Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Pak Rakus
Adi Surya Pradipta, itu nama yang diberikan oleh orang tuaku. Namun kebanyakan orang lebih suka memanggilku dengan Rakus. Pak Rakus. Kedengaran agak aneh tapi sejujurnya aku juga amat menikmatinya sebab panggilan itu menggambarkan watakku yang sebenarnya. Yah, aku memang rakus. Meski sudah punya harta berlimpah dan jabatan tinggi di sebuah perusahaan milik pemerintah, aku tetap bekerja keras untuk menumpuk harta. Bukan dengan jalan yang baik tetapi aku suka sekali melakukan korupsi. Apalagi kalau nilainya mencapai trilyunan rupiah.
Nah, gara-gara korupsi, akhirnya aku kesandung masalah. Aku dituduh telah menyalahgunakan wewenang untuk mengijinkan pengucuran dana kepada sebuah perusahaan skala nasional yang lagi sekarat. Nggak tanggung-tanggung, nilainya mencapai ratusan trilyun. Wih…. betul-betul angka yang sangat fantastis.
Apakah aku melakukannya? Wah, ini jelas pertanyaan konyol karena sesuai sifatku, aku pasti tidak akan melewatkan kesempatan untuk memperkaya diri. Tapi seperti yang sudah-sudah, aku mempersiapkan berbagai skenario untuk mementahkan tuduhan tersebut. Selain itu, aku juga membagikan uang dalam jumlah besar kepada beberapa pihak yang terlibat dalam penuntasan masalahku mulai dari penyidik, saksi-saksi, jaksa, penuntut umum hingga hakim. Pokoknya, semua aku bagi rata dan tidak ada yang tertinggal.
Setelah melalui berbagai sinetron persidangan, akhirnya aku dijatuhi hukuman 2 tahun dari kemungkinan 20 tahun berdasar Kitab Hukum yang berlaku. Senang? Itu pasti. Dan aku pun menanggapinya dengan tertawa lebar. “Ah… kalau hanya 2 tahun itu kecil… nggak ada apa-apanya…,” gumanku dalam hati.
Beberapa hari kemudian aku mulai menempati sel khusus. Aku namakan khusus karena sel ini memang berbeda dengan sel yang lain. Dan itu harus, karena statusku adalah koruptor bukannya pembunuh, pemerkosa, penjambret atau maling ayam. Kalau mereka sich, ditempatkan di satu ruangan sempit hingga berjejalan adalah keharusan. Sedangkan aku, TIDAK MUNGKIN!!!
Selku adalah istanaku. Makanya aku meminta sebuah ruangan yang cukup luas. Dindingnya kemudian aku lapisi dengan wallpaper yang indah. Seluruh ruangan aku penuhi dengan barang-barang super mewah. AC ukuran besar yang terpasang di dinding sebelah atas. Satu set alat karaoke lengkap dengan sound systemnya. Komputer yang tersambung dengan jaringan internet. TV flat 29 inch. Kulkas dan mesin cuci. Kasur mewah. Juga seperangkat alat-alat finess. Pokoknya, tidak jauh berbeda dengan suasana kehidupanku sebelumnya.
Setengah tahun berlalu. Pagi ini, seperti biasanya, aku sedang fitness di dalam selku. Namun baru beberapa menit, ada rasa nyeri yang tiba-tiba menggigiti dadaku. Aku mencoba merebahkan badan di sofa tetapi nyeri itu tidak kunjung hilang bahkan kini semakin menggila. Dengan nafas tersengal-sengal sambil memegang dada, aku mencoba berdiri. Tujuanku hanya satu; membuka brankas yang terletak di sebelah kasur, mengambil seluruh isinya dan mencoba menyogok Tuhan agar rasa nyeri ini cepat hilang.
Baru beberapa langkah, aku sudah tidak kuat. Nyeri semakin pedih dan terasa bagaikan tikaman belati. “Tuhan, ambilah seluruh uangku ini. Jangan ambil nyawaku karena aku masih mencintai dunia ini!” teriakku menghiba.
Namun takdirku memang sudah tiba. Segala harta benda menjadi tidak lagi berarti. Akhirnya, aku mati. Mati di dalam kesunyian.
- cahyadi's blog
- Login to post comments
- 5236 reads
KKN
Dulu sewaktu reformasi 98, saya dengar ada ide bahwa yang namanya pengadilan rakyat itu adalah menyeret koruptor ke alun2, dan menembak mati anggota keluarga mereka terlebih dahulu, baru setelah itu si koruptor.
Saya pikir itu cara cepat untuk memberantas KKN. Tapi yang berteriak2 di lapangan anti KKN, ternyata ada juga yang entah ayahnya atau ibunya, pamannya atau kakek neneknya ternyata koruptor juga. Jadi serba salah. Akhirnya revolusi gak dipilih, melainkan reformasi (baca:biar lambat asal selamat).
Teman saya yang sering kita ledek sebagai kiri abis, bilang begini ke kita2 di suatu hari, "rakyat Indonesia seharusnya sekarang jangan komplen kalo pemberantasan KKN berjalan lambat. Ini adalah pilihan kalian sendiri di tahun '98."
One man's rebel is another man's freedom fighter
@PB: sori ngelantur..
"..Dulu sewaktu reformasi 98.."
Bro PB dulu seorang aktivis demo '98 kah? Jadi ingat masa demo '98 dulu. Nekat mau ambil gambar saat demo berlangsung, saya panjat sebuah pohon dan saya bolongi tas (untuk moncong lensa) agar tidak kentara bawa kamera. Waktu itu saya masih kuliah, masih imut-imutnya dan ganteng-gantengnya (kalau nggak percaya tanya istri saya... ).
Eh, dasar apes, gerak-gerik saya ketahuan sama aparat, lantas mau diciduk. Tidak mau ketangkap, saya ambil langkah seribu ke arah kerumunan mahasiswa pendemo, berharap cari perlindungan. Owalah, entah karena apa (sampai sekarang saya juga tidak tahu), begitu tiba di sana saya malah mau digebukin sama teman-teman sendiri!
Puji Tuhan, di saat darurat seperti itu ada satu mahasiswa di barisan depan yang kebetulan kenal (saya ingat do'i dari Fak. Kehutanan), dipeluklah saya sambil spontan meminta KTM, dan kemudian diacung-acungkannya ke atas sambil berteriak: "Tenang.. Ini teman..., teman..!!"
Saya tidak pernah lupa bagaimana rasanya saat itu, dan saya tidak akan mau lagi motret-motret saat demo.....
Kapok, kapok, kapok.. Tobat, tobat, tobat...
Shalom!
(...shema'an qoli, adonai...)
(...shema'an qoli, adonai...)
@Ebed
Bukan Ebed. Tahun '98. saya masih piyik, alias masih sangat muda. Makanya saya cuma dengar2 saja :)
One man's rebel is another man's freedom fighter
@PB: Ooo...
Oh, begitukah bro?
Terima kasih untuk penjelasannya...
Masih piyik? Piyik rules bro!
Shalom!
(...shema'an qoli, adonai...)
(...shema'an qoli, adonai...)
Enake dipeyuk
Ebed: Puji Tuhan, di saat darurat seperti itu ada satu mahasiswa di barisan depan yang kebetulan kenal (saya ingat do'i dari Fak. Kehutanan), dipeluklah saya sambil spontan meminta KTM, dan kemudian diacung-acungkannya ke atas sambil berteriak: "Tenang.. Ini teman..., teman..!!"
Itu yg meluk akhirnya jadi mantan pacar ya? Hayo ngakuuu hahahaha
"Literary interpretation is in the eye of the beholder."
“The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles.” - M. Gandhi
@Hannah: Weladhalaahhh..
Ya amploppp...., itu yang meluk saya sesama jenis juga kok mb Hannah..
Dia badannya kan tinggi kekar gitu (makanya dipasang di depan sama teman-teman), ya, saya yang rada kecil ini seperti tenggelamlah dalam pelukannya, yang penting aman dulu, hehehe.
Keberingasan orang saat demo-demo seperti itu memang sulit untuk diprediksi. Sekarang saya bisa tertawa, mb Hannah. Waktu itu.., hiiiyyyyy.....
Shalom!
(...shema'an qoli, adonai...)
(...shema'an qoli, adonai...)
@Ebed Ooo bunder
Oooo.. Hannah uda ngebayangin yg lomantis aja dipeyuk di tengah2 hingar bingar demonstrasi trus berakhir di pelaminan hahaha
"Literary interpretation is in the eye of the beholder."
“The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles.” - M. Gandhi