Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
MENYIASATI, yang kena siasat.
Sewaktu menulis artikel, KBBI selalu ada dekat saya untuk mengurangi kesalahan menulis kata. Seingat saya kamus itu dibeli di Palembang gara-gara anak saya disalahkan gurunya karena menulis “pasta gigi”. Kata itu dicoret dan di atasnya dengan tinta merah guru menulis kata “odol”. Ibunya marah. Ia beli kamus dan ke sekolah. Tetapi ia kalah beradu argumen. Kamus berat itu kembali dibawa ke sekolah, kali ini di Medan, karena nilai ulangan anak saya dikurangi gara-gara menulis “bisa” yang dikoreksi menjadi “dapat”. Walaupun kamus sudah dibukakan, gurunya tetap berkukuh bahwa “bisa” itu artinya “racun” saja, tidak ada yang lain. Kalah lagi. Guruku payah, kata anak saya. Yang payah bukan gurumu, jawab saya. Begini penjelasannya.
“Bahasa Indonesia itu terus bertumbuh dengan penambahan kata-kata baru. Kamu dapat mengetahuinya jika rajin baca koran. Gurumu tidak berlangganan koran karena ia harus mendahulukan berlangganan susu sapi untuk anaknya. Harusnya, sekolah juga berlangganan koran biar guru-guru tahu ada kata-kata baru yang lahir. Bahasa Indonesia itu karena bagusnya, dipelajari oleh banyak orang di perguruan tinggi luar negeri. Bahkan ada kata-kata yang dibajak oleh bahasa Inggris. Misalnya, ‘rada’ jadi ‘rather’. ‘Musti’ jadi ‘must’. ‘Kurap’ penyakit kulit yang menjijikkan, diambil jadi ‘corrupt’. Payahnya, oleh seorang wartawan yang dulu pernah jadi murid gurumu itu, kata ‘corrupt’ di-Indonesia-kan kembali menjadi ‘korupsi’. Jelas?”
Dia tertawa. “Jelas, bahwa masih lebih pintar guruku daripada bapakku,” katanya.
Cerita di atas bukan ilustrasi atau mengada-ada. Dan ini untuk pertama kalinya saya mempublikasikannya. Walaupun jengkel, saya tidak mau menulisnya di surat pembaca koran lokal karena itu akan mempermalukan gurunya, dan juga sekolahnya. Guru-guru itu salah, tidak bisa disangkal. Tetapi bisakah kita menyalahkan mereka setelah mengetahui tidak adanya kesempatan dan dana bagi mereka untuk menambah pengetahuannya? Bagaimana mereka bisa disalahkan bila perpustakaan sekolahnya juga tidak memiliki KBBI?
Lalu apakah yang harus kita lakukan setelah memperbincangkan ketidakmampuan guru anak-anak kita? Orang lebih suka mengoreksi pertanyaan ini pada kata “kita” agar diganti dengan kata “pemerintah” atau “yayasan pendidikan” yang memiliki sekolah itu. Tidak, saya tetap berkukuh pada kata “kita”.
Itu juga yang saya katakan kepada para pembaca artikel “Menyiasati Biaya Pendidikan” ketika dipublikasikan untuk pertama kalinya pada bulan Maret-2007. Saya bagikan buletin yang memuatnya kepada sekitar 50 orang majelis, pengurus Komisi dan aktivis gereja. Kebetulan dalam ibadah Minggu saya bertemu dengan ketua yayasan pendidikan yang kisahnya saya tulis. Beliau saya beri 1 exemplar.
Reaksi yang muncul tidak seramai di SS. Mungkin saat itu para aktivis masih kelelahan setelah menyelesaikan kasus “surat miskin” yang diterbitkan oleh petinggi gereja kami. Beberapa teman berkomentar, “Apa gilamu sedang kumat?” Bagaimana tidak bila “pemegang surat miskin” itu juga sahabat kami sendiri, yang punya mobil, punya rumah, punya pekerjaan yang bagus, dan pernah mendatangi pengurus yayasan pendidikan untuk memuntahkan kata-kata kasarnya. Bagaimana tidak bila “jemaat gereja oikumene” itu pernah masuk penjara karena membunuh orang?
Senada dengan komen di atas SF berpendapat, “Benar-benar tips-tips jitu untuk cepat binasa.” Pyokonna yang jarang muncul menyempatkan diri berteriak, “Kamu jahat sekali.” Hehehe, saya sudah lama memegang kartu anggota SS. Tetapi saya lebih suka jadi pemerhati daripada penulis karena takut kena gebuk. Karena itu saya hanya memajang puisi. Empek berkomentar penulis puisi itu egois karena memadatkan sebuah buku jadi satu halaman sehingga susah dimengerti. Karena itu saya memajang stok artikel prosa saya. Ternyata juga susah dimengerti sehingga saya kena gebuk.
Pukulan pertama datang dari Deta. Saya senang komentarnya, karena ia pandai menengarai inti artikel itu ada di paragrap terakhir. Tapi saya tidak suka kalimatnya, “salah satu penulis paling ekstrim.” Yang “paling” itu hanya satu, tidak boleh beberapa. Dan gelar itu rasa-rasanya sudah dipegang oleh seorang blogger. Hayo Deta, siapakah dia?
Ketika akan menulis salut kepada Deta, muncul JF. Penggembira yang satu ini paling gemar menyalakan kompor tidak peduli sekarang minyak tanah harganya mahal dan susah didapat. Saya tahu Deta dan JF setiap bertemu pasti menyelenggarakan kompetisi persahabatan. Ya saya tiarap saja menikmati mereka bertanding dengan jurus-jurus yang membuat saya pusing.
Untung datang Mercy yang mengingatkan untuk kembali ke inti masalah. Ia menganjurkan untuk tetap bersandar kepada Tuhan yang pada saat-saat terakhir selalu buka jalan. Pernah tidak kita berdoa (bukan dengan doa anjuran saya lo) sebelum menghadiri wawancara PSB? Joli ingin tim PSB tidak sewenang-wenang. Seorang teman saya yang pernah terlibat sebagai pewawancara bercerita bahwa ia juga jengkel melihat ada rekannya, yang dulu waktu mendaftarkan anaknya pernah teraniaya, malah ketika diberi kekuasaan berubah menjadi penganiaya. Orang ini senang bila melihat orang yang diwawancarainya mengiba-iba kepadanya. Empek yang terbangun karena ramainya tawuran yang sedang terjadi, memancing para komentator ke arah “what should we do.” Dan Oma Esti mengajak kita membenahi dunia pendidikan dengan melibatkan diri di dalamnya.
Tidak adanya usulan “apa yang seharusnya kita lakukan” inilah yang membuat orang berpendapat artikel ini menjerumuskan, menganjurkan orang berbuat jahat, karena trik-trik yang dipaparkan memang menggoda untuk dipraktekkan. Terima kasih untuk 4 pendekar di atas yang telah meluruskan apa yang (tanpa sengaja) saya bengkokkan.
Sementara itu pibu antara Deta dan JF terus berlangsung. Menyimak jurus-jurus mereka, saya tahu bahwa paragrap terakhir saya bias sekali. Deta mengartikan sebagai mencuri (hak). JF tentu saja bertanya “apanya yang saya curi dalam PSB”. Viesnu membetulkan paragrap itu dengan mengatakan bahwa kesalahan kita adalah kita telah kehilangan rasa berbagi.
Itu dia! Saya ingat pada jemaat perdana (Kisah 2:44-47) yang mau membagikan kelebihan mereka sehingga disukai semua orang. Pada saat itu mereka belum mendapat karunia-karunia Roh. Tetapi berbekal semangat berbagi mereka telah menyukakan hati Tuhan sehingga Tuhan setiap hari menambah jumlah mereka.
Dan Rio yang mencari JF berkenan memberi komennya sebagai penutup yang bagus.
Saya berterima kasih atas komen-komen para pendekar SS yang telah meneliti (menyiasati) artikel saya dan memberi koreksi-koreksinya sehingga bisa dimengerti oleh pembaca berikutnya. Saya tidak mengedit artikel itu agar komen-komennya tidak kehilangan “link”nya. Dengan menulis evaluasi komen di sini, saya juga ingin menunjukkan kepada pendatang baru di SS ini untuk tidak bergegas berprasangka negatip atas koreksi-koreksi yang ada dalam komen. Koreksi paling tidak menunjukkan ada yang kurang jelas dalam paparan kita. Thanks juga untuk para komentator yang belum saya sebut namanya di atas yaitu Dennis Santoso, Johanech dan Kairos.
Ketinggalan satu orang, Erick, dengan komennya “you help me answer why others think Christian is suck.” Itu berarti ada “some thing to do” buat kita. Jika tadi saya menulis sepertinya tidak ada reaksi dari pembaca ketika artikel ini untuk pertama kalinya dipublikasikan, ternyata tidak demikian. Di kemudian hari saya diberitahu oleh seorang guru bahwa yayasan pendidikan Kristen itu (yang memiliki 3 unit SD, 1 unit SMP dan 1 unit SMA) mengharuskan adanya fotokopi surat resmi penahbisan orangtua calon murid yang mengaku berprofesi sebagai hamba Tuhan.
Gereja sendiri menambah dana untuk Komisi Beasiswanya. Donatur baru bermunculan. Bila selama ini Komisi ini hanya menyantuni sampai seseorang lulus SMA/SMK, sekarang mereka mengirim lulusan ini ke kursus komputer senilai 500 ribu sebagai bekal mereka mencari pekerjaan. Beasiswa untuk mereka yang akan kuliah ke Theologia dan IKIP juga disediakan.
Yang paling menyenangkan adalah bertambahnya jumlah jemaat yang bergerak sebagai Diaken Bayangan. Apa yang tidak bisa dilakukan oleh Gereja karena batas wewenangnya (misalnya meminjami uang kepada anggota gereja), batas denominasi (kalau menolong anggota gereja lain nanti dikira mau memindahkan domba ke kandang kita) atau agama (pasti mau kristenisasi lewat sembako gratis) untuk menolong seseorang, diambil-alih oleh para DB yang bergerak dengan uangnya sendiri.
Kami tidak ingin mendengar seseorang menaikkan doa “Tuhan Yesus ampunilah saya karena saya terpaksa berbuat dosa” sementara kami punya kemampuan untuk merubah doanya menjadi “Tuhan Yesus, ternyata saya punya saudara yang mau menolong saya lepas dari kesesakan ini. Terpujilah NamaMu.” Kiranya Tuhan memberkati apa yang telah, sedang dan akan kita lakukan untuk kemuliaan Nama -Nya. Amin.
- Purnomo's blog
- 4611 reads
tulisan Anda berdampak
Purnomo,
ada lagi yang lupa Anda sebutkan, yaitu puluhan, atau malah ratusan (sampai komentar ini saya tulis blog Anda tersebut sudah diklik 484 kali) pembaca blog Anda. Memang mereka tidak berkomentar, tapi bisa jadi di antara mereka adalah para orang tua murid, guru, kepala sekolah, pendeta, penatua, pengurus yayasan atau orang biasa yang siap membuat perubahan setelah membaca tulisan Anda...
keep on writing :)
Allah turut bekerja
Dear Purnomo,
Saya pernah mendengar seorang pendeta, mengutip ayat mengenai "Allah turut bekerja..." dalam kotbahnya menjelaskan bahwa Allahlah yang punya inisiatif untuk terjadinya kebaikan dalam suatu keadaan.Oleh karenanya, saya percaya Allahlah yang "menggerakan" baik itu donatur, pihak gereja dll untuk kebaikan umatNya, sehingga seperti Anda bilang, Nama Tuhan dimuliakan.
Tuhan Yesus memberkatiSola Gratia
Sola Gratia
Yang Bingung Dengan Blog Purnomo
Yang bingung dengan blog diatas, ini lho cerita / blog sebelumnya ..
http://www.sabdaspace.org/menyiasati_biaya_pendidikan
*yuk comment jangan hanya ngeblog*
*yuk ngeblog jangan hanya comment*
*yuk komen jangan cuma ngeblog*
*yuk ngeblog jangan cuma komen*
Akhirnya Purnomo "datang juga"
Tidak adanya usulan “apa yang seharusnya kita lakukan” inilah yang membuat orang berpendapat artikel ini menjerumuskan, menganjurkan orang berbuat jahat, karena trik-trik yang dipaparkan memang menggoda untuk dipraktekkan. Terima kasih untuk 4 pendekar di atas yang telah meluruskan apa yang (tanpa sengaja) saya bengkokkan.
Debu tanah
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
@Purnomo : somehow...jurus menyiasatimu diperlukan
Jesus Freaks,
"Live X4J, die as a martyr"
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
Mencoba berpikir "liar"
Dear Purnomo,
Waktu membaca ulang tulisan Anda ini, pas ketemu kalimat berikut "Tuhan Yesus ampunilah saya karena saya terpaksa berbuat dosa”, saya jadi terpancing berpikir "liar".
Mungkin nggak ya Tuhan Yesus memaklumi kalau kita "terpaksa berbuat dosa" dan kemudian tidak memperhitungkannya sebagai dosa.
Tuhan Yesus memberkati
Sola Gratia
Sola Gratia
to : mercy
Mungkin nggak ya Tuhan Yesus memaklumi kalau kita "terpaksa berbuat dosa" dan kemudian tidak memperhitungkannya sebagai dosa.
menurut saya nggak mungkin
kalau kita berbuat dosa, minta ampun kemudian diampuni ...bisa
sama seperti seorang anak yang menggores lemari pajangan ayahnya
bila si anak meminta maaf pasti ayahnya akan memaafkan kesalahan itu
tetapi tetap saja goresan di lemari pajangan itu tetap ada
bila Tuhan tidak memperhitungkan keterpaksaan kita membuat dosa
maka Tuhan se akan-akan berkompromi dengan dosa tertentu
peace
peace