Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
GWB 5 – KEPONISASI
06-Nopember-2013 siang. Kalau dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada GWB (Guru Wiyata Bakti) untuk menguji apakah ybs layak disantuni aku dikatain kepo, aku tak akan ngeles. Aku bertanya kepada prospek Kek (kayak) Polisi, yes, karena aku memang seperti sedang melakukan interogasi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan silang dalam tempo cepat agar ybs tak sempat mengarang jawaban.
Kalau KEPO yang dimaksud itu kependekan dari Know Every Particular Object, pasti, karena aku harus tahu sejelas-jelasnya siapa calon penerima santunan itu. Jangan sampai aku salah alamat dalam memberikan uang ratusan ribu rupiah karena aku harus mempertanggungjawabkan uang yang aku belanjakan.
Kalau loe orang Hokkian dan mengejek aku “Kei-poh” (ke=bertanya, apo=nenek) kayak tua bangka nyinyir aku bisa mengerti karena loe masih muda dan tidak ada pelajaran menghafal peribahasa lagi di sekolah di jaman reformasi ini. Loe harus ngerti dulu waktu owe di SR (Sekolah Rakyat) ada peribahasa bilang gini: “Wong ompong nyaring bunyinya.” Makanya setelah mulut owe ompong, sah-sah aja owe kepo.
Target kunjunganku terakhir ada di daerah utara kota. Dulu terkenal tidak aman, sarang preman, sering terjadi tawuran antargang, gak tahu sekarang. Yang pasti kalo hujan deras bareng sama rob, air di jalan bisa setinggi 1 meter. Aku malas, tepatnya takut ke sana. Dari hasil keponisasi sana sini kayaknya lebih baik aku coret prospek ini tanpa proses. Tapi aku ingat daerah preman kalo siang biasanya sepi. Premannya bobo buat bekal bergadang malam hari.
Maka aku memacu motorku ke sana. Masuk ke daerah itu aku menelepon prospek karena nama kampungnya tidak muncul di gps hapeku. “Rumah saya di belakang pabrik minuman Tua Bangka, masuknya dari gang kecil di sebelah pabrik itu,” jawabnya. Beres, aku tahu lokasi pabrik itu.
Sampai di pabrik itu benar aku lihat ada kampung kecil di sebelahnya. Aku lihat air di got kanan kirinya tidak meluap, jadi belum rob. Aku masuk ke kampung kecil itu. Sampai di RT/RW-nya aku bingung karena tidak ada orang di luar rumah untuk aku tanyai. Betul juga hasil keponisasiku, orang sini suka BBS – Bobo Bobo Siang. Aku telepon lagi dia, “Mas, saya sudah sampai di depan masjid yang sedang direnov.”
Sebentar kemudian dari sebuah lorong sempit keluar seorang muda menghampiri aku. Ternyata betul, dia prospekku. Weleh gantengnya. Wajahnya bersih, sisirannya rapi, matanya bulat kayak bakso. Kalo fotonya aku aplot di sini pasti laris dia. Sayang dia sudah beristri walau belum punya anak. Aku diajak masuk ke lorong. Walau lorong itu sempit, aku bawa motorku masuk. Aku tak ingin kehilangan motor di sini. Rumahnya kecil, atapnya rendah, mungkin karena lantainya terus-menerus ditinggikan gara-gara rob. Dindingnya tidak diaci. Aku duduk di kursi sederhana, maksudku reyot. Istrinya keluar. Ibunya yang sudah reyot juga keluar dan menyuruh menantu perempuannya menyuguhi aku teh. Untungnya simbah ini tidak ikut jagong.
Aku jelaskan maksud kedatanganku. Lalu aku mulai bertanya tanpa hirau matanya yang sedari tadi gak pernah kedip melihatku. Ternyata dia sarjana teologi jurusan musik gerejawi. Karena itu selain mengajar di SDN yang cuma bergaji 150 rb dia juga membantu gerejanya dengan ketrampilan bermusik. Dapat berapa dari gereja?
“Ini pelayanan,” katanya, sebab dulu dia masuk STT juga karena dapat beasiswa dari gerejanya. Aku berhitung luar kepala berdasarkan catatanku yang tidak aku keluarkan dari tas. Dia dapat 150 rb dari 1 SDN, padahal catatanku bilang dia mengajar di 2 SDN + 1 SMA. Istrinya yang sarjana teologi juga, kerja dengan honor 300 rb. Tapi karena dasarnya gw kepo, akhirnya aku tanya juga dia, “Mas ngajari anak-anak gereja main musik?”
“Iya.”
“Lalu kalo ada ortu anak yang minta Mas ngelesi di rumahnya, gimana?”
“Gimana, gimana maksudnya.”
Jiaaah, berlagak bego aja loe. “Maksud saya, Mas minta ortunya bayar ndak?”
“Saya tidak mau minta-minta, tapi ortunya sendiri yang tanya bayar berapa. Saya jawab terserah saja,” ngaku juga dia.
“Apakah Mas dapat bantuan dari gereja atau yayasan? Misalnya dari PBS – Persekutuan Biji Sesawi?”
“Pernah teman guru wiyata bakti mengajak saya ke persekutuan itu. Tapi saya tidak mau karena waktu pengambilannya bertabrakan dengan acara pelayanan saya di gereja.”
“Teman Mas itu apa rumahnya dekat sini?”
“Tidak, rumah Bu Kristiana dekat RSU Karyadi. Suaminya juga guru wiyata bakti tapi sudah meninggal.”
Blaaaiik ! Rasakno koen! Itu GWB yang aku tulis dalam blog GWB 1 – Perjuangan Seorang Perempuan. Jangan-jangan dia sudah baca blogku.
“Anaknya dua ya?” tanyaku.
“Betul.”
“Namanya Kristin, bukan Kristiana,” kataku.
“Ya ya ya, Kristin, saya lupa,” jawabnya.
“Kok kenal?” tanyaku lagi.
“Saya yang menggantikan posisi suaminya di SDN tempat dia dulu mengajar. Tiap 2 atau 3 bulan kepsek saya nitip uang pribadinya kepada saya untuk diantar ke rumah Ibu Kristin untuk bantu-bantu.”
Sekilas ada rasa nyeri menyeruak dadaku. Sementara gereja kurang hirau nasib para GWB yang mengajar agama Kristen di Sekolah-sekolah Negeri, ada orang Muslim yang menolong mereka walau tidak sama keyakinannya.
“Ibu Kristin bisa naik motor?” tanyaku.
“Saya tidak tahu.”
“Motor suaminya masih ada?”
“Kayaknya masih ada. Mio,” jawabnya.
Syukuuuurlah, aku tak perlu mencarikan Kristin kredit motor. Paling nanti aku cari orang untuk bantu dia belajar naik motor saja. Anda mau?
Sebelum pamitan aku bertanya kepadanya, “Mas lahir di sini ya?”
“Ya betul. Ini rumah ibu saya.”
Pantesan saja mata kamu melotot terus, pikirku, pasti terkontaminasi lingkungan. Biar begitu aku putuskan untuk membantunya. Dia masih muda dan energik, tak punya kecenderungan minta-minta, banyak pelayanannya di gereja, punya modal ketrampilan tapi perlu motivasi. Apalagi rumahnya juga paling harganya 25 juta. Lho, dari mana aku tahu? Dari mengepo satpam pabrik minuman Tua Bangka sebelum masuk kampungnya.
Keluar dari kampungnya hatiku terasa lega. Selesai sudah tahapan pertama dari proyek penyantunan GWB, yaitu seleksi.
(06.11.2013)
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 3110 reads