Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kisah di Atas Jalan
Sungai kampungku yang berhulu di pengunungan Schwaner, pegunungan yang pernah tak tersentuh peradaban itu masih ada. Memanjang enam ratus kilometer sampai ke Laut Jawa, laut yang memencilkan kami. Seratus tahun lalu, pemimpin adat dari seluruh pelosok pulau masih bisa mengarungi sungai ini. Berkumpul di hulunya, bersepakat meniadakan kebiasaan potong kepala. Sekarang, tidak ada lagi yang bisa mengarunginya sampai ke hulu. Tidak ada lagi kapal yang mampu melewatinya. Masa pulang kampung sehari-semalam di kaleng sarden itu sudah lewat; saatnya menikmati perjalanan di atas tanah. Masa meletakkan barang di atas lanting sebagai tanda mau menumpang juga sudah berakhir; teknologi bernama Short Message Service ataupun Missed Call benar-benar berguna.
Kami bukan lagi masyarakat pedalaman tanpa teknologi. Sudah lama kami meninggalkan budaya rumah panjang, tempat orang sekampung tinggal seatap. Satu-satunya rumah panjang yang tersisa ada di hulu, tempat para kakek buyut kami sepakat tidak memotong kepala orang lagi. Selesainya masa perang itu membuat rumah panjang tidak lagi dibutuhkan. Mobil pemadam kebakaran juga belum ada sehingga kami memilih membuat rumah sendiri-sendiri di pinggir sungai. Itu terjadi saat kakek masih kecil, sekarang ia sudah meninggal.
Kakek tidak pernah tahu kalau kami juga meninggalkan kebudayaan sungai.
***
Saat mengeluarkan ponsel dari kantong, bisa kurasakan keadaan yang lebih mudah. Kami sudah mengenal pemesanan tiket online. Dereten angka itu bahkan tidak perlu kutulis. Deni, adikku, hanya menekan deretan tombol di ponselnya.
"Aku kirimi nomornya Dulah," katanya.
Tiga detik dan ponselku bergetar.
Dulah anak bungsunya Haji Oyong, salah satu pengusaha top five kampungku. Tidak perlu kutanyakan apakah top five yang lain--selain Haji Salawar dan Dero--membuka biro perjalanan juga. Setelah Haji Pawati membeli mesin fotocopy, Panatua Tiwon membeli mesin yang sama. Membuat kampung kami memiliki dua mesin fotocopy. Setelah Haji Ibram membuka salon kecantikan di bekas toko Haji Jali, Haji Oyong membangun lanting dengan tulisan: Menerima perawatan rambut pria dan wanita.
Hanya satu deringan dan seseorang berkata, "Halo."
"Hei... Lah, besok aku mau pulang ke kota," kataku tanpa basa-basi, "ada tempat kosong?"
"Ya, ada" jawabnya, "Ini siapa?"
Kusebutkan namaku. Lama tidak ada jawaban, pasti mencoba mengingat siapa penelpon yang begitu sok akrab. Ia pasti sudah lupa aku, atau jarang di kampung sehingga tidak pernah melihatku mengelilingi pasar. Jadi kusebutkan nama ayah.
Di sini, anak lebih mudah dikenali dari nama ayah atau ibu atau kakeknya.
"Oh, kamu. Dasar!" katanya, lalu berkomentar, "Lama tidak kelihatan. Aku pikir kamu sudah mati."
Aku sudah kembali terbiasa mendengar orang yang lebih muda memanggil 'kamu'. Juga sudah terbiasa mendengar komentar Aku kira kamu sudah mati. Itu cara kami mengatakan It's been a long time not to see you.
"Aku duduk di depan ya," kataku tanpa menanggapi basa-basi aneh itu. Deni tadi menjelaskan tentang pemesanan tempat duduk. Dulu aku tidak tahu, sehingga mendapat tempat duduk di pojok belakang. Tepat berhadapan dengan ibu yang mengeluarkan makan malam dan sarapannya.
"Ok, beres," jawab Dulah.
Telpon kututup, lalu menekan angka empat. Shortcut-ku untuk mengecek pulsa terpakai. Enam ratus perak. Jauh lebih baik daripada berjalan ke pinggir sungai sambil menenteng tas, lalu balik lagi ke rumah. Menunggu juru mesin datang menjemput.
Jam tujuh pagi, Dulah sudah datang menjemput.
"Kok di belakang kosong?" tanyaku heran karena kami langsung meninggalkan kampung. Padahal kursi belakang masih kosong. Hanya kursi tengah yang sudah terisi penuh, tiga wanita setengah baya.
"Gimana lagi, semuanya ingin duduk di depan," jawabnya setengah mengeluh, "Waktu kubilang kursi depan sudah ada yang pesan, mereka malah mencari travel lain."
Aku merasa sedikit tidak enak.
Ia menyadarinya, sehingga berkata, "Nanti di jalan kita akan mendapat penumpang tambahan."
Ia benar, sebelum jam sembilan, mobilnya sudah penuh.
***
Pemandangan tidak terlalu menjanjikan. Tidak ada pohon raksasa di kiri atau kanan jalan, seperti di cerita pengembaraan orang Eropa seratus tahun lalu. Kadang kami melewati kebun karet. Harga getahnya begitu mahal, sehingga pohon sebesar paha orang dewasa pun sudah disadap.
Pemandangan selanjutnya adalah sisa kebakaran hutan.
Dulah mengoceh sepanjang perjalanan. Penumpang belakang menimpalinya dengan senang hati. Saling berbagi cerita. Semua orang pasti sudah tahu, tidak perlu menelan bulat-bulat cerita itu. Wanita setengah baya yang duduk paling tengah bercerita tentang cucu yang melihat naga di pinggir sungai. Empat pria di belakang menanggapinya penuh semangat. Satunya bercerita, tidak hanya melihat seekor naga, tetapi dua. Ekornya saling mengait, sedang kawin.
Tidak perlu menguji kebenaran cerita seperti ini. Hanya cerita. Bila orang kota bisa menikmati sinetron yang berputar seperti baling-baling, kami bisa menikmati bualan di tengah jalan.
Telingaku mendengar cerita, tetapi mata dan tangan sibuk dengan ponsel. Memperhatikan sinyalnya. Bila tidak ada garis di pojok kiri atas layar, artinya sedang berada di tengah padang. Bila satu garis muncul, di depan ada kampung. Bila lima garis muncul, sudah masuk kampung.
"Aku selalu berbicara supaya tidak mengantuk," kata Dulah dengan nada membela diri.
Atau menuntut supaya aku ikut bercerita? Dari tadi aku hanya diam.
"Aku dengar, di Jawa orang tidak mau berbicara dengan penumpang sampingnya, takut dihipnotis," kata ibu yang duduk di belakang Dulah.
Aku bisa mendengar sedikit sindiran di sana. Sindiran yang artinya mentang-mentang kamu sekarang tinggal di Jawa.
"Bah, Pulau Jawa itu sebentar lagi tenggelam. Lumpur Lapindo sebentar lagi sampai ke Jakarta," seseorang di belakang sana membuka mulut. "Aku melihat beritanya di CNN."
Itu bapak yang pernah melihat naga kawin.
"Aku dengar, kalau Jawa tenggelam, Palangkaraya menjadi ibu kota negara," kata bapak yang tadi memamerkan KTP seumur hidupnya.
Bukan berita baru, batinku. Presiden Soekarno yang mencetuskan ide ini. Salah satu alasannya, kota ini tepat di tengah-tengah negeri. Memudahkan terjadinya pemerataan.
"Lumpur Lapindo sudah sampai di Solo?" tanya Dulah membuyarkan lamunanku.
"Belum sampai," jawabku. Sengaja membuat keadaan lebih dramatis.
"Masih ratusan kilometar," lanjutku dalam hati.
Tetapi tidak kukatakan.
"Nanti lahan sejuta hektar cukup untuk menampung mereka," ibu yang duduk tepat di belakangku angkat bicara.
Lahan sejuta hektar, sudah lama tidak kami bicarakan. Kadang kami sengaja menutup diri, pura-pura tidak pernah mendengarnya. Waktu itu masih zaman TVRI, tentang sebuah janji dan sebuah mimpi. Daerah kalian akan menjadi penghasil beras terbesar di dunia. Proyek luar biasa. Mencetak sejuta hektar sawah di lahan campuran daun lapuk, ranting dan akar pohon busuk.
Ribuan pohon ditebang. Ahli irigasi merancang kanal-kanal selebar 10 sampai 30 meter. Berharap air Sungai Barito, Kapuas, dan Mentangai—tiga sungai terbesar-- masuk ke lahan, lalu mengairi sawah satu juta hektar. Bukan air yang masuk lalu mengairi kawasan gambut, malah kebalikannya. Lahan sejuta hektar lebih tinggi dari permukaan sungai. Gambut yang bersifat seperti busa--mampu menyerap dan menyimpan air--malah kandungan airnya terkuras. Air itu mengalir ke sungai, membuatnya berwarna kemerahan. Lahan gambut lalu mengering lebih cepat dan terbakar di musim kemarau. Kebakaran memang sudah sering terjadi sebelum ide cemerlang itu muncul. Kami sudah kewalahan menghadapinya. Tetapi sekarang, kami harus menjinakkan gambut yang sudah kehilangan kandungan airnya di awal musim kemarau.
Saat pemilik ide cemerlang ini jatuh. Kami hanya mendapat ribuan pohon tumbang dan mengering. Ilalang tumbuh tinggi menggantikannya. Kanal-kanal terlantar dan mengering. Kalau mau dijumlahkan, panjangnya empat kali panjang pulau Jawa.
Persawahan terbesar di dunia itu akhirnya hanya tinggal mimpi. Kami tidak suka membicarakannya. Jadi tidak heran bila tidak ada yang menimpali ide sejuta hektar untuk pulau yang mau tenggelam.
Seseorang memecahkan kesunyian, mengganti topik dengan berkata, "Dalam pemilihan bupati nanti, aku tidak akan memilih Noman lagi. Ia dulu berjanji kalau jadi bupati akan mengaspal jalan. Lihat jalan kita ini, musim hujan nanti hancur lagi. Bupati macam apa itu."
Dalam hati aku menimpali, Paling tidak ada lima bupati baru jalan ini diaspal. Ini jalan yang naik turun bukit. Tanahnya telah dikeruk dua meter hanya untuk mencapai tanah keras. Itupun belum stabil. Bila musim hujan datang, aspalnya pasti terkikis habis. Bukan kesalahan bupati bila tidak ada aspal. Ini masalah alam. Mengingatkanku pada perkataan guru Jalan Raya di STM, Biaya satu kilometer jalan di sini, cukup untuk lima kilometer di Jawa.
Kesalahan bupati ini hanyalah menjanjikan sesuatu yang tidak akan bisa ia kerjakan sendiri. Entah siapa yang bodoh, calon bupati yang mudah mengumbar janji atau orang yang percaya dengan janji yang tidak masuk akal.
Tidak mudah mengaspal jalan di tempat ini. Banyak yang sudah mencobanya, hasilnya hanyalah jalan bolong dalam setahun. Satu-satunya jalan terbaik adalah seruas jalan sepanjang 34 kilometer. Sebuah jalan yang rencana awalnya sepanjang 175 km, upaya Presiden Soekarno mempersiapkan kota kami sebagai ibu kota negara. Para insinyur Rusia yang merancang dan membangun jalan tahan banting itu di atas lahan gambut. Melakukannya dengan mengeruk dulu gambutnya; membangun jalan seperti menggali sungai, lalu mengisinya dengan batu, pasir dan tanah padat.
Proyek itu berlangsung lancar sampai tahun 1966. Saat baru selesai seperlimanya, orang-orang Rusia harus meninggalkan negara ini. Ada anti PKI dan anti Rusia. Bahkan para pekerja lokal harus menyembunyikan diri. Mereka telah membantu orang Rusia membangun jalan, siapapun yang ada sangkut pautnya dengan Rusia dan Soekarno pasti terancam.
Jalan Rusia itupun tamat. Segala yang berbau Rusia dihapus. Termasuk ilmu membangun jalan gambut ala Rusia. Tidak pernah ada lagi pengerukan gambut untuk membangun jalan. Itu cara Rusia, bukan cara Indonesia. Sampai sekarang, tidak banyak yang tahu, jalan Palangkaraya-Tangkiling itu pernah bernama Jalan Rusia. Satu-satuya jalan terbaik di sini.
Memang tidak mudah membangun jalan di tempat kami.
***
Akhirnya kami melewati jembatan di pinggir kota Palangkaraya. Bisa kulihat air kecoklatan di bawahnya. Air yang pasti telah melewati kampungku. Jam delapan tadi berangkat dengan menyeberanginya. Sekarang sudah sampai, tetapi harus kembali menyeberanginya. Kami tidak lagi memakai sungai, tetapi tidak bisa melarikan diri darinya.
Sungai selalu ada dalam kehidupan kami.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 5622 reads
Sungai selalu ada dalam kehidupan kami
Sungai selalu ada dalam kehidupan kami. Indah sekali kata-kata ini. Mengingatkan saya akan kata-kata Yesus:
Yohanes 7:37-39
(37) Dan pada hari terakhir, yaitu pada puncak perayaan itu, Yesus berdiri dan berseru: "Barangsiapa haus, baiklah ia datang kepada-Ku dan minum!
(38) Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup."
(39) Yang dimaksudkan-Nya ialah Roh yang akan diterima oleh mereka yang percaya kepada-Nya; sebab Roh itu belum datang, karena Yesus belum dimuliakan.
Barangsiapa percaya Yesus ada sungai Roh Kudus dalam hatinya.
sungai sukacita
sungai sukacita-MU mengalir dalamku...
oooo... yes...yes...yes...yes...
___________________________
giVe tHank’s wiTh gReaTfull heArt
www.antisehat.com
@AP: rimba kalimantan yang mengagumkan...
Membaca kisah bro AP benar-benar mengingatkan saya akan rimba Kalimantan tahun 80'an. Kalau dilihat dari atas pesawat terbang,..wuihhhh,..ke mana pun mata memandang, semuanya hijauuuuu belaka, ditambah dengan sungai Kapuas yang berkelak-kelok bak seekor ular raksasa. Saya pernah melihat di sebuah majalah (National Geographic kalau tidak salah, tapi bukan edisi Indonesia, edisi lama), gambar sebuah pohon raksasa di pedalaman Kalimantan, yang kanopinya menjulang tinggi ke langit, bak payung raksasa yang menaungi semua yang ada di bawahnya. Ck..ck..ck.., Tuhan Allah sungguh seorang desainer yang luar-biasa, pikir saya saat menikmati gambar tersebut.
Dulu saya juga pernah diajak seorang teman berjalan-jalan ke Putussibau (tidak begitu jauh dari pegunungan Schwaner). Namun mengingat waktu tempuh yang sangat lama, ditambah dengan amburadulnya jalan lintas Kalimantan saat itu, saya ogah berangkat. Mungkin karena saya yang kurang jiwa petualangnya bro, he..he..
Shalom!
(...shema'an qoli, adonai...)
(...shema'an qoli, adonai...)
@AP: Koreksi
Sedikit koreksi atas tulisan saya bro AP:
"..ke Putussibau (tidak begitu jauh dari pegunungan Schwaner)..."
Seharusnya pegunungan Muller yang dekat Putussibau, bukan Schwaner, he..he.. Dari dulu saya paling sering "tertukar" kalau sudah bicara mengenai dua pegunungan yang letaknya memang berdekatan dan namanya pun sama-sama asing (Muller-Schwaner)....
Shalom!
(...shema'an qoli, adonai...)
(...shema'an qoli, adonai...)
Muller-Schwaner
Terima kasih Kawan.
.... he..he.. Dari dulu saya paling sering "tertukar" kalau sudah bicara mengenai dua pegunungan yang letaknya memang berdekatan dan namanya pun sama-sama asing (Muller-Schwaner).
Bukan hanya Anda saja, orang Kalimantan malah banyak yang tidak tahu adanya dua pengunungan ini. Dan untuk lebih mudah, orang suka menyebutnya menjadi satu, Pengunungan Muller-Schwaner.
Titik aman
Ayo, 8 tulisan lagi untuk mencapai titik aman pertama!
“Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang berkomentar kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.”
Wawan
------------
Communicating good news in good ways
Saya tahu
jam delapan menyeberang jembatan .... jembatan kuala kurun
melewati jembatan tepi Palangkaraya, ... Jembatan Kahayan.
Anakpatirsa kampungmu pasti sebelum kuala kurun. Kalau pulang lewat plangka jangan lupa singgahi flamboyan atas, bawa selimut busukmu, kamu disambut sebagai orang dayak.
Sungai, Flashdisk, PM, Kerupuk
@SF:
Di sana sungai tidak bisa dipisahkan dari hidup kami, hanya sayangnya, Sungai Hidup itu di sana sangat jauh dari kehidupan kami.
@Pak Pur:
Tinggal 7 lagi, Pak. Cuma flashdisk itu sempat bikin keki.
@heneng:
Selamat bergabung . Terima kasih atas dorongan semangat lewat PM-nya.
@antisehat:
Another Topics:
Waktu makan di kantor kemarin, ketika melihat teman-teman menyambar kerupuk, tiba-tiba teringat tulisan Anda tentang bahaya minum air. Maaf kalau waktu itu saya bilang jengkel karena banyak aturan kalau mau makan. Sekarang sudah tidak jengkel lagi. Ngomong-ngomong kebiasaan makan kerupuk sebagai teman makan nasi itu berbahaya juga nggak?
@AP:Geli
Cuma flashdisk itu sempat bikin keki.
Ha..ha..ha... Saya tertawa terpingkal-pingkal nih. Biarlah publik yang menentukan tulisan mana yang bergizi.
“Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang berkomentar kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.”
Wawan
------------
Communicating good news in good ways
@Ap, Flasdisk itu Untuk ....
Anak Patirsa, flashdisk itu untuk mengimbangi My Girl kamu. Ha ha ha ha ...
Eh, bagaimana bila minta lost Admin lengser? Saya akan membantu Admin untuk melihat-lihat, tulisan apa saja yang sudah diunggah ulang oleh penulisnya sehingga tidak perlu di pasang lagi oleh lost Admin.
Bagaimana bila teman-teman yang lain juga membantu melihatnya dan memberi informasi kepada Admin? Dengan demikian, mungkin Anak Patirsa bisa bergeser ke TENGAH tanduk.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Apalah arti sebuah point?
@Pak Pur:
Kembali tinggal 7 Pak.
@hai hai
Untuk masalah ujung tanduk, seperti sudah terlanjur di sana. Masih aman selama JF masih lupa niatnya untuk menampilkan avatarnya.
Akhirnya menghibur diri dengan berkata, "Apalah arti sebuah point."