Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
I CAN GO THE DISTANCE
Entah siapa pelantun dan pengarang lagu ini. Terus terang saja, saya kurang tahu. Maklumlah saya jarang mengikuti perkembangan dunia musik. Pokoknya, selama lagu itu easy listening dan mengena di hati, saya bisa langsung jatuh cinta.
Nah, lagu berjudul I CAN GO THE DISTANCE ini masuk dalam kategori ini, dan kebetulan suatu sore sepulang kerja entah mengapa lagu lawas ini (seingat saya lagu ini drilis semasa sekolah dasar saya) diputar di suatu stasiun radio. Meski tak hafal betul liriknya, lagu ini bercerita tentang perjuangan dalam suatu perjalanan menempuh jarak demi mencapai suatu tujuan. Apapun rintangannya, mulai dari razia helm sampai topan badai, saat kita punya tujuan dan visi yang jelas serta keyakinan kuat, kekuatan untuk terus berjalan pasti ada. Apalagi kita tak pernah benar-banar berjalan sendirian, karena setiap saat DIA selalu menyertai.
Bicara soal jarak, sebagai generasi milenium, jarak mudah sekali dihilangkan. Dengan satu klik saja kita bisa berkomunikasi lewat dunia maya, kalau perlu bertatap muka sewa web-cam di warnet tersedia dengan harga terjangkau. Ingin ngobrol panjang lebar? Ada telepon, dan telepon genggam. Bagi yang suka cara lama, kantor pos selalu siap melayani. Mengutip kata-kata orang pintar, saat ini dunia semakin mengglobal, hingga batas-batas fisik semakin memudar.
Tetapi apa betul begitu? Ah, kalau boleh berpendapat, tidak juga. Saya ingin membuat pengakuan dosa sekaligus berbagi pengalaman tentang dua contoh jarak yang saya temui dalam keseharian saya.
Sabagai seorang anggun (maksudnya anak gunung) yang bertempat tinggal cukup jauh dari kampus, pernah sewaktu "muda" saya sebagai seorang mahasiswa, saya harus pulang larut. Beda dengan kota besar seperti Jakarta dimana angkutan umum tersedia 24 jam sehari 7 hari seminggu, di kota kami angkutan umum hanya beroperasi hingga pukul 5 petang. Jadilah saya berjalan kaki demi mencapai rumah. Sedikit gambaran, perjalanan saya itu melewati sebuah area pemakaman, beberapa pematang sawah, menyeberangi sebuah jembatan kecil yang di bawahnya mengalir sungai yang cukup deras, hutan bambu alias "papringan", dan setelah dua tanjakan yang cukup membuat nafas "ngos-ngosan" barulah saya sampai ke rumah yang saya rindukan. Sebagai tambahan informasi, rute tersebut terbilang jarang dilewati pada jam sedemikian, ditambah gelap karena lampu listrik seringkali mati di area persawahan. Tapi demi cinta dan rindu pada rumah I can go the distance.
Paradoksnya adalah sebuah drama kehidupan nyata yang juga dibintangi saya. Kenapa saya sebut drama, karena sebenarnya kejadian ini tak seharusnya terjadi (tapi terjadi juga.) Cerita dimulai dengan satu kesalahpahaman kecil yang kemudian didramatisir entah oleh siapa dengan seorang rekan yang amat saya hormati. Kesalahpahaman itu membuat hubungan kami "lumayan" retak. Sebenarnya, jarak antara kantor saya dan kantornya hanyalah terpisah sebuah kafe dan beberapa anak tangga, karena walau beda unit kami bekerja di bawah naungan instansi yang sama. Kalau dihitung dengan meter, tak sampai seratus meter. Tetapi entah mengapa jarak seratus meter itu serasa bagai seratus tahun cahaya. Bahkan jarak ke bulan pun serasa lebih dekat. Bahkan saat kami bertemu muka dan saya mencoba menyapa pun, ia seperti langsung membangun tembok yang lebih panjang dan tebal dari tembok Cina. Sejujurnya saya ingin sekali membangun jembatan di antara kami dan mengakihiri semua perasaan dingin, sedih, pahit, dan kecewa. Tapi sekarang ia malah semakin menjauh baik itu secara fisik maupun psikis. Jarak yang rasanya tidak dapat saya tempuh.
Saat ini sebenarnya saya sudah tidak memendam kejengkelan apa pun terhadap dia. Tapi benarkah? Saat saya mencoba mengambil setapak langkah mendekat, ia mengambil sepuluh langkah menjauh. Mungkin memang sayalah yang belum sungguh-sungguh mendekat. Ya, biarlah. Begitupun, saya tetap berharap dan yakin suatu hari nanti jarak itu bisa sedikit menghilang bila kami sudah mau saling mengetuk pintu hati masing-masing, dan membukannya lebar-lebar.
Ada satu kisah lain tentang jarak yang begitu menyentuh. Dua milenia lalu, saat manusia semakin jauh mengambil jarak dengan PENCIPTANYA lewat segala bentuk dosa dan kedurhakaan; saat moral semakin merosot, dan mungkin kemanusiaan manusia sudah hampir menyerupai binatang yang mengandalkan insting dan nafsu belaka, TUHAN yang teramat mencintai manusia turun ke dunia sebagai manusia dan mencoba menjembatani jarak itu. Bukan hanya itu, setelah segala perbuatan-NYA yang ajaib demi manusia, IA justru dihina, disalibkan, dan mati.
Tragis. Itu komentar saya pertama kali saya mendengar kisah tersebut. Tapi, tiga hari kemudian IA bangkit dan berfirman bahwa IA akan selalu menyertai kita. Ya, IA selalu beserta kita, tak ada jarak lagi. Tak perlu internet, satelit canggih, ataupun jasa pak pos, karena sekarang TUHAN hanyalah sejauh doa.
Saya rindu sekali menghilangkan "jarak-jarak" dengan sesama, dimanapun berada. Mungkin saat ini saya belum mampu mengunjungi semua hati dan menghilangkan jarak itu, tapi biarlah saya bawa hati saya (dan hati-hati mereka) dalam doa agar kelak hati rapuh ini mampu mengetuk pintu-pintu hati lain yang mungkin telah menjadi pahit, dan jarak itupun menghilang.
Amin
- clara_anita's blog
- 6162 reads
Sukses Dalam Pergaulan
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
tetangga di tikungan . . .
saya jadi teringat misi saya dengan tetangga di tikungan menuju rumah kos.
itu tetangga anti senyum, and ekspresinya selalu menunjukkan kalo dia lagi bad mood.
tapi saya sapa juga setiap hari.
Hasilnya,
sampai sekarang dia belum membalas sapaan saya. . .
tapi santai bro . . .
saya tetap berusaha
GBU
bisakah kita lakukan yang sama...
Just a Comment
Sebagai anak Tuhan, kita memang harus membangun relasi dengan siapapun (walaupun orang tersebut "cuek bebek" atau "bad mood all the time"). Tapi jangan sampai kita lupa untuk mengahancurkan "tembok" yang dapat membuat orang lain enggan berelasi dengan kita.
GBU ALL
Jesus Love Me and You