Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
MELAYANI sambil MENGUTIL
Tentu tak salah uang ini saya terima, setidaknya untuk pengganti ongkos bis pergi-pulang dan makan siang di warung. Tapi ada bisik dalam nurani, “Kid, Gue udah kasi loe duit bekal berlebihan lho.”
Saya meminjam bolpoin si pemberi amplop itu. Saya coret nama saya di amplop itu dan saya tulis “Persembahan untuk KP dari NN.” Kemudian saya kembalikan bolpoin dan amplop itu kepadanya.
Saya orang Lewi
Ketika saya menceritakan kembali kisah di atas kepada seorang teman dari gereja lain, dia tidak menyetujui tindakan saya. ”Itu hakmu. Kamu tidak usah merasa bersalah menerima uang sebagai ucapan terima kasih atas jerih payahmu. Kalau pendeta kotbah 30 menit saja terima honor setengah juta, mengapa kita yang bukan pendeta tapi berbusa mulut sampai berjam-jam tidak berhak terima seratus dua ratus ribu?”
“Tetapi pendeta itu ‘kan orang Lewi, yang pekerjaannya hanya berkotbah. Di luar itu mereka tidak punya penghasilan lain, sehingga berhak menerima uang lelah pelayanan,” kata saya.
“Ketika kita membawakan Firman Allah, kita menjadi orang Lewi, walaupun hanya selama 1 jam. Menurut Alkitab hanya orang Lewi yang boleh membawakan Firman Allah. Karena itu kita punya hak menerima uang gereja atas kotbah yang kita bawakan,” kata aktivis gereja ini yang dari usaha wiraswastanya punya penghasilan di atas 2 juta sebulan.
Saya bingung karena tak mengerti jabatan sebagai orang Lewi ini untuk seumur hidup atau bisa untuk “short time” (emangnya apaan)? Untuk mencari pencerahan saya menemui beberapa aktivis dari gerejanya, dan ternyata definisi orang Lewi model begini memang berlaku di gerejanya. Apabila kita diundang orang mendoakan anggota keluarganya yang sakit dan setelah kita menyelesaikan pekerjaan ini dia mengulurkan amplop, tidak peduli setelah “amin” yang sakit jadi sembuh atau game over, terimalah. Apabila kita memimpin bidstond penghiburan atau pengucapan syukur karena pendeta berhalangan, ada amplop disodorkan, terimalah. Yang dilarang keras adalah meminta amplop. Haram hukumnya. Juga menolak amplop, karena itu akan mendukakan hati pemberinya.
Suatu malam tetangga saya yang berjemaat di gereja itu mengadakan persekutuan doa. Saya diundang. Selesai persekutuan, karena hujan turun, kami ngobrol ngalor-ngidul, dan ujung-ujungnya mempergunjingkan para selebriti gereja. Ya siapa lagi kalau bukan para pendetanya yang tunggangannya mobil berkelas.
“Saya tidak senang sama Pendeta Anu”, kata aktivis yang tadi membawakan kotbah. “Begitu jadwal persekutuan wilayah dibuat, dia duluan memilih tempat-tempat tugasnya. Tahu mana saja yang dipilihnya? Perumahan real estate kelas satu, yang amplopnya tebal. Apa pernah dia mau mengambil perumnas seperti ini?”
“Boro-boro amplop,” saya langsung memotongnya karena jengkel melihat ada seorang aktivis mempergunjingkan pendetanya di depan jemaatnya dan yang bukan jemaatnya, “senek saja cuma pisang goreng. Gosong lagi.”
Tetangga saya terbahak tanpa terluka, “Itu bukan gosong, tapi pisang goreng rasa karamel.”
Dan wajah si penggerutu itu merah padam. Pasti yang ini, pelayan Tuhan rasa balpirik.
Aneka imbalan untuk para aktivis
Pendapat bahwa seorang yang melakukan pekerjaan gerejani berhak mendapat imbalan materi, tidak peduli dia bukan pendeta, tidak peduli ia sudah punya sumber nafkah mapan, sudah lama muncul di kalangan aktivis gereja.
Imbalan itu beragam bentuknya. Yang paling sederhana berupa diskon pembelian barang. Saat ini selembar fotokopi harganya Rp.100,- Jika kita mengkopi 5 lembar tentu di nota akan dicantumkan kalimat matematika ini, “5 lbr @ Rp.100 = Rp.500,-“ Tetapi jika kita mengkopi sebanyak 1000 lembar apakah kita harus membayar Rp.100.000? Ke mana pun kita pergi mengkopi sebanyak ini, pasti ada diskonnya. Tetapi mengapa angka diskon tidak dicantumkan? Siapa yang mengantongi diskon ini? Ya buat yang ditugasin dong! Menunggu fotokopi 1000 lembar memangnya tidak bikin tenggorokan kering? Tetapi kalau diskonnya 10% saja, bukan saja kita bisa minum. Tapi bisa mandi paspoto sekalian karena dengan uang 10 ribu kita bisa beli air satu galon.
Pernah waktu meneliti laporan keuangan Panitia Natal Anak Sekolah Minggu, saya melihat 4 lembar kwitansi biaya taksi pada tanggal yang sama dari gereja ke sebuah pusat perbelanjaan. Setelah melihat catatan susunan panitia natal, ternyata 4 pembuat kwitansi ini sama-sama duduk di seksi hadiah anak. Apa benar mereka berempat naik 4 taksi yang berbeda pergi-pulang? Jangan-jangan malah bareng-bareng naik bis kota dari gereja karena ada trayek bis kota yang menuju pusat perbelanjaan itu yang lewat gereja. Dan selembar nota berikutnya membuat saya berdecak kagum. Mereka berempat makan siang di sebuah chinese restaurant dengan 5 menu. Pantesan, banyak orang berebut masuk ke seksi ini. Kerjanya macam orang kaya shopping, giliran membungkusi 900 hadiah natal anak, mereka menghilang sehingga guru-guru lain yang dapat capeknya. Mereka dapat ‘er-pe’nya, kita dapat ‘pe-er’nya, seorang pengurus Komisi ngedumel pelan.
Seorang majelis gereja saya antar dengan mobil berbelanja keperluan gereja. Selesai belanja, saya antar beliau pulang ke rumahnya. Turun dari mobil ia menyodorkan selembar uang 20 ribu kepada saya.
“Untuk apa?”
“Untuk pengganti uang bensin.”
“Tidak usah, ini mobil kantor kok. Untuk keperluan pribadi, biaya bensinnya juga diganti kantor.”
“Tapi ini sudah dianggarkan.”
“Tidak usah, paling juga habis 2 liter.”
“Kalau begitu untuk saya saja ya.”
“Silakan,” jawab saya sementara mata saya melihat di halaman rumahnya ada 2 mobil pribadi dan 1 mobil yang bertuliskan nama sebuah perusahaan terkenal. Kasihan ya. Orang kaya ini ternyata masih miskin.
Bentuk imbalan yang paling sopan adalah makan. Ada orang yang malas datang rapat kalau tidak ada acara makan dalam agenda rapat. Ada guru SM yang protes waktu ritrit karena menu makanan yang kurang memadai “Masakan kita yang sudah melayani tanpa upah selama ini diberi makan tanpa lauk daging. Pelit ‘kali gereja kita ini.”
Apa yang dilakukan oleh sebuah panitia untuk menutup seluruh kegiatannya? Makan bareng sebagai ungkapan sukacita karena berhasil menyelesaikan tugas. Siapa yang traktir? Lho kok ditanya. Ya dari sisa anggaran panitia. Kok bisa sisa? Memang dari semula sudah dihemat-hemat agar ada sisa anggaran untuk pesta makan. Mengapa tidak dikembalikan ke majelis gereja? ‘Kan sudah dianggarkan. Apa yang dianggarkan ya harus dihabiskan.
Bentuk imbalan yang sulit dilacak adalah menyimpan uang gereja di rekening pribadi. Ini hanya bisa dilakukan oleh aktivis eselon satu. Tekniknya beragam, dari yang sederhana tradisional sampai yang rumit bagai money laundry.
Agar para pengurus gereja tidak ramai-ramai minta Admin meng”grounded” artikel ini, saya beri contoh jurus yang sederhana saja. Begini.
Saya bertugas mengepalai seksi acara malam old & new, yang ada di dalam panitia advent & natal, yang biasanya dibentuk paling lambat pada bulan Oktober. Pada bulan Oktober itu saya minta seluruh uang yang dianggarkan untuk old & new, dengan alasan agar dana kegiatan ini tak ‘terkikis’ oleh seksi lain yang kegiatannya lebih awal. Uang saya masukkan ke rekening tabungan pribadi saya. Cari bunga tabungan? Bukan! Sekarang bunga tabungan kecil sekali. Tetapiiiiiiii, ini ‘kan uang Tuhan. Siapa tahu Tuhan berkati sehingga tabungan itu memenangkan hadiah. Tidak usah mobil. Sepeda motor saja cukuplah. Gitu lo.
Dalam rapat pembubaran panitia, bila ada yang meributi bunga bank dana itu, saya akan menjawab, “Saya tidak tahu berapa jumlahnya karena bunga bank yang muncul juga berasal dari tabungan uang pribadi saya.” Kalau teman yang iri ini ingin membantu menghitungnya, saya punya hak menolak. Alasannya? Kamu nanti tahu berapa jumlah uang pribadi saya. Aman ‘kan?
Aktivis eselon bawah, misalnya guru Sekolah Minggu, hanya bisa bermain dengan uang kolekte anak. Ia menyetorkan uang itu ke bendahara satu tahun sekali. Bunga bank yang didapat tidak seberapa. Jadi, mengapa harus dipermasalahkan? Nggak worthwhile gitu!
Tapi kebiasaan ini bisa terus terbawa waktu karir pelayanannya menanjak. Ketika ia menjadi petinggi gereja, ia bisa mengantongi bunga bank jutaan rupiah. Pernah saya bertanya kepada seorang bendahara sebuah gereja mengapa laporan keuangan yang dibagikan kepada jemaat tidak mencantumkan pendapatan yang berasal dari bunga bank. Gereja ini setiap akhir bulan membagikan laporan keuangan gereja kepada jemaatnya. Saya belum 6 bulan berjemaat di gereja ini.
“Menurut Anda, apakah gereja boleh meribakan uang?” ia balik bertanya.
Saya gelagapan. Walaupun ini gereja kecil, tetapi berada di kota besar. Pertanyaan itu tidak akan mengejutkan apabila diajukan pada pertengahan abad ke-20. Tetapi saat itu adalah 4 tahun menjelang abad ke-20 berakhir.
“Gereja tidak boleh,” jawab saya. “jemaat juga tidak boleh. Tapi saya bersedia menjadi pendosa. Ambil kembali uang itu dari lemari pakaian para penyimpannya. Titipkan uang itu dalam rekening pribadi saya. Bunganya kita bagi dua, dosanya biar saya tanggung semua.”
Saya harus bersyukur karena kemudian saya tidak ditembak orang di jalan dan bunga bank muncul di laporan bulanan keuangan gereja. Tetapi saya tidak berani lagi mengulang berlaku sok jagoan seperti itu kepada mereka yang kurangajar dalam mengelola uang Tuhan. Kalau kepada Tuhan saja dia berani, apalagi kepada manusia. Saya tidak malu mengakui bahwa saya belum siap jadi martir. Saya nyaris kram jantung ketika seorang jemaat yang baik hati dalam ruang ibadah berbisik, “Hati-hati di gereja ini. Di kota ini tidak mahal ongkos nyewa sniper amatir.” Rasain loe!
Merubah peraturan, mengesahkan pelanggaran
Di sebuah gereja, sebelum mengajar Sekolah Minggu pasti saya pergi ke konsistori. Bukan karena dipanggil pendeta untuk pembicaraan pastoral. Saya orang baik kok walau agak sableng. Tapi untuk mendapatkan segelas kopi menghilangkan kantuk yang disebabkan saya bangun terlalu pagi karena mengejar kebaktian pertama, atau karena pengaruh gas tidur yang disemprotkan dari mimbar oleh pendeta. Merusak estetika bila kita mengajar SM dengan mata merah, bukan?
Bapak-Ibu majelis yang sedang menghitung uang kolekte mendapat suguhan teh manis dan kopi. Biayanya tidak pernah dianggarkan sehingga majelis mencomot saja uang kolekte yang sedang dihitung barang lima atau sepuluh ribu untuk koster membeli bahan mentahnya. Saya mengopi di dalam konsistori karena mengharap dapat yang lain. Mi ayam atau nasi goreng. Setelah selesai menyuguhkan minuman, koster disuruh membeli makanan itu di restoran di sebelah gereja. Uangnya juga nyomot dari uang kolekte barang seratus atau dua ratus ribu rupiah. Praktis sekali cara ini, karena tidak usah melalui perencanaan belanja tahunan.
Sambil menyantap nasi goreng (Saya tidak dijatah lho, tapi majelis pasti belinya berlebih) saya merengek minta agar mereka juga ingat kepada guru-guru SM. Masakan majelis yang kerjanya hanya duduk manis di dekat mimbar dan menghitung uang kolekte dapat nasi goreng, sementara guru SM yang nyanyi sambil lompat-lompat dan cerita sampai teriak-teriak tidak diberi makan apa-apa. E, tidak sampai 4 bulan guru SM dapat jatah teh manis dan makanan kecil. So pasti, teriaknya makin keras lompatnya makin tinggi.
“Uuuueenak tenan!” kata seorang guru yang bisa omong Jawa. “Seneng lho punya temen baru pinter cari berkat.” Dia tidak tahu saya tidak hepi. Saya munafik!
Saya tidak senang dapat imbalan dalam pelayanan karena saya bukan pelayan Tuhan penuh waktu. Tapi di gereja ini, imbalan untuk aktivis sudah jadi sesuatu yang sah. Daripada saya melontarkan kritik yang pada akhirnya berbalik mendapat nasihat bercampur ancaman seperti di gereja sebelumnya, lebih aman saya ikut menikmati saja.
Di gereja ini setiap guru SM yang bertugas cerita atau nyanyi dapat uang transpot mingguan 10 ribu rupiah. Dulu-dulunya hanya guru yang ditugaskan ke pos yang letaknya jauh dari gereja yang dapat uang transpot. E, yang lain ribut. Majelis bukannya menyadarkan mereka, malah membuat aturan baru, “Semua guru dapat uang transpot.” Takut jumlah guru merosot barangkali. Ibu pendeta yang ikut mengajar juga dapat padahal rumahnya di sebelah gereja. Saya juga terima, tapi saya alihkan ke guru SM untuk ongkos transpotnya ke kampus teologia. Biar munafik, saya masih baik hati kok.
Suatu ketika Komisi SM ini akan menyelenggarakan ritrit guru. Proposal dibuat. Waktu kembali ternyata nama pembicaranya yang dari luar gereja, dicoret. Diganti nama wakil ketua majelis gereja. Tetapi honor 500 ribu rupiahnya tidak ikut dicoret. Dada saya hangat karena virus sableng menggeliat. Tetapi saya menahan diri. Takut.
Waktu rapat persiapan, wakil ketua majelis ikut hadir. Dengan sopan saya menanyakan apakah tidak lebih baik biaya 500 ribu rupiah itu dikurangi atau dihapus. Setelah berbicara panjang lebar, bukannya total biaya ritrit berkurang, malah membengkak. Mengapa? Karena kemudian guru yang memimpin ibadah pagi, guru yang memimpin pujian, masing-masing diberinya uang lelah 25 ribu. Tetapi yang bertugas memimpin doa makan, salah satu petugasnya adalah saya, tidak diberi uang lelah. Dada saya langsung panas. Saya usul 5 ribu saja karena doa makan tidak peduli kita makan mi atau kacang panjang ‘kan doanya tidak bisa ikut dipanjang-panjangkan. E, beliau menolak. “Kalau begitu,” kata saya, “selesai ritrit saya tidak mau mengajar lagi.”
Saya konsisten dengan ucapan saya. Saya tidak mengajar. Seorang majelis dari etnis Jawa yang akrab dengan saya mengajak bicara 4 mata. Anaknya murid saya di kelas SMP. Saya menjelaskan kepadanya bahwa saya tidak bisa mengadaptasi budaya pelayanan di gereja ini. Mungkin saja tradisi gereja ini lebih bagus daripada tradisi yang saya pegang. Tetapi, agar tidak membuat kaget orang-orang yang belum terbiasa dengannya terutama bagi pendatang baru, apakah tidak lebih baik tradisi ini disosialisasikan atau dituangkan dalam juklak tertulis?
Baru saja saya mendengar dari seorang murid SM bahwa mereka yang akan menerima sidi dianjurkan mengumpulkan uang untuk membelikan jas bagi pendeta dan 3 majelis yang memimpin katekisasi (Dia kaget). Seharusnya, sebelum ikut katekisasi mereka diberitahu ada biaya yang harus mereka tanggung agar mereka yang miskin bisa menabung terlebih dahulu sebelum ikut katekisasi. Saya akan menggalang dana untuk membantu mereka yang kurang mampu membelikan jas bagi mereka yang mampu. Bukankah mendidik anak untuk berterima kasih itu tidak salah? Saya tidak mau mengajar SM untuk mengingatkan semua guru dan orang tua murid bahwa saya punya tradisi pelayanan sendiri.
“Jangan kuatir perbedaan ini akan memecah gereja kita,” kata saya.
Dia termenung. Lalu, “Biar tidak mengajar, tolong ‘jenengan tetap hadir di SM. Jadi guru itu ‘kan tidak harus selalu ada di depan? Kata empu pendidik Ki Hajar Dewantoro, ing ngarsa sun tuladha (di depan saya jadi teladan), ing madya mangun karsa (di tengah membangun niat), tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan semangat/moral).”
Saya tertawa. “Memangnya saya salah bicara?” tanyanya.
Di edisi perdana petuah itu memang begitu bunyinya. Di edisi terakhir bunyinya sudah disesuaikan dengan jamannya menjadi, ing ngarsa ngumbar angkara (di depan memuaskan nafsu), ing madya ngempalake banda (di tengah mengumpulkan harta), tut wuri tumut nitili (di belakang ikut mengutil).”
ia tertawa ngakak. “Suka-sukamulah. Yang penting ‘jenengan tahu saya bukan diutus majelis, tetapi ibunya anak-anak yang nyuruh. Kalau ‘jenengan tidak nongol lagi di SM, dia juga tidak mau lagi buat jajan pasar.”
Gawat kalau bakul pasar sudah ikut-ikutan,” jawab saya. Walaupun ia pegawai negeri berpangkat tinggi, isterinya mau bergaul dengan siapa saja. Perempuan asal Klaten ini pintar membuat makanan kecil tradisional Jawa. Ia sering membuat dan menitipkannya di kantin gereja. Bukan untuk mencari untung, tetapi untuk memuaskan rasa rindu jemaat Jawa atau yang berasal dari Pulau Jawa terhadap makanan ini. Di pasar ada juga yang menjualnya. Tetapi rasanya tidak pas gitu. Sering saya merengek-rengek kalau lama ia tidak membuatnya.
Minggu berikutnya saya masuk Sekolah Minggu kelas SMP ketika ibadah mereka selesai sambil menenteng gitar. Saya beritahu bahwa ada 4 teman mereka yang akan menerima sidi. Saya minta semua temannya hadir di acara itu dalam sebuah vocal group. Mereka setuju. Gereja kecil ini hanya punya koor ibu-ibu. Komisi Pemuda tidak punya paduan suara. Dalam kebaktian pembaptisan itu vocal group anak-anak SMP ini bernyanyi untuk pertama kalinya. Selesai kebaktian beberapa ortunya meminta saya tidak berhenti sampai di situ saja. Sayang bila penampilan yang bagus itu hanya berlangsung sekali saja. Saya setuju dengan syarat mereka juga mau membantu saya. Beres, kata mereka. Saya tetap tidak mengajar Sekolah Minggu. Tetapi vocal group ini tampil di kebaktian umum setiap 2 minggu. Kegiatan ini membuat jemaat SMP yang selama ini mengekor ortunya masuk kebaktian umum, pindah ke Sekolah Minggu.
Dan melalui para ortu mereka tradisi pelayanan saya yang kuno itu menyebar. Setiap SM berencana mengadakan acara keluar, Paskah atau Natal, pasti mereka bertanya apa yang bisa mereka bantu. Konsumsi, dekorasi, pengadaan kendaraan dan lain sebagainya mereka yang menyediakannya dengan gratis. Ketika ada anak-anak SM yang dibaptis, mereka patungan mengumpulkan uang. Bukan untuk membeli jas, karena permintaan itu dibatalkan gara-gara saya ungkit, tetapi untuk membeli roti bagi jemaat yang hadir yang dibagikan anak-anak SM yang dibaptis di pintu keluar. Di karton tempat roti itu ditulis nama anak-anak SM yang menerima baptisan dan kalimat “Doakanlah kami.”
Baju seragam yang membingungkan
Karena kasihan melihat anggota koor gereja tidak punya pakaian seragam, seorang jemaat sepuh memberi uang dengan pesan untuk membeli jubah seragam. Tetapi mereka berpendapat pada jaman ini jubah hanya boleh dipakai oleh pendeta. Maka setelah berdebat berhari-hari mereka sepakat membeli seragam berupa pakaian sehari-hari dengan corak warna cemerlang, agar bisa dipakai juga untuk pergi ke mol, kondangan dan arisan.
Pada penampilan pertama berseragam baru, jemaat berdecak kagum dan donatur sepuh mengakui bahwa jubah memang hanya pantas untuk pendeta saja. Bulan berganti bulan, perlahan tapi pasti jemaat melihat sesuatu yang aneh. Apabila anggota koor rapi berbaris di depan mimbar, seragam mereka makin tidak seragam karena ada satu dua orang yang warna bajunya tidak persis sama lagi dengan yang lain. Sewaktu mereka menyanyi, jemaat saling berbisik dengan mata mencari-cari siapa lagi yang lebih sering memakai baju itu untuk berjemur di luar gereja.
Sssst, jangan ribut. Teduhkan hati, tenangkan nurani. Dengarlah, ada suara lain dari atas bernada tinggi, “Hei kamu, kamu. Kamu ikut barisan mana? Bukan di situ tempatmu. Itu barisan anak-anak kesayangan-Ku. Seragammu tidak sama warnanya. Seragammu itu seragam karyawan, seragam orang upahan.”
Jangan bengong, jangan menangis. Tidak perlu mencari siapa yang salah. Bisa saja seragam kita berubah warna karena selama ini kita tidak diajar senior kita cara memakai dan merawatnya. Bisa saja kita begitu karena mengira apa yang dilakukan oleh banyak orang pasti benar. Mari kita minta Allah Roh Kudus menunjukkan noda-noda di seragam kita. Mari kita minta Allah Putera mencucinya agar putih cemerlang kembali, karena itulah baju kita satu-satunya ketika Allah Bapa menyambut kita pulang ke rumah-Nya nanti. Lalu, tegakkan kepala dengan lutut tetap terlipat. Dengarlah. Dari atas terjun suara gaib,
“Hei, kamu. Ya kamu, anak-Ku. Jangan bengong di situ. Ke sini. Pimpin barisan!”
-- the end --
- Purnomo's blog
- 6848 reads
Salah satu penulis favorit gw
Jesus Freaks,
"Live X4J, die as a martyr"
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
Mas Purnomo, Saya Sedang Melacak Sahabat Saya
JF, Saya tidak akan pernah mampu menulis seperti gaya mas Purnomo menulis. Di samping itu, sebelum membaca tulisan-tulisannya saya tidak pernah memiliki bayangan bahwa hal-hal demikian bisa ditulis menjadi tulisan yang lezat ketika di baca dan sangat berguna untuk membangun iman. Baik gaya maupun isi tulisan mas Purnomo sangat khas dan original. Harus diakui, dia telah membuka sebuah kanal baru untuk membicarakan kekristenan guna membangun iman.
Mas purnomo, saya sedang melacak salahh satu sahabat saya, namanya Feki Oktavianus, jejak terakhir yang saya baui, dia salah satu manager di Indomarco Medan. Nah, bila anda berkenan, maukah membantu saya untuk bertanya-tanya barang kali ada yang mengenalnya?
Ing ngarso sing tulalit, Ing madya mbahureksa, Tut wuri handhel basa = di depan yang tulalit (bodoh), di tengah jadi preman, yang dibelakang hanya membual. cocok nggak mas?
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Mencari orang hilang
Mencari orang hilang di kota besar Medan pasti juga menyenangkan karena harus pakai strategi yang jauh berbeda. Sayangnya sebelum FO pindah dari Jakarta ke Medan, saya sudah terlebih dahulu keluar dari Medan kembali ke Jawa. Semoga ada kenalannya yang singgah di SS ini dan membantu.
Maaf untuk ketidaksanggupan saya. Salam.
JF, Saya jual popok bayi bekas
Saya berkeliling dari satu gereja ke gereja lain mengumpulkan pemper bekas. Dengan modal deterjen dan pengharum barang bekas itu bisa dipakai lagi. Kalau yang baru selembar harganya 2.5 – 3.0 ribu, saya bisa jual 500 rupiah. Ternyata di Pasar Klewer ada juga yang beli. Lumayan.
ah, ini dia hal yg paling aku nggak suka
pelayanan tidak sepenuh waktu kok diberi "tanda terima kasih". emangnya tuh orang gak ada pekerjaan yg lain seperti jadi pedagang, pengusaha, tukang ojek, dll.
gara2 masalah gereja seperti ini jemaat di gereja tempatku beribadah pada pindah gereja.
karena apa????
karena uang.
biasanya alasannya begini
"emangnya orang gak perlu makan????"
"emangnya ke gereja gak pake ongkos????"
ah, aku udah bosan mendengar hal itu.
tapi satu hal yg pasti "TUHAN TIDAK PERNAH BERHUTANG KEPADA SIAPAPUN"
kalau ada seorang pelayan, setelah selesai pelayanannya dapet uang "JANGAN BERHARAP BERKAT DARI TUHAN LAGI"
berkatnya sudah diterima, yaitu "uang tanda terima kasih itu". aku berbicara hal itu tentang orang yg punya penghasilan lain "bukan pelayan sepenuh waktu"
tapi kalau ada pelayan Tuhan yg sepenuh waktu, "mereka memang layak menerima uang itu."
dan prisipku, kalau aku dapet gratis dari Tuhan, aku akan memberikannya gratis pula. "gak pake koma"
segitu dulu....
Hati-hati, virus sableng
Thx.
Kleptomania---> Melayani sambil MENGUTIL
Ing ngarsa ngumbar angkara (di depan memuaskan nafsu), ing madya ngempalake banda (di tengah mengumpulkan harta), tut wuri tumut nitili (di belakang ikut mengutil).
Peribahasa sinis untuk di conect-kan dengan kehidupan bergereja, Aneh tapi Nyata.
Melayani sambil Mengutil... dan dilakukan legal digereja oleh banyak orang...
Itu namanya KLEPTOMANIA BERJEMAAH...
Melayani sambil Mengutil... itu seperti peribahasa " Menyelam sambil buang air"
Thx untuk bantuan iklannya
Saya setuju dengan jawaban Riaria atas komen Bu Joli. Jangan masuk ke lingkungan jelek bila tidak terlebih dahulu memperkuat pertahanan diri sendiri agar tidak terkontaminasi. Dapatkan imunisasi lengkap dulu.
Saya sering menyesal karena sebelum imunisasi saya lengkap, saya telah terjebak dalam kubangan virus. Saya merasa Tuhan sendiri yang melemparkan saya ke dalamnya. Dan saya sering protes, “Why me?”
Sudah suratan jalan hidup saya ‘kali.
salam kenal... buat mas
salam kenal... buat mas purnomo...
saya baru tahu kalau tulisan saya dibaca mas... dari komentar ini. thanks ya!!! tolong diberi masukan supaya saya bisa menulis dengan lebih baik lagi.
Purnomo menulis sesuai panggilan…
Debu tanah
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
Deta, jangan berhenti mengritik
* tulisan saya dibaca sampai selesai.
Untuk ini saya harus berterima kasih kepada orang yang mau-maunya membaca tulisan saya.
** ada bagian paparan saya yang kurang jelas.
Sehingga kritik itu menjadi wahana saya untuk menulis lebih jelas dan lebih mudah dimengerti (yang belum tentu disetujui).
*** ada hal penting tentang topik saya yang tidak saya bahas.
Kritik semacam ini biasa disebut masukan atau tambahan informasi yang memperluas wawasan artikel saya atau memperlengkapinya.
**** ada orang lain yang kurang/tidak sependapat dengan pemikiran saya.
Saya tidak patut merasa sakit hati karenanya, sebab artikel saya sendiri menunjukkan ketidak-sependapat saya dengan orang lain.
Jadi, jangan berhenti mengritik saya. Thx for your latest comment.
ikutilah firman Tuhan yang diajarkannya tapi jangan perbuatannya
namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan
Kristus yang hidup di dalam aku.... Galatia 2:20
Matius 23:3 merepotkan
Seorang pendeta tamu dalam kotbahnya mengatakan bahwa kedewasaan rohani orang Kristen juga ditandai sikapnya yang mau menerima kritik dengan rendah hati. Selesai kebaktian saya mengatakan kepadanya bahwa ia menekankan kekuatan positive thinking dalam meningkatkan kualitas perilaku kita sebagai orang Kristen, bukan pada bantuan Roh Kudus. Ia tidak berkomentar. Tetapi pada kebaktian yang kedua, teman saya memberitahu, ia berkata dari atas mimbar, “Tadi dalam kebaktian pertama ada jemaat yang memrotes kotbah saya. Ia salah menangkap maksud saya.” Kata teman saya, pendeta itu marah dan akibatnya kotbahnya jadi berantakan.
Ternyata susah juga menuruti dan melakukan segala sesuatu yang mereka ajarkan kepada kita.
Sepengetahuan gereja...mengutilnya
Komen Mbak Yenti inspiratif
Terima kasih untuk masukannya.
Salam.
Purnomo Jaga kios..
Madame Joli, saya malu
nungguin lapak, karena jualan saya tidak sebagus tetangga lain.
Tapi ditinggal juga tak ada yang nyuri. Malah kalo ditungguin tdk ada yang datang karena malu bila ketahuan membeli pemper bekas di lapak saya. Kalo Bu Joli punya stok pemper bekas, boleh dikirimkan ke Inbox saya agar bisa saya olah untuk dijual kembali. Sampai ketemu lagi.