Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Aksara cantik 10-10-10
Awal tahun si puteri bungsu bertanya, “Boleh enggak aku menikah tahun ini tanggal 10 Oktober?” Mengapa tidak? Hubungannya dengan pacarnya sudah berlangsung 4 tahun. Pacarnya satu gereja sekaligus satu bidang pelayanan. “Boleh-boleh saja,” jawab saya. “Tetapi apa kamu punya uang banyak? Tanggal itu berangka indah 10-10-10. Hari Minggu lagi. Besok kamu buat perkiraan biayanya.”
– o –
Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi kita tahu aksara cantik punya harga lebih mahal. Ada tambahan biaya, seperti halnya ‘tuslah’ pada karcis bis antarkota pada waktu Lebaran. Lalu mengapa orang bersedia membayar lebih untuk memilikinya?
Pertama, karena keyakinan adanya pengaruh simbol-simbol tertentu dalam hidup manusia. Entah berapa banyak bayi yang lahir lewat operasi caesar agar bisa dicatat sebagai manusia pada tanggal 07-07-07. Tanggal yang sama juga mendorong orang ramai-ramai menikah. Hal ini disebabkan angka 7 dalam beberapa budaya atau agama kuno dipercayai membawa keberuntungan. Bukankah Yesus juga memerintahkan kita mengampuni sebanyak 70 x 7 kali. Sayangnya angka keberuntungan yang dipergunakan Yesus ini hanya menguntungkan orang yang menganiaya kita sehingga tak sudi kita mematuhinya.
Tanggal 09 September 2009 juga membentuk angka indah walau tidak selaris 07-07-07. Pada tanggal itu di kota saya tidak ada Event Organizer yang menganggur.
Sebagai orang Kristen kita tidak memercayai keampuhan pengaruh simbol terhadap hidup kita. Jika ada pendeta yang ditahbiskan pada tanggal 02 bulan 03 tahun (20)04 pada pk. 05 sore, tentu bukan didasari kepercayaan ini.
Kedua, untuk mendongkrak gengsi. Orang kaya pasti ingin lebih banyak orang yang tahu ia kaya. Cobalah lihat mobil-mobil yang berlalu lalang di jalan. Tidak ada mobil jelek yang memakai aksara cantik seperti F-4-NI, AB-2376-DO, AD-10-SS, B-1111-SA, B-10-LA, H-471-KU karena mereka tidak mampu membayar lebih mahal. Angka cantik untuk tanggal pernikahan tentu juga untuk mendongkrak gengsi.
Belum sampai satu minggu si puteri bungsu memberikan laporannya. “Aku menikah tahun 2011 saja,” katanya.
“Lalu rencanamu untuk tanggal 10 bulan 10 tahun 10 bagaimana?”
“Semua jasa ketering, rias pengantin, sewa gaun pengantin, sewa gedung, naik semua sampai 2 – 3 kali lipat.”
“Tenang saja, nanti aku carikan tanggal yang lain,” hibur saya.
Sebelum ia memberi laporan saya sudah menghubungi beberapa teman yang bekerja sebagai Wedding Organizer. “Dua tahun sebelum tanggal itu semua restoran dan gedung-gedung yang biasanya laris disewa untuk pesta perkawinan sudah habis dibooking oleh EO walau mereka belum mendapat orderan. Kurang setahun semua stock ini sudah habis dipesan oleh konsumen.”
Ketiga, agar mudah diingat orang. Dengan tujuan yang ini banyak perusahaan yang berusaha memiliki nomor telepon cantik sehingga memudahkan konsumen atau nasabahnya mengingatnya. Terlebih lagi rumah makan yang menyediakan fasilitas delivery. Dulu ketika kapasitas phone book di hape masih kecil, orang mencari nomor hape cantik juga untuk tujuan ini sehingga harga nomor cantik hape mahal sekali. Sekarang tidak lagi karena kapasitas phone book bisa menyimpan ratusan nomor. Pernah petugas konter reconfirm di airport Cengkareng yang menanyakan nomor hape saya dan saya jawab “lupa” heran.
“Masa Bapak lupa nomor hape sendiri?”
“Memangnya saya pernah menelepon nomor hape saya?”
“Iya ya,” ragu ia mengiyakan
“Begini saja. Saya miss call ke hape Anda supaya Anda tahu nomor hape saya.”
Gara-gara pendeta yang saya kisahkan di atas itu ditahbiskan pada tanggal cantik saya lupa siapa namanya karena keseringan menyebutnya “pendeta djiesamsu.”
Lalu apakah angka cantik tanggal pernikahan juga untuk memudahkan orang lain mengingatnya? Tentu tidak. Buat apa mereka mengingat tanggal pernikahan kita? Mungkin berguna bagi sanak keluarga apabila keluarganya punya kebiasaan saling memberi kado untuk memperingati hari-hari istimewa. Tetapi jika hanya untuk mudah mengingatnya, dengan kemajuan teknologi informasi sekarang kita bisa menyimpan informasi ini di komputer atau hape dalam menu agenda atau organizer yang bisa mengingatkan kita menjelang tanggal itu tiba. Dengan demikian seharusnya tak perlu kita repot-repot mencari tanggal cantik pernikahan, bukan? Tetapi saya tidak tega mengutarakannya kepada puteri saya.
“Bagaimana jika rencanamu dimajukan 8 hari? Hari Sabtu tanggal 02 bulan 10 tahun 2010 pukul 11:00? ‘Kan ini angka cantik juga?”
“Kalau itu angka cantik, sewa gedung sama juga mahalnya.”
“Aku yang bayar.”
“Lucu. Kalau dulu kakak menikah boleh bayar sendiri masa sekarang aku minta dibayari.”
“Ada tempat yang murah.”
“Mana?”
“Halaman belakang gereja! Pasang tenda, hidangan prasmanan. Rundingkan dengan calonmu. Kalau ia setuju segera kirim surat ke MJ sekalian surat permohonan pinjam halaman agar tidak kedahuluan orang lain.”
“Tapi bagaimana kalau begitu dekat harinya mendadak gereja punya acara yang butuh halaman itu? Bukankah ada hukum tak tertulis kalau kepentingan gereja harus didahulukan? Mana mungkin mencari tempat lain dalam waktu kurang dari seminggu? Acaraku bisa berantakan dong.”
“Tak perlu kuatir. Aku nanti kirim ke majelis negosiator maju-tak-gentar.”
“Siapa?”
“Mamamu,” jawab saya membuatnya tertawa.
Dan memang itulah yang terjadi. Komisi Pendidikan mengundurkan waktu pembagian santunan beasiswa. Komisi PI yang terlanjur mewartakan kegiatan baru “Dapur Kasih” yang menyediakan makan siang gratis kepada para marjinal mengalah mundur seminggu. Seksi Rumah Tangga gereja menunda mengganti ubin ruang pertemuan karena debunya pasti terbang mengotori makanan.
Ketika pendeta muncul di pintu gereja menjelang pukul 11.00, saya menelepon si puteri bungsu, “Posisi ada di mana? Langsung ke gereja ya, jangan mampir di warung soto.”
Sesaat kemudian mereka telah tiba di gereja. Ketika prosesi memasuki ruang ibadah, saya terkejut. Jumlah yang hadir belum mencapai 100 orang. Bukan, bukan saya kuatir merugi dalam kegiatan ini. Bagi saya tidak bijak dalam perencanaan anggaran pernikahan uang sumbangan ikut diperhitungkan. Kartu undangan yang mereka disain sendiri tidak mencatumkan gambar bunga (yang disilang), gambar kado (yang disilang) dan gambar amplop (yang dicentang). Dalam sampul undangan juga tidak diselipkan kartu kecil untuk menulis data diri yang diundang karena kartu kecil itu menyiratkan harapan “jangan lupa sumbangan Anda.”
Bagi kami kehadiran tamu jauh lebih penting daripada ‘simbol-simbol’ itu seperti yang selalu saya ingatkan tentang Tuhan kepada anak-anak saya. Yang penting Tuhan hadir dalam hidup kita walau tidak membawa hadiah. Tuhan bisa saja memberi kita hadiah ‘bunga’ berupa rasa tentram, perasaan gembira dan bahagia, keindahan alam di depan kita. Terima dan syukurilah. Tuhan bisa saja memberi kita hadiah ‘barang’ berupa rumah kecil tetapi bukan rumah kontrakan, motor bekas tetapi tak pernah mogok, hape jadul tapi masih bisa bersms-ria, gereja kecil tapi tak pernah ribut. Terima dan syukurilah. Tuhan bisa saja memberi kita hadiah ‘uang’ berupa gaji kecil tapi anehnya bisa mencukupi keperluan selama sebulan, bonus yang tak besar tapi bukan hasil korupsi. Biar sedikit terima dan syukurilah. Tetapi jauh lebih penting adalah kehadiran-Nya dalam hidup kita.
Dua hari sebelumnya saya diminta mengantar uang ke kantor jasa ketering. Waktu menyerahkan uang itu baru saya tahu jumlah makanan yang dipesan. Kami sudah menghitung perkiraan tamu maksimum yang akan hadir. Tetapi karena acara ini berlangsung pada Sabtu siang, pasti ada yang tidak bisa datang karena belum selesai jam kantor. Lagipula bila mereka diundang ke gereja, biasanya tidak semua anggota keluarganya ikut. Bila satu kartu undangan ke gedung pesta akan mendatangkan suami, istri dan 2 orang anak; satu kartu undangan ke gedung gereja tidak akan mendatangkan orang sebanyak itu karena “biar seluruh anggota keluarga diboyong tetap saja hanya dapat 1 cidera mata dan roti 1 kotak.” Lagipula di kartu undangan tidak ditulis adanya perjamuan. Jadi seharusnya yang dipesan paling banyak sama dengan angka hadir maksimum seolah-olah acara ini diadakan di gedung pertemuan, bukan di gereja. Tetapi di atas formulir pemesanan ketering saya melihat angka 150 lebih tinggi dari angka maksimum. Apa tidak mubazir? Saya menelepon putri bungsu. Jawabnya, “Kalau prasmanan orang makan bisa nambah terus menerus. Apalagi ini ketering kelas satu, makanannya enak banget. Lebih baik kebanyakan daripada kekurangan. Kalau sisa? Itu lebih mudah solusinya daripada kalau kurang.” Karena yang dipergunakan uangnya, saya tidak protes lebih lanjut.
Ketika acara ibadah selesai dan mempelai diminta berdiri bersama orangtuanya menghadap jemaat, kembali saya terkejut. Ruang ibadah penuh! Malah sekarang saya kuatir ada yang pulang karena tidak mendapat tempat duduk. Mudah-mudahan teman-teman yang membantu di luar ruang ibadah mengajak mereka langsung ke tempat makan. Kami tidak memakai jasa EO karena mengandalkan tenaga teman.
Ketika pengantin sibuk berfoto dengan teman-temannya, saya pergi ke halaman belakang gereja di mana pesta diselenggarakan. Saya tidak masuk ke ruang pertemuan yang dikhususkan untuk keluarga, tetapi bercampur dengan para tamu di bawah tenda. Saya senang melihat mereka menyukai makanan yang tersaji. Ketika separoh tamu sudah meninggalkan halaman, mempelai baru bergabung untuk makan di ruang pertemuan.
“Makanan masih banyak,” kata Tius yang membantu mengawasi kelancaran pasokan makanan. “Sisanya dibagikan ke panti-panti asuhan?”
“Tidak,” jawab istri saya. “Panti asuhan sudah sering mendapat antaran makanan enak.”
“Kami sudah menyediakan kantong-kantong plastik untuk membungkus sisanya. Ibu nanti yang membagikannya kepada anggota keluarga,” kata pimpinan karyawan ketering kepada istri saya.
Saat itu kebetulan saya sedang menatap seorang karyawan ketering yang berdiri di seberang meja dan tampak lelah. Apakah ia dan teman-temannya pernah merasakan nikmat makanan yang mereka sajikan? Biasanya sisa makanan yang masih utuh akan dibungkus dan diserahkan kepada keluarga mempelai. Sedangkan untuk mereka? Agaknya istri saya mengetahui arah pandangan saya.
“Membungkusnya nanti saja. Anak buah Bapak makan dulu,” kata istri saya.
“Jangan Bu, peraturan perusahaan melarang.”
Saya menepuk bahunya. “Kalau kamu menolak, mereka harus menunggu sampai teman-teman saya menghabiskan makanan yang masih ada. Bisa-bisa sore hari baru selesai. Dan, sisa pembayaran satu bulan lagi baru saya lunasi,” kata saya sambil menoleh ke sepasang mempelai.
“Setuju,” jawab si puteri bungsu.
Terpaksa ia mengumpulkan semua bawahannya yang sekitar 20 orang ke dalam ruang pertemuan untuk makan siang.
“Lalu 2 meja yang di bawah tenda untuk siapa?” tanya Tius. “Bagaimana kalau semua tukang becak yang sedang mangkal di pintu gereja ikut makan?”
“Boleh,” jawab saya.
“Sekalian ditambah semua montir bengkel-bengkel yang ada di sekitar gereja?” tanyanya lagi.
“Setuju.”
Saya duduk di bawah tenda berkumpul dengan teman-teman memperhatikan mereka makan. Walau mereka kaum marjinal saya mengagumi kesantunan mereka. Mereka antri mengambil makanan dengan tertib dan tidak menumpuk semua jenis makanan di piring setinggi gunung seperti yang biasa sementara orang lakukan. Mereka mengambil satu menu dulu dan setelah habis dimakan baru mereka mengambil menu yang lain. Saya senang mereka bisa ikut merasakan nikmatnya sop hisit, ayam bakar Padang, kakap tempura dan yang lain. Saya senang bisa membagikan sukacita keluarga kami kepada mereka.
Saya berharap penanggalan berangka cantik hari itu menjadi titik awal perbuatan-perbuatan cantik lainnya yang patut dilakukan oleh keluarga baru ini. Bagi saya memiliki perbuatan cantik jauh lebih berharga daripada memiliki angka atau aksara cantik.
(the end)
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 3899 reads
@Pak Purnomo: Selamat ya
Ternyata Pak Purnomo baru dapat mantu baru. Selamat, ya,Pak.
Pak Purnomo menulis :
Saya berharap penanggalan berangka cantik hari itu menjadi titik awal perbuatan-perbuatan cantik lainnya yang patut dilakukan oleh keluarga baru ini. Bagi saya memiliki perbuatan cantik jauh lebih berharga daripada memiliki angka atau aksara cantik.
Tuhan kiranya mengabulkan harapan ini. Itu doa kita semua bagi setiap keluarga baru.
wah bapake... mantu!
wah.. bapake mantu kok ga cerita2 to pak...tahu gitukan aku bantuin... ngabisin makanan ! ha ha haha ha ha....
Saya berharap penanggalan berangka cantik hari itu menjadi titik awal perbuatan-perbuatan cantik lainnya yang patut dilakukan oleh keluarga baru ini. Bagi saya memiliki perbuatan cantik jauh lebih berharga daripada memiliki angka atau aksara cantik.
seep deh! SELAMAT YA PAK...
PELIT
"PELIT" itu message yang ku kirim kepada Purnomo..
Baca tulisan ini, ternyata meski bapak-nya pelit tuk undang-undang, namun putri bungsu-nya murah hati..
Say Congratulation buat Yosi dan Yosa ya...
kalimat ini yang kusuka :
Yang penting Tuhan hadir dalam hidup kita walau tidak membawa hadiah. Tuhan bisa saja memberi kita hadiah ‘bunga’ berupa rasa tentram, perasaan gembira dan bahagia, keindahan alam di depan kita. Terima dan syukurilah.
Tuhan bisa saja memberi kita hadiah ‘barang’ berupa rumah kecil tetapi bukan rumah kontrakan, motor bekas tetapi tak pernah mogok, hape jadul tapi masih bisa bersms-ria, gereja kecil tapi tak pernah ribut. Terima dan syukurilah.
Tuhan bisa saja memberi kita hadiah ‘uang’ berupa gaji kecil tapi anehnya bisa mencukupi keperluan selama sebulan, bonus yang tak besar tapi bukan hasil korupsi. Biar sedikit terima dan syukurilah.
Tetapi jauh lebih penting adalah kehadiran-Nya dalam hidup kita.
Purnomo pelit pol.
@bygrace & Iik: "thanks"
Purnomo murah hati
Yang belum diutarakan sama Mas Purnomo adalah sebelum kita pindah ngobrol di Banian Boulevar kita dijamu sama Mas Purnomo di resto Kampoeng Jawa. Minumannya 2 teh poci dan 1 kopi hitam. Makanannya 3 porsi dim sum: 1 porsi ceker ayam bumbu merah, 1 porsi harkau dan 1 porsi siomay. Dim sum nya cuma saya dan Mas Purnomo yang makan. Karena nggak habis dim sum tersebut lalu dibungkus dan dibawa pulang sama Hai-hai.
SF nggak percaya
Sam, nggak percaya, kalau Purnomo murah hati, abis-nya Joli nya nggak di ajak :p
Maka-nya kok tahu tanjung duren segala, ternyata.. ha..ha..
Selamat
Selamat menempuh hidup baru, pak Purnomo, untuk anak2nya. Imanuel.