Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Investigating the divine call
Jika dulu sepuluh jerawat di wajahnya tak pernah diurusnya, sekarang setitik noda hitam di pipi sudah membuatnya stress. Jika dulu dia meyakini bersih-bersih rumah adalah tugas ibunya, sekarang tanpa disuruh dia rajin menjaga kebersihan dan kerapian ruang tamu rumahnya. Jika dulu bisa-bisanya ia pergi kuliah tanpa sikat gigi, sekarang satu sikat gigi sudah rusak sebelum satu minggu. Tak perlu tanya mengapa. Everyone knows the reason.
– o –
Di kantin gereja saya melayani para nasabah bank titil (mengambil secuil-secuil) – begitulah seorang teman menamai kegiatan diakonia bayangan yang kami lakukan di gereja setelah melihat saya mengumpulkan uang dari para donatur seusai ibadah pagi. Di sektor beasiswa beban bank titil ini tidak lagi berat sejak Departemen Pendidikan gereja yang merasa disaingi mulai berbenah diri dengan menaikkan jumlah santunannya. Ketika Departemen masih memberikan santunan ala kadarnya maka jumlah santunan yang dibagikan oleh bank titil jauh di atas jumlah santunan legal. Hampir seluruh siswa yang kami santuni adalah penerima santunan beasiswa gereja yang kami saring berdasarkan nilai prestasi sekolah dan kerajinannya menghadiri ibadah di gereja. Bila SPP-nya 100 ribu rupiah dan ia telah menerima 40 ribu rupiah dari gereja, maka kami memberi kekurangannya sebesar 60 ribu rupiah. Bila nilai prestasinya di atas rata-rata kami menambah bonus 5% sampai 15% dari SPP-nya.
Hana menyodorkan fotokopi pelunasan SPP-nya. Gadis ini sekolah di SMK. Saya memberikannya selembar kwitansi dan uang santunannya.
“Setelah lulus SMK mau kuliah di mana?” tanya saya.
“Ekonomi Satya Salatiga,” jawab gadis berwajah cantik ini.
“Berarti kamu harus kos dan itu butuh biaya yang tidak sedikit. Lalu biayanya dari mana?”
“Oom saya yang di Surabaya yang membiayai.”
Saya menoleh ke arah Rianto siswa SMK Otomotif yang berdiri di belakang kursi Hana.
“Ri, kalau kamu mau melanjutkan ke mana?”
“Tidak tahu,” jawabnya.
“Kurang 5 bulan kamu masih tidak tahu mau kuliah ke mana?”
“Saya mau bekerja.”
“Kok saya tidak ditanya, Oom?” tanya Meme yang berdiri di samping saya didampingi 2 cewek of her gang.
“Ngapain tanya-tanya kamu? SMP saja belum selesai.”
“Ya tanya dong, mau ke SMA mana nanti?”
“Santunan berhenti kalau kamu masuk SMA.”
“Kalau gitu tanyalah mau ke SMK mana?”
“Selesai SMP kamu mau masuk sekolah pembantu jururawat? Setelah lulus kamu bisa jadi baby sitter.”
“Nggak mau, nggak enak. Belum menikah masa mengurusi bayi.”
“Tapi kalau orangtuanya kaya enak Me,” komentar temannya. “Kalau sekeluarga pesiar ke luar negeri kamu pasti diajak.”
“Kalau papinya godain aku, gimana?” tanyanya sambil memiringkan kepala.
“Halah, ge-er banget kamu. Mentang-mentang paling cantik se-RT,” kata saya sambil menyodorkan uang dan kwitansi yang harus ditandatanganinya.
Ketika Rianto menyerahkan kwintansi penerimaan santunan, para gadis sudah pergi. Ia pendiam. Karena itu saya pikir ia bisa berterus terang bila tidak didengar banyak orang.
“Kamu ingin bekerja sebagai apa?”
“Kalau saya kuliah apa masih akan dibantu biayanya?”
“Kamu mau kuliah di mana?”
“Teologi,” jawabnya mengagetkan saya.
“Kamu mau jadi pendeta?” tanya saya. Siapa tahu dengan gelar STh ia hanya ingin bekerja sebagai guru agama, guru BP atau karyawan kantor gereja.
Ia menganggukkan kepala.
Saya bingung. Bagaimana orang yang hanya ke gereja untuk menghadiri ibadah remaja saja ini bisa punya cita-cita jadi pendeta?
Orang tuanya bercerai. Bersama adiknya ia tinggal dengan mamanya yang bekerja serabutan. Penghasilan mamanya yang tidak seberapa menyebabkan ibu ayahnya membayari sewa rumahnya dan membantu biaya kebutuhan sehari-hari. Mamanya mengajar Sekolah Minggu dan ikut paduan suara kaum ibu. Tetapi Rianto? Selain pergi ke gereja untuk beribadah ia hanya bersepeda ke gereja pada hari lain untuk memboncengkan mamanya menghadiri kelas persiapan GSM. Apakah benar ia mendapat panggilan untuk menjadi pendeta? Atau, apakah ia mau masuk teologi sekedar kuliah tak berbayar? Ah, saya memang jahat, selalu negative thinking.
“Begini, Ri. Setahu saya Departemen Pendidikan gereja kita juga memberi santunan kepada anggota jemaat yang kuliah di teologi. Tidak banyak, hanya 300 ribu setiap bulan. Jika kamu ingin disantuni seluruh biayamu, juga biaya makan dan kos bila kuliahnya di luar kota, maka permohonanmu harus dirapatkan oleh sidang pleno majelis.”
“Kalau dananya dari Oom sendiri?” tanyanya berharap.
“Saya tidak bisa memberi jawaban sekarang karena harus berunding dengan teman-teman. Tetapi saya baru akan merundingkannya bila kamu sudah mengikuti kegiatan pelayanan di gereja yang selama ini tidak pernah kamu ikuti. Mulai Minggu depan jadilah guru Sekolah Minggu. Setelah 5 bulan melihat kamu mengajar, saya akan terlebih dahulu menulis surat kepada Departemen Pendidikan karena ini menyangkut jumlah uang yang tidak sedikit. Jangan mengira jadi guru SM itu gampang. Tugas GSM itu mirip pendeta. Tanya kepada Mama, siapa saja guru SM di gereja ini yang kemudian masuk teologi. Jumlahnya tidak sedikit. Oke?”
Ia hanya menganggukkan kepala sebelum pergi meninggalkan saya.
Ia tidak tahu, demikian juga warga gereja ini, bahwa konspirasi diaken bayangan ini sedang membiayai seorang yang kuliah di teologi. Gadis ini sudah bekerja dengan gaji bagus. Tetapi karena the divine call ia meninggalkan pekerjaannya dan pergi ke Malang. Menjelang keberangkatannya saya mencarinya.
“Sudah ada sponsor?” tanya saya.
“Sudah,” jawabnya.
Karena itu beberapa bulan kemudian saya terkejut diberitahu ayahnya dia akan berhenti kuliah. Cerita ayahnya selama ini biaya kuliah dan pondokan datang dari adik-adiknya yang sudah bekerja. Dia membohongi saya tentang adanya sponsor karena kuatir gereja menawarinya santunan. Ibunya sudah “bersumpah” tidak akan mau menerima beasiswa karena pernah sakit hati ketika anak-anaknya masih kecil beasiswanya dicabut gara-gara ia kelupaan datang ke gereja pada tanggal yang telah ditentukan untuk mengambilnya. Lagipula gereja pasti menolak membantunya karena dia masuk ke sekolah teologi yang tidak “direstui” denominasi gereja kami.
Adanya kenaikan biaya pondokan dan makin beratnya beban hidup adik-adiknya semenjak mempunyai anak-anak perdana, membuat dia ingin berhenti kuliah.
“Tolong kabari anakmu, jangan keluar dulu. Beri aku waktu 2 minggu untuk mencari orang yang mau menanggung biaya pondokan dan makannya,” saran saya.
Hanya butuh waktu satu minggu untuk mengatakan kepada ayahnya, “Kabari anakmu, jalan terus jangan berhenti. Bulan ini santunan mulai dikirim ke rekening tabungannya. Tidak ada pernjanjian tertulis, tidak ada ikatan. Maksudku, ada uang aku kirim, tidak ada uang aku kirim doa saja.”
Kegiatan yang dilakukan gadis ini selama bertahun-tahun di Sekolah Minggu dan Departemen Penginjilan gereja kami menunjukkan dedikasi pelayanannya yang tinggi. Inilah yang menjadi selling point saya ketika menodong beberapa orang. Begitu saya menyebut namanya, langsung mereka setuju jadi penyandang dana. Setiap bulan saya mengirim dana yang jumlahnya naik turun sekitar 900 ribu rupiah. Beban ini sangat berat sehingga saya tidak pernah berpikir akan bisa terus mengirim uang sampai kuliahnya selesai. Awal Juni 2010 saya melakukan pengiriman terakhir. Kuliahnya telah selesai dan dia akan praktek selama setahun di sebuah gereja sebelum diwisuda. Beberapa hari yang lalu dia menemui saya untuk memberikan sebuah surat yang ditujukan kepada para penyantunnya.
Ada kalimat dalam suratnya yang menarik. “Saya melihat teladan yang indah yang Bapak/Ibu tunjukkan, melalui kerendahan hati Bapak/Ibu sekalian yang tidak ingin menyatakan jati diri Bapak/Ibu sekalian. Saya bersyukur dan berterima kasih untuk perhatian, bantuan dan teladan yang diberikan kepada saya dan biarlah segala kemuliaan hanya bagi Dia.”
Jangankan dia, sedangkan para donaturnya juga tidak saling mengenal. Selama 32 bulan dalam setiap laporan kas bulanan yang saya kirim kepada para donatur, nama mereka saya ganti dengan kode atau inisial. Saya tidak ingin yang memberi donasi terkecil merasa rendah diri dan sebaliknya. Hanya saya yang mengenal setiap mereka. Ups, seharusnya! Karena ada 2 donatur di antara mereka yang tidak saya kenal. Setiap bulan mereka memberikan uangnya melalui teman-teman saya.
Tetapi bagaimana saya harus “menjual” Rianto? Hal ini saya ceritakan kepada seorang pengurus Departemen Beasiswa. Keinginan Rianto ternyata telah sampai kepadanya. Mama Rianto berbicara kepada full timer gereja yang kemudian merekomendasikan ke Departemen Beasiswa untuk mendapat santunan penuh. Secara pribadi pengurus itu sependapat dengan saya, Rianto harus membuktikan kesungguhan panggilannya melalui kegiatan pelayanan di gereja.
Belum sampai 2 minggu kemudian ibunya melapor ke majelis bahwa Rianto stress berat karena ditekan oleh Purnomo. “Apa salah saya?” tanya saya kepada majelis yang menginterogasi saya. “Apa salah saya membuat aturan sendiri jika yang diminta uang saya? Lebih baik Departemen Beasiswa yang mengurusinya dimana majelis punya wewenang merubah kebijakannya. Silakan memberikan uang jemaat kepada orang yang masuk teologi tanpa menguji kesungguhan panggilannya terlebih dahulu agar majelis tidak dikritik sebagai kumpulan orang yang tidak berbelas kasihan.”
Untung Rianto membatalkan niatnya masuk teologi. Ini lebih baik daripada ia menjadi guru SM sekedar mendapatkan beasiswa. Bagi saya sama halnya dengan orang kasmaran, the divine call tanpa harus dibuktikan akan menampakkan diri kepada orang lain. Jika dulu sepuluh jerawat di wajahnya tak pernah diurusnya, sekarang setitik noda hitam di pipi sudah membuatnya stress. Jika dulu dia meyakini bersih-bersih rumah adalah tugas ibunya, sekarang tanpa disuruh dia rajin menjaga kebersihan dan kerapian ruang tamu rumahnya. Jika dulu bisa-bisanya ia pergi kuliah tanpa sikat gigi, sekarang satu sikat gigi sudah rusak sebelum satu minggu. Tak perlu tanya mengapa. Everyone knows the reason.
Dulu di SMP kelas 3 saya punya seorang teman yang kami juluki pendeta. Bukan hanya karena ia bisa membawakan renungan setiap Senin pagi di depan kelas, tetapi juga karena ia tidak mau bergabung dengan teman-temannya melakukan perbuatan yang melanggar peraturan sekolah. Saya tidak suka berbicara dengannya karena selalu saja ia menyitir ayat-ayat Alkitab yang ia hafal luar kepala. Bahkan saya membencinya ketika ia mulai membujuk saya untuk datang ke kebaktian remaja di gerejanya. Minggu pagi menjelang pukul 6 ia naik sepeda ke rumah saya. Ibu membangunkan saya. Saya tidak mau beranjak dari tempat tidur dan menyuruh Ibu mengusirnya. Jika nanti di sekolah saya menegur perbuatannya yang mengganggu kenyamanan hidup saya itu, selalu saja ia berkotbah tentang perlunya saya menerima Yesus sebagai Juruselamat. Ia tak pernah kapok diusir Ibu setiap Minggu subuh. Sampai akhirnya Ibu membujuk saya untuk pergi dengannya karena Ibu takut tetangga menganggapnya perempuan judes.
Saya terpaksa bangun dan mandi. Ia memboncengkan saya yang masih terkantuk-kantuk. Selesai kebaktian remaja saya bilang tak mau lagi ikut dengannya. Saya tidak suka melihat yang hadir saling melempar kerikil waktu kotbah. Ruang kebaktian itu sedang dibangun sehingga lantainya masih berupa tanah bercampur kerikil. Tetapi Minggu berikutnya ia datang lagi menjemput saya. “Yok, kita pergi ibadah di kebaktian dewasa gereja lain,” bujuknya. Dan kemudian kami menjadi jemaat termuda di ruang ibadah itu. Ia rela meninggalkan komunitasnya untuk menemani saya.
Suatu kali ketika saya mengatakan ingin membaca seluruh isi Alkitab, dengan kegirangan yang teramat sangat ia meminjamkan miliknya. Mengetahui kertasnya sangat tipis saya menolak karena takut robek. Ia bilang tak mengapa asalkan saya mau membacanya. Ia bukan anak orang kaya. Ayahnya mencari nafkah melalui warung kelontongnya. Keluarga saya keadaan ekonominya tidak lebih baik darinya sehingga bila Alkitab itu rusak saya tidak mungkin bisa menggantinya. Tetapi ia memaksa saya membawa pulang Alkitabnya. Ia merelakan miliknya rusak bahkan hilang demi menginjili saya.
Saya lega ketika SMA kami tidak satu sekolah. Usahanya terakhir di SMP mengajak saya ikut katekisasi gagal karena saya lebih menyukai setiap Rabu sore berlatih yudo. Suatu saat pemilik tempat latihan itu pindah ke kota lain. Karena lupa, Rabu sore saya naik sepeda menuju sekolah yudo itu. Karena telah terlanjur di jalan, entah mengapa saya merubah arah menuju gereja. Saya masuk ke ruang di mana katekisasi sedang berlangsung. Saya bertanya kepada bapak pendeta apakah saya boleh ikut walau kelas itu sudah berlangsung setengah tahun. Pendeta memperbolehkan saya bergabung. Celaka! Ternyata teman yang menyebalkan itu ada di situ. Benar dugaan saya. Ia membujuk saya mengikuti kegiatan kespel. Lulus SMA ia masuk sekolah teologi dengan biaya sendiri. Sekarang ia adalah salah satu petinggi sinode denominasi gereja kami.
Tidak salah syair lagu First Love yang dinyanyikan oleh Nikka Costa:“Every one can see, there’s a change in me. They all say I’m not the same, kid I used to be.” Yes, everyone can see there’s the divine call in me. Tidak perlu berteriak-teriak “Aku mau jadi pendeta” apalagi mengatakan “Seperti Tuhan memanggil Samuel kecil, begitu juga Tuhan telah memanggil saya. Suatu malam ketika tidur saya mendengar Tuhan menyebut nama saya tiga kali.” Kalaulah Anda saat ini merasa mendapat panggilan untuk menjadi pendeta, sudahkah Anda mencermatinya dengan sungguh? Saya kuatir yang Anda sebut panggilan hanya sekedar emosi membuncah akibat menghadiri sebuah KKR yang gegap gempita. Atau, itu hanya dorongan hati semata-mata akibat melihat betapa seorang pendeta dimuliakan oleh banyak orang.
Is there any change in you? Do many people say you are not the same you used to be? Apakah Anda mencintai Firman Tuhan dan berusaha keras menaatinya seperti seseorang keep doing his best untuk menyenangkan hati kekasihnya? Apakah Anda mempunyai kerinduan yang sangat untuk membawa orang lain menerima Tuhan Yesus sehingga kerinduan itu Anda bawa dalam karya bukan karsa semata? Apakah Anda rela mengorbankan harga diri dan uang pribadi demi melakukan sesuatu yang berkenan kepada Allah? Apakah Anda tanpa paksaan orang lain menjalani hidup doa dan perenungan yang teratur?
Jika ya jawaban Anda, berarti Anda betul-betul memiliki the divine call untuk menjadi seorang pendeta. Go ahead dan yakinlah Tuhan akan meratakan jalan menuju ke sana.
(the end – 30.06.2010)
Catatan: Semua nama telah disamarkan.
Daniel" Raissa Eka Fedora" joli" Samuel Franklyn" M23" Evylia Hardy" minmerry" kasjim" alvarez" teograce" lapan"
11 user menyukai ini
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 4321 reads
Tuhan
Is there any change in you? Do many people say you are not the same you used to be?
Pur, Bukankah jawaban dari pertanyaan2 anda bisa jadi merupakan hasil dari KKR yang kata anda gegap gempita? Orang menyangka mereka dapat panggilan dari tuhan mungkin karena pengaruh dari emosi, atau hasil dari denger2 lagu rohani, atau terus menerus baca buku2 atau dengar kotbah2.
Jadi gimana caranya bahwa itu memang dari Tuhan?
it's all about relationship with JESUS
Plainbread:
Jadi gimana caranya bahwa itu memang dari Tuhan?
tony:
itu tergantung dari kedalaman dan kerharmonisan hubungan pribadi orang itu ke TUHAN...
it's all about relationship with JESUS
salam
Relationship?
Jawaban klise, ton.
Bukti di luar yang mengaku2 dekat dengan Yesus gak taunya kacau kok. Masih ada yang masturbasi di balik kamar lalu baru bertobat 2 bulan langsung merasa super duper sangat kudus, merasa diri punya pemahaman yang lebih benar tentang Tuhan daripada pemahaman orang lain, merasa bahwa ayat2 soal berkat dan yang manis2 adalah buat dia, ayat2 yang menegur pasti bukan buat dia alias buat orang lain, merasa dia gak sesat tapi orang lain yang sesat :) Banyak lagi.
Yesus sendiri bilang orang2 yang udah klaim ini itu ternyata di hari akhir dibilang bahwa Dia gak kenal. Apalagi kalo ada orang ngerasa dan klaim kalo relationship dia harmonis dan dalam ke Tuhan :) To claim something is true doesn't mean it's really true.
Btw saya masih menantikan jawaban Purnomo, bukan anda. Terima kasih loh atas usahanya.
Jujurlah terhadap diri sendiri
Dalamnya laut dapat diduga, apalagi dalamnya sumur. Tentunya oleh pemiliknya sendiri. Demikian juga dalam menguji “panggilan dari Tuhan” yang kadang butuh waktu panjang. Sayang, kita sering tidak jujur terhadap diri sendiri. Sumur dalamnya hanya 6 meter kita bilang 70 meter hanya karena jernih airnya tidak kalah bersaing dengan PAM.
Pulang dari sebuah KKR ia berkata kepada teman yang diboncengkan, “Aku ingin jadi pendeta.” Temannya menyemangatinya dan masuklah ia ke sebuah sekolah teologi. Begitulah yang ditulis dalam buku yang dibagikan kepada mereka yang hadir dalam ibadah emiritatnya.
Seingat saya ia tidak pernah terlibat dalam kegiatan kespel di gereja kami. Ia hanya ke gereja hanya untuk beribadah Minggu seperti halnya Rianto. Lepas dari sekolah teologi, ia menjadi pendeta di sebuah kotamadya kecil di pantura Jawa Tengah sampai masa pensiunnya. Tawaran-tawaran untuk berpindah ke kota besar ditolaknya. Pada hari emiritatnya, jemaat – lepas dari organisasi gereja – memberinya sebuah mobil baru dari uang patungan mereka. Domba-dombanya loving him so much.
Sebaliknya . . . .
Tengah hari keluar dari warung makan di kota Blora sewaktu akan melanjutkan pekerjaan ke kota berikutnya, saya ingat ada teman yang sedang praktek pelayanan di kota ini. Saya mampir ke gereja di mana ia ditempatkan. Di halaman gereja saya mendengar suara organ yang dimainkan dalam aransemen njelimet. Saya yakin ia yang memainkannya karena sebelum masuk sekolah teologi ia adalah anggota paduan suara sekaligus musisi di gereja kami. Kepiawaiannya dalam menyanyi menjadikannya kesayangan pengasuh kami Debora Samudera yang menulis lagu “Burung pipit yang kecil dikasihi Tuhan, terlebih diriku dikasihi Tuhan” (KJ 385). Entah berapa banyak orang yang digerakkan hatinya oleh suara indahnya untuk menyerahkan diri kepada Yesus.
Membuka pintu gereja ternyata tebakan saya tidak meleset. Ia sedang tenggelam dalam lagu yang dimainkannya. Ia baru sadar akan kehadiran saya ketika saya sudah ada di sampingnya.
“Harusnya siang-siang begini daripada main musik lebih baik kamu menyambangi jemaat.”
“Malas. Aku lebih senang main musik.”
“Lalu mengapa kamu sekolah teologi?”
“Itu yang sedang aku bingungkan. Rasanya minatku di musik lebih besar daripada di teologi.”
“Lebih baik keluar sekolah saja daripada waktu jadi pendeta malah gerejamu kamu rubah jadi sekolah musik.”
Tentunya bukan karena anjuran saya yang membuatnya kemudian keluar dari sekolah teologi. Ia pasti telah lama menggumulinya. Sekarang ia tetap berkiprah di bidang musik rohani di Surabaya. Terakhir kami bertemu ia membujuk saya untuk membuat “paduan suara” keyboard yang dimainkan oleh anak-anak Sekolah Minggu.
Jumat 11 Juni 2010 pk.21.04 sebuah SMS masuk ke hape saya. Dari teman yang penatua. “Malam ini KKR Remaja di gereja kita sudah selesai, 89 hadir, 9 mau pelayanan penuh waktu ke teologi.” Beberapa hari kemudian kembali ia mengabari KKR Remaja yang diadakan di kota lain telah mendapatkan 23 orang yang bersedia bersekolah menjadi pendeta. Saya tidak terlibat dalam proyeknya ini karena ada dalam organisasi gereja sedangkan saya lebih senang freelance. Walau begitu ia memberi saya copy SOP-nya yang berisi rencana selama 1 tahun untuk menguji “panggilan” yang mereka terima sebelum mengirim mereka ke sekolah teologi. Mereka akan dilibatkan dalam pelbagai kegiatan kespel dan mendapatkan pengetahuan doktrin dasar. Diharapkan, waktu yang panjang itu cukup bagi mereka dengan kejujurannya mengetahui kesungguhan the divine call itu.
Salam.
Panggilan??
Saya lebih setuju dengan pernyataan terakhir, Jikalau seseorang dipanggil Tuhan untuk sekolah teologi, maka Tuhan juga akan meratakan semua jalan untuk menuju ke sana. Tapi, ada juga yang agak sulit dijawab: misal : Seorang yang emang telah mengambil sekolah alkitab awam, kemudian mengikuti tes di 2 STT dan tidak lulus. Akhirnya dia mencoba tes di STT yang ke-3, dan akhirnya lulus. Nah, dari kasus tersebut, apakah kita dapat mengatakan itu sebagai suatu panggilan/ bukan?
Seseorang yang masuk sekolah teologi belum tentu mendapatkan panggilan sebagai seorang Penginjil/Pendeta. Gimana dapat mengetahui secara pasti : saya pernah membaca sebuah artikel : seorang yang benar-benar dipanggil sebagai Hamba Tuhan adalah seorang yang emang menyadari bahwa tugas seorang Hamba Tuhan bukanlah tugas yang ringan/ tetapi berat. Bukan berpikir mengenai fasilitas yang akan diperoleh atau keuntungannya, tetapi kepada beratnya salib yang akan dipikul setelah dia menjadi seorang Hamba Tuhan.
Akhirnya mungkin yang bisa menjawab secara pasti adalah orang yang bersangkutan dan Tuhan, apakah emang dia benar-benar mendapat panggilan itu,atau ada motivasi yang lain?? Jikalau pun ada motivasi yang lain,siapa tahu, Tuhan memakai dia setelah dia selesai sekolah alkitab, mungkinkah??
@Yenti, FAIR PLAY!
Yenti, jalan tidak selalu diratakan. Saya punya banyak teman yang mengalami hal demikian. Saya akan ceritakan salah satu atau duanya.
Salah satu teman saya, terpanggil untuk menjadi HAMBA Tuhan. Dia lebih muda dari saya, teman adik saya yang ke lima dan keenam. Gereja saya sama sekali tidak mendukungnya. TIDAK ada jemaat gereja saya yang mendukungnya, kecuali keluarga kami. Namun saat itu kondisi ekonomi kami belum sanggup untuk mendukungnya. Dia sendirian.
Dia lalu bergabung dengan program PERINTIS milik GKI. Selain dilatih untuk memberitakan Injil, dia juga dilatih dalam berbagai hal mengenai hidup, mulai dari pertanian, peternakan, kesehatan dan usaha-usaha kreatif, misalnya membuat sabun, shampo dan lain sebagainya.
Setelah pelatihan selesai, dia lalu dikirim ke PEDALAMAN untuk memberitakan Injil dan mengajari mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya secara ekonomi dan meningkatkan kesehatan serta mengajari mereka membaca.
Selama menjalankan tugasnya, kami hanya berdoa namun TIDAK tahu apakah dia masih HIDUP atau MATI. Tiga tahun pertama tidak ada berita darinya. Suatu hari muncul sebuah telegram yang mengabarkan bahwa dia masih hidup.
Bertahun-tahun dia mengabdi dengan harapan suatu ketika akan diberi kesempatan oleh SINODE GKI JABAR untuk kuliah Teologi lalu menjadi pendeta. Selama menjalankan tugasnya, kami hanya berdoa namun TIDAK tahu apakah dia masih HIDUP atau MATI.
Karena menilai program itu tidak berhasil maka Sinode GKI JABAR lalu membubarkan program itu dan teman saya itu pun terlunta-lunta.
Karena tahu mustahil menjalani karir hamba Tuhan di GKI, dia pun lalu pindah denominasi. Bertahun-tahun dia berjuang sendiri, terlunta-lunta tanpa dukungan siapapun kecuali kelurga kami yang nggak mampu memberinya beasiswa untuk kuliah. Kami hanya mampu membantunya makan dan memberinya hadiah pakaian ketika Natal dan Sincia serta mentraktirnya makan di rumah kami.
Saat ini dia adalah seorang pendeta. Dia pernah meminjam rumah kami untuk gerejanya. Dia lalu pindah karena penduduk tidak suka dengan hal itu. Dia adalah seorang pendeta. Saya menyebutnya "pendeta kampung" dan dia bangga dengan hal itu sebab dia tahu itulah cara saya menghormati dan menyayanginya.
Ada seorang lainnya, dia sahabat saya. Suatu hari memberitahu saya bahwa dia memilih untuk memenuhi panggilannya untuk sekolh teologi lalu menjadi pendeta. Saya sudah bekerja saat itu namun gaji saya tidak cukup untuk membantunya sebab selain harus membiayai diri sendiri saya juga sudah berjanji untuk membantu seorang hamba Allah spesialis pelayanan desa. Teman ini pun berjuang sendiri. Ketika kuliah saya sering bertemu dengannya dan saya tahu dia butuh uang. Dia sahabat saya, tidak perlu kata-kata untuk memberitahu saya bahwa dia butuh uang. Saya hanya bisa menatapnya, nggak sanggup memberitahu dia bahwa saya pun tidak punya uang selain untuk bensin motor saya sebab 90% gaji saya berikan kepada hamba Allah itu yang sakit-sakitan. Saya hanya bisa menatapnya. Sakit sekali!
Teman itu saat ini sudah menjadi pendeta. Saya masih belum berani bertanya kepadanya, apa yang dia lakukan dan dari mana dia dapat uang untuk menghidupi diri selama jadi mahasiswa Teologi. Mungkin bila saatnya tiba kami akan punya keberanian untuk saling cerita dan saling bertanya.
Yenti, jalannya tidak rata dan mereka bukannya tidak PUNYA KUASA. Namun mereka tahu apa itu FAIR PLAY. Itu sebabnya mereka tidak minta DISPENSASI kepada TUHAN Yesus Kristus MAHATUAN mereka. Mereka juga tidak MENGEMIS dalam nama TUHAN Yesus Kristus MAHATUAN mereka.
Yenti, saya sudah berkali-kali melihat pendeta kampung membiarkan diri mereka dikalahkan oleh penyakitnya lalu mati karena tidak punya untuk melawan. Rasanya sakit sekali, karena saya tidak mampu menolong mereka walaupun sudah memberikan semua uang yang saya miliki sehingga harus menahan lapar karena tidak makan pagi dan siang serta keliling rumah handai taulan untuk makan malam.
Namun itulah HIDUP, itulah TIANDAO alias Jalan Allah. FAIR PLAY! Bila anak-anak RAJA dapat dispensasi, bukankah itu berarti SANG RAJA tidak FAIR kepada dunia?
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Mungkinkah ko....
HT - Hamba Tuhan
Jikalau hal tersebut terjadi seperti yang koko katakan, apakah gereja tempatnya berjemaat tidak melihat panggilan tersebut ada pada dirinya?? Dari sekian banyak HT di gereja dan Orang-orang yang mengaku diri Kristen tidak melihat hal tersebut?? Mungkinkah ??
Ada seorang HT yang mengusulkan kepada saya, waktu saya masih nganggur 4 bulan lalu setelah resign dari salah satu PT di Jakarta. Dia emang pernah tahu, jikalau saya pernah punya keinginan untuk masuk ke STT pada saat lulus SMA . Tapi.... yang diusulkan : Yenti, coba masuk ke STT aja. Siapa tahu ketemu jodoh disana...ha..ha...Coba ikut tes, jikalau emang masuk, yah berarti kamu dipanggil menjadi HT, jikalau tidak yah setidaknya kamu jadi tahu, kalo kamu tidak dipanggil untuk sekolah teologi. Saya hanya membalas usulan HT itu dan berkata: Wah bu..mau ketemu jodoh, masak saya harus ke STT:p Nggak-nggak aja:p ha..ha...
Lalu ada seorang HT yang pernah bercerita mengenai soal panggilan dia menjadi HT. Seseorang yang dipanggil menjadi HT adalah seseorang yang memiliki keinginan sudah lama dan komitmen untuk hal tersebut.
So...menurut Ko Hai-hai sendiri, apakah panggilan itu dapat dipastikan, bahwa suatu panggilan itu dari Tuhan atau tidak ?? atau hanya karena semata-mata karena emosi ? Jikalau pun karena emosi, saya pikir, Tuhan juga bisa memakai dia saat dia telah lulus sekolah teologi dan mungkin bisa menjadi seorang HT yang baik...
Hanya pasti ada perbedaan antara HT yang emang benar-benar mengalami pergumulan menjadi seorang HT dengan yang tidak. Hasilnya juga akan sangat berbeda:)
@Yenti, Pekerja Rohani
Yenti, mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, apakah anda percaya bahwa PEKERJAAN sebagai pendeta atau penginjil LEBIH mulia dari pekerjaan sebagai guru, dokter, psikolog, akuntan, tukang kirim minuman alias office boy dan lain sebagainya, SEHINGGA membutuhkan PANGGILAN KHUSUS agar SUKSES menjalaninya? Saya TIDAK!
HANYA Nabi dan Rasul yang dipanggil TUHAN secara khusus. Yang lainnya HANYA masalah PILIHAN PROFESI dalam menjalani hidup.
Pergilah ke seluruh dunia dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku!
Amanat Agung Tuhan Yesus diberikan kepada JEMAAT bukan kepada para RASUL.
Kenapa saya katakan profesi Pendeta dan penginjil HANYA profesi seperti profesi-profesi lainnya? Setelah saya mempelajari ajaran Alkitab tentang Nabi, rasul, raja dan Imam, saya memahami apa itu DIPANGGIL. DIPANGGIL secara FISIK, secara JASMANI, Muka bertemu muka, VISUAL. Setelah saya mempelajari masalah perpuluhan, saya meyakini bahwa Pendeta dan penginjil BUKAN orang-orang yang mendapat PANGGILAN khusus seperti nambi dan rasul namun orang-orang yang MENANGGAPI Amanat Agung Tuhan Yesus dengan CARA khusus.
Yenti, apabila Pendeta dan penginjil adalah PANGGILAN khusus seperti nabi dan rasul serta Imam, Alkitab PASTI mengajarkan TATA cara mengatur KEUANGAN dan ORGANISASI gereja agar orang-orang yang menyebut dirinya HAMBA Tuhan itu terjamin HIDUPNYA.
Apa yang kita sebut GEREJA dan DENOMINASI selama ini sesungguhnya tidak lebih dari SEKELOMPOK orang yang SEPAKAT untuk BERGABUNG dalam suatu organisasi. Bahkan bagi gereja-gereja tertentu, tidak lebih dari PERUSAHAAN perorangan untuk mencari uang.
Ada Pendeta, ada koster bahkan banyak staf administrasi. Semuanya adalah PEKERJA penuh waktu gereja. Kenapa HANYA pendeta dan Penginjil yang menyebut dirinya HAMBA Tuhan? Kenapa hanya Pendeta dan penginjil yang DIPANGGIL secara khusus?
Yenti, mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat. Saya sama sekali tidak merasa bangga dengan apa yang saya pahami itu bahkan berharap ada orang yang mampu MENYANGKALNYA. Bahkan saya berusaha menyangkalnya namun tidak mampu.
Pendeta dan Penginjil menurut saya tidak lebih dari PEKERJA ROHANI.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Ko, gaya bahasanya bikin kagak tahan:p
Yenti, mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, apakah anda percaya bahwa PEKERJAAN sebagai pendeta atau penginjil LEBIH mulia dari pekerjaan sebagai guru, dokter, psikolog, akuntan, tukang kirim minuman alias office boy dan lain sebagainya, SEHINGGA membutuhkan PANGGILAN KHUSUS agar SUKSES menjalaninya? Saya TIDAK!
Yenti, mohon maaf, tanpa mengurangi rasa hormat. Saya sama sekali tidak merasa bangga dengan apa yang saya pahami itu bahkan berharap ada orang yang mampu MENYANGKALNYA. Bahkan saya berusaha menyangka.
Ko..kagak tahan sampe ulang 2 kali:p ha..ha.. Waktu kecil,emang saya pikir begitu. Seseorang yang memutuskan sekolah teologi adalah seorang yang memutuskan untuk hidup full pelayanan di gereja karena mereka tidak dapat lagi berganti ke "profesi" yang lain, beda dengan seorang yang mengambil ilmu yang lain- misal kedokteran, ekonomi ,manajemen ,dll. Saya tidak anggap itu sebagai profesi tapi panggilan khusus dan emang sangat mengagungkan pendeta/penginjil:)
Setelah dewasa, saya tidak berpikir demikian. Saya anggap itu akhirnya menjadi "profesi/panggilan" yang sama seperti profesi yang lain. Akhirnya kembali lagi, tidak ada jurusan yang terlalu kudus/tidak , hanya bagaimana menjadikan panggilan itu sendiri untuk memuliakan Tuhan.
Saya juga mau sungkem neh ko..minta maaf juga:) he..he....Dasar Ko Hai-hai
Tidak ada gereja protestan di kota Jambi
Yenti, Empek memang pintar. Responnya terhadap komen Yenti membuktikannya. Saya tak perlu menambahi atau mengurangi tanggapannya karena saya setuju dengannya.
Tetapi agar tidak dituduhnya tak bernurani, ijinkan saya membagi cerita untuk Yenti.
– o –
Yenti: “Jikalau seseorang dipanggil Tuhan untuk sekolah teologi, maka Tuhan juga akan meratakan semua jalan untuk menuju ke sana.”
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah kita mau menjadi alat Tuhan – seperti halnya Yohanes Pembaptis – berkarya sebagai kuli cangkul yang meratakan jalan bagi mereka. Jikalau ada batu penghalang, mungkin dalam bentuk tidak lulusnya ia masuk sekolah teologi, kita bisa membuka jalan lain untuk berfungsi sebagai pendeta tanpa harus bergelar pendeta.
Sebuah yayasan di Semarang memberi santunan Rp.100.000,- setiap bulan kepada para guru agama Kristen yang mengajar di SD-SD Negeri. Saya meminta beberapa nama untuk saya kunjungi. Di tepi barat kota saya menemui seorang dari mereka yang membuat saya berdecak kagum.
Selama 6 bulan ia belajar teologi di sebuah gereja. Setiap week-end ia dikirim ke desa-desa untuk praktek. Setelah lulus ia dikirim ke pedalaman Sanggau Kalimantan Barat. Sayang istrinya tak tahan hidup di hutan. Mereka pulang ke Jawa. Lalu suami-istri ini bekerja sebagai guru agama Kristen di SD-SD Negeri pinggir kota. Namun ia tak pernah memadamkan the divine call. Setiap Minggu ia menyelenggarakan ibadah untuk orang-orang Kristen yang tinggal di komplek perumahan yang terpencil ini. Semula di perumahan ini ada hampir 10 persekutuan Kristen tetapi kemudian berguguran sehingga tinggal miliknya. Di samping rumah angsurannya, ia membangun ruang pertemuan. Uang tabungannya habis sebelum bangunan itu selesai.
Kemudian saya mengajak teman yang bekerja di bidang konstruksi ke rumahnya ketika suami istri itu sedang pergi mengajar. Saya membisikinya, “Tolong selesaikan bangunan ini. Pemiliknya tidak bergelar pendeta tetapi berani menjalankan fungsi pendeta di tengah padang ilalang ini.”
– o –
Yenti: “Akhirnya mungkin yang bisa menjawab secara pasti adalah orang yang bersangkutan dan Tuhan, apakah emang dia benar-benar mendapat panggilan itu,atau ada motivasi yang lain?? Jikalau pun ada motivasi yang lain, siapa tahu, . . . .”
Dua bulan yang lalu – usai ibadah Minggu pagi – seorang teman mengagetkan saya karena berkata, “Di kota Jambi tidak ada gereja protestan. Anakku yang bekerja di sana terpaksa ke Palembang untuk ibadah Minggu.”
“Anakmu bertugas di Muara Bungo walau berbasis di kota Jambi. Jangan-jangan anakmu kos di pinggir kota Jambi dan belum pernah keliling kota Jambi,” kata saya. “Setahuku, jumlah gereja di Jambi sama banyaknya dengan yang ada di kota Palembang. Anakmu bohong.”
“Kamu tahu apa? Anakku sudah tanya orang-orang di sana, bahkan kepada calon mertuanya. Di Jambi tidak ada gereja protestan.”
Panas hati saya mendengarnya berkata ‘kamu tahu apa.’
“Lima tahun aku tinggal di Palembang dengan wilayah kerja seluruh Sumatra Bagian Selatan. Setiap bulan selama 1 minggu aku ada di Jambi, Kuala Tungkal dan Muara Bungo. Aku mungkin tidak tahu kalau pemerintah baru saja menutup seluruh gereja protestan. Tetapi 4 tahun yang lalu di sebuah seminar Sekolah Minggu di Salatiga aku bertemu dengan peserta yang datang dari Gereja Kristen Protestan Jambi. Minggu depan aku beri kamu nama, alamat dan nomor telepon gereja di Jambi.”
Minggu berikutnya saya memberinya selembar catatan tentang GKPJ, GPIB, Gereja Bethany dan GMI di kota Jambi.
“Ada mantan pendeta Metodist Jambi yang sekarang tinggal di Salatiga. Aku catatkan nomor hapenya untuk kamu hubungi kalau kamu meragukan catatanku ini. Tambahan informasi lisan saja, dari Jambi ke Palembang dengan mobil butuh waktu paling cepat 5 jam. Itu berarti anakmu harus berangkat Sabtu siang bila mau ibadah Minggu di Palembang. Dan ini yang paling penting. Di Palembang banyak tempat hiburan malam yang seronok. Mau daftarnya sekalian?”
Ia tidak menjawab. Tapi wajahnya merah padam.
Jangankan masuk sekolah teologi, pergi beribadah pun hanya diri sendiri dan Tuhan yang tahu motivasinya.
Salam.
Kaget juga baca tidak ada gereja protestan di Jambi:p
Ternyata...he...he...dari kecil saya udah ke gereja protestan-GKPJ. Lalu GKPJ membuka Pos PI - Pengabaran Injil di Kuala Tungkal dan Ma.Bungo ( Kabupaten di Jambi ), sekarang pun setahu saya membuka di Air Hitam juga.
Selain GKPJ, ada Gereja Methodist- waktu saya SMP dah ada , GKI - kurang lebih mungkin 4-5 tahun lalu, dan sekarangpun ada MRII - Jambi ( Mimbar Reformed).
Ok Empek Hai-Hai dan Purnomo:). Thx buat penjelasannya. Awalnya seh emang masih terpikir, bahwa orang yang dipanggil Tuhan, pasti akan diratakan jalannya untuk menuju kepada Sekolah Teologi itu:). Bukan berarti mengemis seh, tapi tiba-tiba aja " datang bantuan" he..he... tanpa diminta dan tanpa diduga:p ha..ha..... Memakai istilah : "Tuhan pasti akan buka jalan, jikalau emang orang tersebut dipanggil".
Like it, Pak Pur
Tak perlu tanya mengapa. Everyone knows the reason.
“Kok saya tidak ditanya, Oom?” tanya Meme yang berdiri di samping saya didampingi 2 cewek of her gang.
Pak Pur, hahahaha. Like it!
Min, ingat pidato Empek menyambut kedatangan Min?
Empek bilang senang dengan gaya bertutur Min yang mencampur aduk bahasa Indo dengan Inggris yang membuat tulisan Min tasty.
Membaca blog-blog Min, saya jadi ketularan 'kali.
Salam.
PS: saya baca blog-blog Min tapi tidak pernah berani beri komen.