yang keluar masuk dari rumah merupakan roh daripada wanita yang telah mati beranak. Roh-roh orang yang telah mati juga boleh memasuki tubuh babi atau harimau dan dipercayai akan menuntut balas ke atas orang yang menjadi musuh pada masa hidupnya. Kepercayaan ini menyerupai dengan kepercayaan kelahiran semula seperti yang terdapat pada agama Hindu.
2. Dinamisme
Dinamisme adalah pemujaan terhadap roh (sesuatu yang tidak tampak mata). Mereka percaya bahwa roh nenek moyang yang telah meninggal menetap di tempat-tempat tertentu, seperti pohon-pohon besar. Arwah nenek moyang itu sering dimintai tolong untuk urusan mereka. Caranya adalah dengan memasukkan arwah-arwah mereka ke dalam benda-benda pusaka seperti batu hitam atau batu merah delima. Ada juga yang menyebutkan bahwa dinamisme adalah kepercayaan yang mempercayai terhadap kekuatan yang abstrak yang berdiam pada suatu benda. istilah tersebut disebut dengan mana.
3. Makhluk Halus
Makhluk Halus merujuk kepada makhluk yang tidak mempunyai jasad sebagaimana manusia. Makhluk halus diyakini wujud oleh kebanyakan masyarakat di dunia, lebih-lebih lagi dalam kalangan masyarakat primitif. Kewujudan makhluk halus boleh dikesan dalam cerita-cerita dongeng, kitab agama, dan cerita-cerita lisan.
Dari definisi lain yang juga perlu diperhatikan:
1. Dinamisme, kepercayaan tentang adanya kekuatan atau kekuasaan atau kesaktian pada segala sesuatu yang ada di dalam alam ini, yaitu pada manusia, hewan maupun benda. Kekuatan ini di dalam agama-agama suku disebut juga dengan “mana” atau kesaktian. Lalu dipahami bahwa mana terutama ada di dalam benda-benda yang dikeramatkan atau yang dianggap memiliki kesaktian. Kekuatan ini melebihi kekuatan alamiah atau natural. Jadi ia merupakan kekuatan supernatural. Mana tidak berpribadi sehingga tidak dapat melakukan sesuatu dengan kemauan dan kemampuan sendiri. Harus ada pihak lain yang menggerakan dan memanfaatkan kekuatan itu. Mana atau kekuatan ini dapat menyebabkan hal baik atau buruk pada manusia. Karena itu, kekuatan ini menimbulkan rasa takut, heran, takjub atau rasa hikmat pada manusia. Benda atau hewan atau manusia yang dianggap memiliki mana selalu diperhatikan atau diistimewakan.Terhadap kekuatan-kekuatan ini manusia berusaha untuk menguasai atau menjinakkannya dengan berbagai cara dan penangkal. Penangkal itu diperoleh melalui upacara-upacara/ritus.
2. Animisme, kepercayaan kepada adanya kekuatan yang berpribadi di dalam dunia ini atau pada sesuatu atau benda. Sesuatu itu adalah subjek, jadi ia dapat melakukan sesuatu dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Di dalam agama, sosok ini ditunjuk kepada Sang Ilahi, Tuhan atau Dewa-dewi, atau mahluk-mahluk halus lainnya seperti Malaikat, Jin dan tuyul; dalam agama suku umumnya, sesuatu yang berjiwa ini biasanya ditunjuk kepada hewan (misalnyanya ular, burung, kerbau dan buaya), atau benda-benda yang dapat bergerak dan melakukan sesuatu (misalnya gunung, pohon, air, api, angin, halilintar dan hujan). Mahluk atau benad-benda ini dipercayai memiliki jiwa dan kehendak karena itu mereka dapat berbuat hal-hal yang baik dan bermanfaat tapi juga yang buruk dan merugikan.
3. Spiritisme, kepercayaan kepada roh, arwah orang yang sudah meninggal. Roh ini bisa berasal dari orang yang baru meninggal atau yang sudah lama meninggal, atau roh leluhur. Arwah ini dapat mendatangi manusia dan dapat melakukan sesuatu, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Terhadap arwah yang dapat berbuat jahat, manusia harus memiliki penangkal yang mencegah roh atau arwah itu mendekat atau melakukan hal buruk. Untuk menjalin hubungan baik dengan arwah ini, orang melakukan upacara dan memberikan berbagai persembahan atau sesajen. Juga orang dapat memanggil arwah tertentu dengan cara melakukan upacara/ritus mendatangkan arwah, seperti jailangkung.
4. Demonisme atau Satanisme, yaitu kepercayaan pada adanya mahluk halus (yang disebut hantu atau setan, atau juga iblis). Mahluk halus ini dapat dilihat oleh manusia atau pun tidak dapat dilihat. Manusia yang dapat melihat mahluk ini adalah yang memiliki kelebihan khusus. Makhluk ini atau demon ini, dengan kemauannya sendiri dapat menampakan diri pada orang-orang tertentu dan dapat melakukan sesuatu yang buruk pada manusia. Demon biasanya dipercayai sebagai sosok yang menakutkan dan jahat. Karena itu, biasanya orang merasa takut kepadanya; atau sosok itu dipakai untuk menakut-nakuti orang (biasanya anak kecil). Hantu atau setan ini berbeda dengan Iblis. Iblis lebih menunjuk kepada kekuatan atau kuasa jahat yang menggerakkan atau menguasai keadaan atau seseorang. Iblis muncul dalam perkataan dan perbuatan buruk atau jahat dari seseorang atau hewan yang dikuasainya (seperti ular dalam cerita Alkitab/Kejadian). Sedangkan setan atau hantu tampak dalam penampilannya sebagai mahluk aneh, buruk dan menakutkan, atau dalam bentuk atau penjelmaan dari seseorang yang sudah meninggal.
Di Indonesia, agama Nusantara/ agama suku yang paling banyak penganutnya adalah agama Buhun. Data yang terekam oleh peneliti Abdul Rozak, penulis Teologi Kebatinan Sunda, menunjukkan jumlah pemeluk agama ini 100,000 orang. Jika angka ini benar, agama Buhun jelas salah satu aliran kepercayaan terbesar di Indonesia, yaitu 25 persen dari seluruh penghayat aliran kepercayaan. Data Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 mengungkapkan, dari 245 aliran kepercayaan yang terdaftar, sementara keseluruhan penghayat mencapai 400 ribu jiwa lebih.
Daftar Agama Asli Nusantara (kepercayaan)
1. Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten)
2. Agama Jawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat)
3. Buhun (Jawa Barat)
4. Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur)
5. Parmalim (Sumatera Utara)
6. Kaharingan (Kalimantan)
7. Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara)
8. Tolottang (Sulawesi Selatan)
9. Wetu telu (Lombok)
10. Naurus (pulau Seram, Maluku)
11. Aliran Mulajadi Nabolon
12. Marapu (Sumba)
13. Purwaduksina
14. Budi Luhur
15. Pahkampetan
16. Bolim
17. Basora
18. Samawi
19. Sirnagalih
1. Sunda Wiwitan
Sunda Wiwitan (Bahasa Sunda: “Sunda permulaan”, “Sunda sejati” atau “Sunda asli”) adalah agama atau kepercayaan asli masyarakat Sunda yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda. Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu.
Mitologi dan sistem kepercayaan
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
1. Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
2. Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
3. Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
Filosofi
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
· Welas asih: cinta kasih
· Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
· Tata krama: tatanan perilaku
· Budi bahasa dan budaya
· Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya.
Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antar manusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
· Rupa
· Adat
· Bahasa
· Aksara
· Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.
· Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
· Yang bisa membahayakan diri sendiri
Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang Kanekes disebut “Buyut”) paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam.
Dalam Masyarakat Baduy, salah satu konsep penting dalam religi mereka yaitu karuhun, generasi-generasi pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di hulu Sungai Ciujung.
Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para keturunannya hutan kampung. Dalam kaitan dengan konsep karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi para keturunannya dari segala marabahaya, baik gangguan orang lain maupun mahluk-mahluk halus yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan) sedangkan wangatua ialah roh atau penjelmaan roh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.
Kosmologi masyarakat Baduy yang menghubungkan asal mula dunia, karuhun dan posisi tangtu, merupakan konsep penting pula dalam religi mereka. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di Kanekes, terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung tangtu dan kabuyutan. Bumi dianggap bermula dari masa yang kental dan bening, yang lama-kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka.
Buana tempat tujuh batara diturunkan untuk menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat nenek moyang. Kampung tangtu kemudian dianggap sebagai inti kehidupan manusia, yang diungkapkan dengan sebutan Cikeusik, Pada Ageung Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cikeusik disebut Parahyang, semua itu disebut Sanghyang Daleum. Secara khusus posisi tempat nenek moyang (kabuyutan) dan alur tangut dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada Agueng ---- Sasaka Pusaka Buana ---- dangkanya disebut Padawaras; Kadukujang ---- Kabuyutan ikut pada Cibeo dan Cikeusik ---- dengan dangka-dangkanya yang disebut Sirah Dayeuh. Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buan Luhur atau Buana Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah, tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan memperoleh segala suka-dukanya. Buana Handap (buana bawah) ialah bagian dalam tanah yang tak terbatas pada luasnya. Keadaan di tiga benua itu adalah seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan keadaannya sebaliknya dengan di dunia.
2. Agama Djawa Sunda
Agama Djawa Sunda (sering disingkat menjadi ADS) adalah nama yang diberikan oleh pihak antropolog Belanda terhadap kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), agama Sunda Wiwitan, ajaran Madrais atau agama Cigugur. Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari agama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, para pemeluk “Agama Kuring” di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dll.
Jumlah pemeluknya di daerah Cigugur sekitar 3.000 orang. Bila para pemeluk di daerah-daerah lain ikut dihitung, maka jumlah pemeluk agama Buhun ini, menurut Abdul Rozak, mencapai 100.000 orang, sehingga agama Buhun termasuk salah satu kelompok yang terbesar di kalangan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
ADS atau agama Sunda Wiwitan ini dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya.
Madrais yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais adalah keturunan dari Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Jawa-Sunda.
Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap Dewi Sri (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi.
Selain itu karena non muslim Agama Djawa Sunda atau ajaran Madrais ini tidak mewajibkan khitanan. Jenazah orang yang meninggal harus dikuburkan dalam sebuah peti mati.
3. Kedjawen
Kata Kedjawen di sini adalah sebuah agama Nusantara pertama yang lahir di Indonesia (Nusantara), yang dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa, dan suku bangsa lainnya yang tinggal atau menetap di pulau Jawa. Artinya Kedjawen (dengan huruf d) adalah sebuah agama atau kepercayaan atau keyakinan.
Sedangkan kata Kejawen, yang berasal dari kata Jawi, adalah sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia, yaitu seorang yang berbudi luhur. Sehingga Kejawen juga sebagai sebutan/predikat bagi pemeluk Kedjawen (agama Jawi), sebagai contoh, pemeluk agama Islam disebut sebagai Muslim, pemeluk agama Kristen sering disebut Nasrani.
Dalam konteks umum, Kejawen merupakan agama lokal Indonesia. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz pernah menulis tentang ini, dalam bukunya yang ternama The Religion of Java atau dalam bahasa lain, Kejawen disebut Agami Jawi. Penganut Kejawen biasanya menganggap ajarannya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah perilaku orang yang beradap. Ajaran kejawen biasanya bertumpu pada konsep keseimbangan. Dalam pandangan demikian, Kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya.
Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofii orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa.
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku. Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi) namun pembinaan dilakukan secara rutin.
Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, ritual, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang yang tidak memahami yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktek klenik dan perdukunan.
Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.
Beberapa aliran Kedjawen
Terdapat ratusan aliran kejawen dengan penekanan ajaran yang berbeda-beda. Beberapa jelas-jelas sinkretik, yang lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran agama tertentu. Namun biasanya ajaran yang banyak anggotanya lebih menekankan pada cara mencapai keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya mempraktekkan ajaran agama (lain) tertentu.
Beberapa aliran dengan anggota besar
1. Padepokan Cakrakembang
2. Sumarah
3. Budi Dharma
4. Maneges
Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran yang mengikuti ajaran Sabdopalon, atau penghayat ajaran Syekh Siti Jenar.
Pandangan Dr. Purwo Susungko tentang Kedjawen
Beliau mendapatkan ajaran Kejawen sebagaimana termuat dalam Suluk Abdul Jalil Syeh Siti Jenar, yang dikenal sebagai ajaran Kapitaya. Poin-poin yang disampaikan Beliau adalah sebagai berikut:
1. Dituturkan bahwa budaya Jawa dewasa ini mendapatkan pengaruh dari banyak unsur, seperti blangkon dari Timur Tengah dan jas dari Belanda. Peradaban Jawa sendiri menurut penuturan Beliau dimulai di Laut Jawa tahun 700 SM, sewaktu Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatera masih menjadi satu, di mana manusia masih belum seperti sekarang.
2. Setan sendiri tidak dikenal dalam konsep Jawa, yakni dalam artian setan yang menggoda manusia dan bahkan setan tidaklah dianggap sebagai musuh, melainkan teman.
3. Menurut tradisi Jawa, alam itu dibagi menjadi 3, yakni:
1. Alam Parahyangan (atas), yakni alam yang memiliki budi pekerti tinggi. Terdiri dari orang-orang suci/ baik dan merupakan alam dewa. Kondisinya dikenal sebagai alam suwung atau sangkan paraning dumadi.
2. Alam madya, yakni alam manusia yang dapat dirasakan dengan panca indra (sains).
3. Alam palemahan (bawah), yakni alam buta, raksasa, dan setan. Ciri khas alam ini adalah kemelekatan luar biasa.
4. Terdapat empat golongan manusia menurut Kejawen, yakni:
1. Golongan Tutug (sempurna), yakni orang yang menyembah Tuhan secara sempurna. Mereka melakukan pemujaan tanpa pamrih. Hati dan pikiran senantiasa terarah pada Tuhan (Sanghyang Tata). Orang-orang seperti ini hanya dapat dihitung dengan jari.
2. Golongan Tuhu (Jawa kuno: benar, tulus, bersungguh-sungguh). Yakni orang yang melakukan pemujaan pada Tuhan dengan tujuan pamrih, umpamanya dengan harapan terlahir di surga).
3. Golongan Tungga (Jawa kuno: Luhur, mulia). Mereka melakukan pemujaan kepada Tuhan dengan tujunan pamrih ukhrawi dan duniawi. Dalam artian selain mengharapkan terlahir di surga, mereka berharap mendapatkan kemegahan dalam kehidupan duniawi.
4. Golongan Tugul (Jawa kuno: bodoh, awam), orang yang belum menyembah Sanghyang Tata (Tuhan) dengan cara yang benar. Mereka hanya mendengar mengenai Sanghyang Tata secara samar-samar. Mereka menyangka bahwa Tuhan berdiam di surga yang terletak di puncak gunung. Mereka menyakini bahwa di dalam benda-benda terdapat makhluk-makhluk halus yang dapat diminta pertolongan. Golongan semacam ini hanya mengarahkan perhatiannya pada kebahagiaan duniawi saja.
Mengapa setan mengganggu manusia? Karena manusia berkomunikasi dengan mereka, terutama golongan Tugul yang hanya mengharapkan kebahagiaan duniawi.
Menurut Beliau, Kedjawen tidak mengenal pengusiran setan, yang ada hanyalah penetralan. Ada penyakit ganda, yakni fisik dan metafisik. Di antara aspek fisik dan metafisik yang terpenting adalah karma baik.
Oleh karena itu, di dalam Kedjawen tidak mengenal konsep setan yang menggoda manusia berbuat jahat, sebab manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri. Setan dalam konsep Kedjawen lebih dimaknai sebagai semacam nafsu keinginan yang merupakan sumber penderitaan hidup. Bila manusia hidup selalu mengutamakan nafsu maka penderitaanlah yang didapat.
Bagamana membebaskan diri dari kekuatan negatif? Menurut Kedjawen, orang yang terkena kekuatan negatif, perlu meminta pertolongan orang yang ahli dalam bidang itu. Namun perlu diingat bahwa orang terkena pengaruh negatif tersebut juga dikarenakan karmanya. Jadi, dalam Kedjawen yang penting adalah pencegahan, ketimbang proses kuratifnya.
Namun, dari sumber yang berbeda, ditemukan pula konsep Makhluk Halus, Jin dan Setan.
Tentang mereka, disebutkan bahwa mereka adalah mahluk yang hidup di dunia ini juga. Cuma bedanya, mereka memiliki frekuensi yang berbeda dengan frekuensi manusia. Selain itu, zat badan mereka pun, tidak terdiri dari zat-zat yang kasar, seperti yang kita biasa temui di dunia nyata kita ini. Sehingga tidak mengherankan, jika mereka disebut dengan mahluk halus. Tetapi pada prinsipnya, pola kehiduan sosial mereka secara umum, sama seperti kehidupan manusia di dunia nyata ini. Singkat kata, mereka ada yang baik dan ada yang jahat, ada yang pintar dan ada pula yang bodoh. Pola pergaulannya pun hampir sama dengan pola pergaulan manusia secara umum.
Jin adalah jenis mahluk halus yang termasuk dalam kategori pintar dan pintar sekali, sehingga ada sebagian dari mereka yang dapat berubah wujud, menjadi berpenampilan seperti manusia normal. Dalam kehidupan Jinpun ada yang punya sifat baik dan ada yang memiliki sifat buruk.
Jadi tidak ada alasan memusuhi jin yang bersifat baik. Tetapi seperti manusia pula, dimana di dalam kehidupan nyata sehari-hari kitapun dapat terkecoh oleh copet yang ber-jas dan berdasi.
Banyak sekali para tokoh agama import yang menyalah-artikan mahluk halus dengan menyamaratakan semua mahluk halus tersebut dengan sebutan setan (syetan). Hal ini sebenarnya adalah untuk mengelabuhi orang-orang awam, agar tidak bisa bergaul (ingat, bukan menyembah) dengan mahluk halus yang baik, dan mau saling tolong-menolong dengan manusia.
Jadi bagi seorang Kedjawen, seyogyanya tidak boleh cepat-cepat menghakimi bahwa mereka semua adalah syetan karena syetan sesungguhnya adalah sifat yang paling buruk dalam kehidupan di tiga dunia ini (dunia nyata, dunia mahluk halus, dan dunia maya).
Tokoh agama import tersebut sebenarnya, ingin mengeliminasi pergaulan manusia awam dengan mahluk halus (ada yang baik dan ada yang jahat). Hal ini dikarenakan, agar tokoh agama tersebut dapat memanfaatkan pertolongan mahluk halus tersebut lebih leluasa, untuk kepentingan dan keuntungan tokoh agama import itu sendiri.
Jadi keterangan mereka atau pembelajaran mereka kepada pengikutnya, adalah terbalik dengan apa yang mereka perbuat di balik itu semua. Romo (seorang tokoh Agami Jawi) selalu menasehati kita, bahwa jangan pernah buat janji pada mahluk halus. Makna tersebut sebenarnya sama dengan "Jangan gampang membuat janji kepada orang lain, karena janji itu hutang".
Kalau seseorang berjanji kepada orang lain, pasti orang yang mendapat janji tersebut akan menagih janji jika dia butuh janji tersebut. Tetapi karena manusia terikat dengan dimensi waktu dan tempat, maka si penagih janji tidak dapat setiap saat muncul di hadapan orang yang memberi janji tersebut. Sementara mahluk halus tidak mengenal dimensi tempat, sehingga mereka bisa setiap saat menagih janji tersebut. Inilah yang sangat mengganggu manusia yang mudah membuat janji tersebut.
4. Parmalim
Parmalim, adalah nama sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dibilang agama yang terutama dianut di Propinsi Sumatra Utara. Agama Parmalim adalah agama asli suku Batak. Pimpinan Parmalim saat ini adalah Raja Marnangkok Naipospos.
Agama ini bisa dikatakan merupakan sebuah kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang tumbuh dan berkembang di Tanah Air Indonesia sejak dahulu kala. “Tuhan Debata Mulajadi Nabolon” adalah pencipta Manusia, Langit, Bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh “Umat Ugamo Malim” (“Parmalim”).
5. Kaharingan
Kaharingan/Hindu Kaharingan adalah kepercayaan/agama lokal suku Dayak di Kalimantan. Istilah kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan), maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Karena Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama yang diakui Pemerintah, kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tolottang (Hindu Tolottang) pada suku Bugis, dimasukkan dalam kategori agama Hindu sejak 20 April 1980, mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying.
Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat Ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan.
Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau BALAI KAHARINGAN. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.
Dewasa ini, suku Dayak sudah diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam Kartu Tanda Penduduk. Dengan demikian, suku Dayak yang melakukan upacara perkawinan menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkawinan tersebut oleh negara. Hingga tahun 2007, Badan Pusat Statistik Kalteng mencatat ada 223.349 orang penganut Kaharingan di Indonesia.
Tetapi di Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah), nampaknya kepercayaan Dayak ini tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu, jadi dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama apapun. Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) pusatnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah
6. Wetu Telu
Wetu Telu (Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok dalam menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam di masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap. Saat ini para penganut Wetu Telu sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut.
Konon, sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinemisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah Bahasa Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.
Dalam masyarakat lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan sebutan “Waktu Telu” sebagai akulturasi dari ajaran islam dan sisa kepercayaan lama yakni animisme, dinamisme dan kerpercayaan Hindu. Selain itu karena penganut kepercayaan ini tidak menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya (dikenal dengan sebutan “Waktu Lima” karena menjalankan kewajiban salat Lima Waktu).Yang wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang-orang tertentu seperti kiai atau pemangku adat (Sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup (kematian,kelahiran,penyembelihan hewan,selamatan dsb) harus diketahui oleh kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.
7. Marapu
Marapu adalah sebuah agama lokal yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba. Agama ini merupakan kepercayaan peninggalan nenek moyang dan leluhur. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini.
Pemeluk agama ini percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal, di dunia roh, di surga Marapu, yang dikenal sebagai Prai Marapu.
Upacara keagamaan marapu (seperti upacara kematian dsb) selalu diikuti dengan pemotongan hewan seperti kerbau dan kuda swebagai korban sembelihan, dan hal itu sudah menjadi tradisi turun-temurun yang terus di jaga di Sumba.
... BERSAMBUNG ke PENDAHULUAN (BAGIAN 12-2)
- RDF's blog
- Login to post comments
- 7663 reads
@rdf, konsep setan dalam agama asli nusantara
Hai Bro....
Dari beberapa agama nusantara yang anda paparkan, hanya dalam Kedjawen saja yang menyebutkan tentang setan, jin dan makhluk halus. Itupun tidak jelas asal-usulnya. Dalam hal ini, konsep setan menurut ajaran kedjawen tampaknya dipengaruhi oleh pengertian / konsep setan menurut ajaran Islam, karena disebutkan ada jin baik dan jin jahat.
Dalam agama-agama nusantara yang lain tidak ada atau tidak anda temukan konsep setannya??
Kalau memang dalam agama-agama nusantara tersebut tidak ada konsep setan, sebaiknya tidak usah anda paparkan dalam tulisan anda (blog dan buku).
Salam...
@widdy: konsep setan dalam agama asli Nusantara
Hai Bro,
terima kasih atas masukan-masukannya yang selalu kritis.
Secara prinsip konsep setan dalam semua agama Nusantara yang RDF sebutkan berdasarkan catatan-catatan sejarah dan pakar antropologi dan survei lapangan, semua meyakini apa yang disebut dengan 'makhluk halus'. Ini dapat dipahami karena agama asli Nusantara adalah bentuk kepercayaan sebelum masuknya agama-agama impor yang secara 'naluriah' terlahir dari 'nafas' manusia yang merasakan bahwa di luar dirinya ada sesuatu yang lebih besar darinya dan dimotori oleh paham animisme serta dinamisme.
RDF berdasarkan catatan sejarah dan penjajakan juga menyertakan konsep setan atau jurig yang dipercayai oleh agama Sunda Wiwitan juga agama ADS. Terkait pengaruh ajaran Islam terhadap Kedjawen, pada buku RDF akan dibahas lebih tuntas karena sebenarnya Kedjawen 'asli' sebelum masuknya Islam dan akulturasinya terhadap Kedjawen agar terlihat perbedaan lebih jelas.
Dikarenakan mengejar deadline peluncuran buku RDF dan nasehat widdiy agar pada Blog tidak dikupas rinci agar menimbulkan rasa 'penasaran' sehingga buku RDF mudah-mudahan laku keras (hehe) oleh sebab itu Blog-Blog RDF hanya akan menjadi 'teaser' agar para pembaca Blog ini dapat meneruskan pembacaannya pada buku RDF. Di buku RDF nanti, konsep setan dari agama asli Nusantara akan jauh dibahas lebih tuntas.
Salam
@rdf, oke....
Oh....okelah kalau begitu...hehehe
@widdiy: Siap!
Siap!