Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Blogger SABDA Space dan Sekolah Gratis

Purnomo's picture

Bila ada teman yang sedang terkena musibah – katakanlah kehilangan orang yang dicintainya atau dokter memvonisnya menderita penyakit tak tersembuhkan – kita bingung tak tahu apa yang harus kita lakukan sehingga tidak berani menemuinya. Membantunya dengan uang kita tak mampu. Memberi nasihat berdasarkan Firman Tuhan, kita tak ahli. Menaikkan doa di sampingnya apalagi karena seumur hidup kita hanya bisa menaikkan doa pribadi. Padahal, menemuinya dan tanpa kata memeluknya dengan tulus lalu duduk diam di sampingnya adalah sesuatu yang amat berarti baginya. Ada orang yang peduli terhadap dukaku. Aku tak lagi sendiri.

o –
          Kurang seminggu sekolah dimulai, saya menemui 3 gadis yang bekerja sebagai guru TK di sebuah gereja untuk memberikan bahan persekutuan Jumat siang di sebuah SD Kristen yang para siswanya kami santuni SPP-nya. Pemimpin mereka dengan berhati-hati memberitahu saya bahwa mereka tidak bisa lagi membantu karena kesibukan mereka sebagai guru TK sekaligus pengelola PPA yang beranggotakan sekitar 190 anak dalam tahun ajaran baru ini meningkat.
          “Maaf ya kalau baru sekarang saya memberitahu,” katanya mengakhiri penjelasannya yang panjang. “Sudah lama saya ingin menelepon tetapi bingung bagaimana menyampaikannya.”
          “Tidak mengapa. Mengurus anak-anak PPA adalah tugas utamamu dan itu harus menjadi prioritas teratas,” jawab saya.
          “Lalu ganti kami siapa? Apa bisa mencarinya dalam waktu 4 hari?”
          “Pasti nanti saya temukan,” jawab saya. Tak enak untuk mengatakan bahwa selama ini saya telah menyiapkan tenaga cadangan sejak 3 gadis yang menangani persekutuan ini telah memperlihatkan tanda-tanda yang menurut ilmu cool reading SS bisa ditafsirkan akan sign out.
 
          Sekolah gratis ini kami mulai pada bulan Juli-2009 dengan memberi santunan 100% SPP kepada siswa kelas 5 dan 6. Keterbatasan tenaga menyulitkan kami melakukan langkah kedua, yaitu menyelenggarakan persekutuan rohani bagi siswa yang disantuni setiap Jumat siang. Padahal itulah inti kegiatan diakonia ini: pemuridan. Data diri anak yang tertabulasi menunjukkan banyak yang ke Sekolah Minggu padahal orangtuanya tidak beribadah di gereja. Dan SM mereka ada di 3 gereja yang saya tahu mendapat dana dari Yayasan Compassion.
 
          Suatu ketika seorang blogger SS mengunggah blog yang bercerita tentang bazar di Sekolah Minggu dan menyertakan beberapa foto kegiatan itu. Dia ada di Semarang. Meneliti latar belakang foto itu saya mengetahui kegiatan ini diselenggarakan di gereja mana. Berbekal nama dan foto diri (yang saat itu ada di kotak avatarnya) saya meminta seorang yang sama gerejanya mengumpulkan informasi tentang dirinya. Ternyata spesifikasinya sesuai dengan kebutuhan. Maka PM pertama saya layangkan. Dia antusias untuk mengurus persekutuan Jumaat siang. Maka pada akhir Agustus-2009 persekutuan itu dimulai. Komunikasi di antara kami hanya melalui imel dan SMS. Satu sama lain tak pernah bertukar suara apalagi bertemu muka. Dana yang saya titipkan kepada rekannya untuk mengganti biaya pembuatan alat peraga, aktivitas anak atau kudapan untuk anak dikembalikannya dengan catatan “ketika saya memutuskan untuk melayani, maka pelayanan saya all out.”
 
          Bulan Oktober ketika dia berulang tahun saya tak mengiriminya roti tart. Sebagai gantinya Ibu Lurah Es-Es-Sol (Sabda Space Solo) yang kebetulan sedang berada di Semarang menyanyikan lagu Happy Birthday dengan suara mirip Krisdayanti yang sedang kecapaian untuknya melalui hape karena dia tak mau disambangi. Malu, karena sedang tidur di atas tebaran kertas tisiu akibat flu berat.
 
         Januari-2010 jumlah kelas persekutuan ditambah dengan mulai disantuninya siswa kelas 3 dan 4. Dalam perencanaan penambahan kelas yang disantuni ini harusnya dimulai pada Juli-2010. Tetapi kami ajukan karena jumlah donatur yang terlibat bertambah. Bulan Maret-2010 blogger SS yang bersikukuh all out dalam pelayanan ini mengundurkan diri karena harus bekerja. Tentunya dia sudah bertatap muka dengan saya. Tetapi dia bukan blogger SS pertama yang melihat tampang saya.
o –
          Yang pertama kali saya pamerin betapa amburadulnya diriku bertempat tinggal di bantaran sungai Banjirkanal Timur yang rawan kena gusur Satpol PP. Siang itu saya menyalaminya sambil menyebut nama saya.
          “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.
          “Kok kayak operator telepon saja,” jawab saya. “Aku ke sini mau nanya ngapain lu udah lama tidak mosting blog di Sabda Space?”
          Dia ngakak setelah sadar yang dihadapinya adalah purnomo gendeng. Saya menemuinya untuk belajar mengelola kegiatan diakonia transformatif melalui rumah singgahnya. Kami mendiskusikan solusi-solusi yang mungkin bisa menanggalkan atribut “anak jalanan” dengan memberikan ketrampilan praktis bagi asuhannya untuk mencari nafkah.
 
          Suatu hari di penghujung bulan Januari-2010 ia membawa 3 anak asuhnya ke SD gratis itu. Ketiga gadis kecil berwajah cantik ini sudah berumur 12 tahun tetapi belum mengenal abjad. Sehari-hari mereka berada di perempatan jalan dengan penghasilan antara 30 sampai 50 ribu rupiah sehari. Orang tua mereka telah setuju anak-anaknya tinggal di rumah singgah dan bersekolah walau itu berarti penghasilan keluarga merosot tajam. Saya memperkenalkan mereka kepada Kepsek. Blogger ini dipersilakan masuk ke kantor Kepsek sementara saya di luar berbincang-bincang dengan 3 dara ini. Setelah mereka meninggalkan sekolah, saya bertanya kepada Kepsek hasil kesepakatan pembicaraan mereka.
          “Saya bisa menerima 3 anak itu di kelas 1,” jawabnya. “Jika mereka cepat menerima pelajaran, mereka bisa lompat kelas. Uang gedung tidak saya minta. Biaya LKS (lembar kerja sekolah) biarlah saya pribadi yang menanggung. Untuk pakaian seragam kebetulan saya punya sisa stok beberapa helai. Jika kurang nanti saya carikan dari siswa-siswa sekolah. Mungkin mereka masih menyimpan yang lama dan masih layak pakai. Kasihan mereka. Cantik-cantik tetapi mencari uang di perempatan jalan.”
          “Ibu banyak memberi kemudahan. Apa tadi teman saya menekan Ibu?”
          “Tidak. Ia tidak memaksa saya. Bicaranya menyenangkan. Sudah pendeta, masih muda, ganteng lagi. Kalau saya masih punya anak perempuan pasti saya akan memaksanya jadi menantu,” katanya sambil tergelak.
 
          Tetapi suatu siang di bulan Juli-2010 saya menyambanginya dengan hati jengkel. Dari Februari sampai Juni sudah 3 kali saya memberi formulir isian data diri anak asuhnya yang dikirim ke SD gratis itu tetapi tidak ada yang dikembalikan. Formulir-formulir itu selalu saja hilang terselip entah di mana.
          “Kalau menuruti kata hati, saya lebih senang langsung mencoret nama anak-anakmu dari daftar mereka yang akan disantuni dalam tahun ajaran baru ini. Teman-teman saya sudah mengingatkan agar saya tidak memberi dengan memaksa. Ini terakhir saya mengingatkan. Besok siang formulir itu tidak diserahkan ke sekolah berarti tidak ada santunan untuk siswa dari rumah singgah ini.”
 
          Dua mobil berhenti di depan rumah sehingga saya berhenti mengomel. Dua perempuan muda turun dari mobil. Seorang dari mereka menghampiri mobil box yang mengikutinya dan menyuruh supirnya membuka pintu box. Beberapa penghuni dewasa rumah singgah membantu supir menurunkan barang-barang. Ada 4 karung beras dan puluhan mi instan serta susu bubuk. Saya mempersilakan dua perempuan itu duduk sedangkan saya berjalan keluar ke tepi jalan mencari udara segar.
 
          Seorang anak laki-laki berumur sekitar 3 tahun berdiri di tepi jalan sambil menangis. Saya bergegas menghampiri dan menggandeng tangannya karena banyak mobil berlalu-lalang.
          “Adik mau ke mana?”
          Anak itu menunjuk seberang jalan.
          “O, mau pulang ke rumah?”
          Anak itu mengangguk.
          “Yok sama Oom ya. Banyak mobil lewat. Pelan-pelan ya.”
          Baru akan melangkah maju, blogger SS ini berlari keluar rumah dan merebut bocah ini dari tangan saya.
          “Rumahnya bukan di seberang jalan. Anak ini penghuni baru rumah singgah. Baru tadi pagi diantar ibunya.”
          Anak ini menangis pelan dalam gendongannya. Ah, lebih tepat ia merintih. Ia kangen rumahnya. Ia rindu dekapan ibunya. Rintihnya menyayat hati.
          “Berapa banyak orang yang tinggal dan menginap di sini?”
          “Sekitar 25 orang,” jawabnya.
          Saya melongo. “Dua puluh lima orang? Mereka tidur di lantai ruang tengah yang ukurannya 4 x 7 meter itu seperti ikan sarden dalam kaleng?”
          “Kalau tidak di situ mau di mana lagi?”
          “Sebetulnya ini rumah singgah atau panti asuhan segala umur?”
          “Saya tidak tega menolak mereka yang datang.”
          “Kalau yang datang nenek-nenek peyot sekalian saja rumah ini merangkap rumah jompo.”
          Dua perempuan muda itu berpamitan. Baru akan mengomel lebih lanjut, seorang ibu datang dengan menggendong bayi. Dia ditemui wakil blogger ini.
          “Tadi pagi saya pergi ke kantor Depsos,” ceritanya. “Oleh orang Depsos saya disarankan ke mari.”
          Saya tertawa dan mencolek blogger ini. “Saya pamit dulu. Kelamaan di sini bisa senewen. Jangan lupa, besok saya tidak melihat formulir isian di sekolah, nama anak-anakmu saya coret dari daftar santunan.”
          Ia berteriak memanggil asistennya. “Sekarang juga ambil sepeda motor, pergi ke sekolah dan pinjam formulir permohonan santunan SPP yang warna jambon. Lalu kamu langsung fotokopi 8 lembar sebelum yang kamu pinjam kamu kembalikan.”
 
          “Kok 8 lembar?” saya bertanya.
          “Yang bersekolah ada delapan anak.”
          “Lho? Berarti ada tambahan anak baru?”
          “Ya. Mereka sudah seminggu bersekolah. Tiga di antaranya ada di TK. Tolong dibayari semua.”
           “Kamu ini bagaimana sih? Mengapa saya tidak kamu kabari sebelum mereka masuk sekolah? Saya tidak menjamin apakah tambahan baru ini bisa ikut disantuni. Ini penodongan.”
 
          Sebelum ia menjawab saya sudah memutar gas sepeda motor dan meninggalkannya. Pening yang melanda kepala beberapa hari terakhir ini terasa makin parah. Entah bagaimana caranya tentu saya akan menyantuni anak-anaknya ini. Tetapi cara kerja blogger ini membuat saya keteter karena jurusnya hampir selalu tak terduga seperti pendekar mabok.
 
          Di jalan besar saya menepikan sepeda motor. Saya mengetik SMS untuk seorang blogger SS Semarang yang lain. “Posisi ada di mana?”
          Jawabannya datang segera. “Di kantor. Mau ambil uang?”
          “15 menit lagi saya sampai di kantormu.”
          Sebulan yang lalu dia berkabar mau ikutan jadi donatur sekolah gratis ini. “Tetapi jumlahnya sedikit sekali. Jangan dibandingkan dengan yang lain. Tiap bulan saya antar ke rumah atau transfer bank?”
          Saya menjawab akan datang mengambilnya walau donasinya tidak besar. Donasi besar memang penting. Tetapi dalam situasi tertentu itu bukan yang utama. Seperti halnya bila ada teman yang sedang terkena musibah. Katakanlah kehilangan orang yang dicintainya atau dokter memvonisnya menderita penyakit tak tersembuhkan. Kita bingung tak tahu apa yang harus kita lakukan sehingga tidak berani menemuinya. Membantunya dengan uang kita tak mampu. Memberi nasihat berdasarkan Firman Tuhan, kita tak ahli. Menaikkan doa di sampingnya apalagi karena seumur hidup kita hanya bisa menaikkan doa pribadi. Padahal, menemuinya dan tanpa kata memeluknya dengan tulus lalu duduk diam di sampingnya adalah sesuatu yang amat berarti baginya. Ada orang yang peduli terhadap dukaku. Aku tak lagi sendiri.
 
          Dan saya juga sedang kena musibah dalam perencanaan keuangan tahun ajaran baru ini. Saya memperluas santunan ke kelas 2. Tetapi prediksi jumlah siswa meleset karena diluar tambahan anak dari rumah singgah, di 5 kelas ini muncul tambahan 11 anak pindahan dari sekolah lain. SPP baru yang saya perkirakan naik 10% juga meleset karena Kepsek menyeragamkan SPP di tiap kelas. Jika sebelumnya di kelas 6 SPP bervariasi dari 25 ribu sampai 60 ribu rupiah, sekarang seluruh siswa dipungut 60 ribu rupiah. Dua donatur yang jumlah donasinya bisa menyantuni satu kelas berpamitan untuk menggarap proyek lain. Jumlah donasi bulanan masih di bawah jumlah seluruh santunan yang harus dibagikan. Untuk menghindari defisit saya berpikir untuk tidak lagi memberi santunan 100% SPP. Mereka yang SPP-nya 60 ribu rupiah, saya beri 50 ribu rupiah. Tetapi sepuluh ribu rupiah bukan jumlah yang kecil bagi kaum marginal ini. Uang sejumlah itu bisa untuk beli beras dan lauk pauk untuk 2 hari.
 
          Jumlah donasi blogger ini di bawah yang lain. Tetapi saya mau datang mengambilnya karena dengan memberikan donasi dia telah menunjukkan kepeduliannya terhadap proyek sekolah gratis ini. Kepeduliannya inilah yang saya butuhkan untuk memotivasi diri bahwa apa yang saya lakukan tidak salah. Berbicara ngalor ngidul wetan bali kulon dengan blogger yang satu ini selama hampir 1 jam mengungkit semangat baru. Sampai di rumah saya membuka komputer dan mengetik angka 100% di lembar worksheet. Formula-formula yang telah terpasang segera menghitung sendiri dan defisit setiap bulan memunculkan angka Rp.1.515.000,-. Segera saya menyiapkan perlengkapan administrasi untuk setiap siswa yang disantuni karena 2 hari lagi uang santunan dan perlengkapan administrasinya ini harus dikirimkan kepada 6 orang penyalur santunan yang akan didatangi oleh 86 siswa. Uang kas cukup untuk mengganti 100% SPP Juli mereka karena mendapat tambahan saldo kas santunan mahasiswa teologi yang kegiatannya berakhir pada bulan Juni (lihat “Investigating the divine call”). Untuk bulan Agustus? Saya tidak mau pusing memikirkannya sekarang.
 
          Sabtu siang pulang dari rumah 6 orang ini saya langsung tidur. Selama 2 hari saya hanya tidur 3 jam setiap malamnya karena mengejar waktu. Minggu malam saya jalan-jalan di dunia maya. Pukul 1 Senin dini hari saya membuka imel. Seorang blogger SS bersurat, “Data dalam profil SS-mu kosong melompong. Tetapi membaca beberapa blog kamu, aku tertarik ikutan jadi diaken bayangan. Kirimi aku nomor rekening BCA-mu.”
          Ia tinggal di seberang laut dan saya tidak pernah mengenalnya di dunia nyata. Dalam SS kami tidak akrab karena ia jarang mengomentari blog saya dan begitu pula sebaliknya. Saya membalas imelnya.
 
          26-Juli siang saya membuka ibank BCA. Ada transaksi masuk. Saya membersihkan kacamata karena ragu akan penglihatan saya. Agak lama saya menyimak deretan angka itu. Di depan koma tertulis angka sebanyak 7 digit. Saya menyalin angka itu dalam worksheet sekolah gratis dan pada baris terakhir muncul angka saldo positip pada akhir Agustus-2010. Saya terpana. Tuhan menjawab doa yang belum sempat terucap. Saya terpana sekaligus merinding. Karena seperti kata imel kedua blogger ini kalau Dia yang punya gawe, nggak perlu khawatir. Proyek ini ternyata bukan proyek saya, tetapi proyek Tuhan dan saya hanyalah seorang dari tukang-tukang-Nya.
 
(the end – 27.07.2010)
 
Serial Sekolah Gratis:
 
bagian ke-2: Anak itu bernama Roi.
bagian ke-6: Blogger Sabda Space dan Sekolah Gratis.

 

vicksion's picture

Kulonuwun

ijin share Fb om,..

joli's picture

inspirator bayangan

Purnomo : Saya terpana. Tuhan menjawab doa yang belum sempat terucap. Saya terpana sekaligus merinding. Karena seperti kata imel kedua blogger ini “kalau Dia yang punya gawe, nggak perlu khawatir.“ Proyek ini ternyata bukan proyek saya, tetapi proyek Tuhan dan saya hanyalah seorang dari tukang-tukang-Nya.

Iya tulisan-tulisan Purnomo, membuat Joli ikutan merinding, ikutan terpana atas campur tangan Tuhan. Beberapa serial tulisan purnomo, Joli perbanyak, share ke beberapa teman gereja. Hasilnya per tanggal 2 Agustus kemarin, kita buat cikal bakal diakonia bayangan.

Kapan-kapan datang ke solo, Joli kenalkan sbg inspirator bayangan kepada para sohib ;)