Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Double Esspresso - Put An End
@ DOUBLE ESSPRESSO
Ada beberapa hal yang sulit aku terima di dunia ini. Betapapun itu kisahnya berbeda, tak akan mengurangi berat persoalannya. Betapa dinilai dalam sisi yang berbeda, akan sama artinya untukku.
***
Aku memakai gaun putih selutut. Ada pita gading panjang di hip-ku. Dengan heels paling tinggi di deretan sepatuku. Senada, putih. Aku menggelung rambut panjangku ke arah dalam, dan menjepit tiara kecil di sisi kanan rambutku. Aku memakai lotion dengan glitter di tubuhku. Sinar lampu akan membuatku terlihat stunning.
Aku menyukai diriku yang terlihat seperti putri. Tergoda untuk tampil menarik perhatian, aku memakai sarung tangan putih jala dan menggenggam tas bulu. Aku tersenyum pada pandangan mata yang kagum menatapku.
'Aku mulai terlihat seperti kakek tua jika berjalan bersamamu.'
'Menurutku tidak seperti itu,' aku tersenyum menatapnya. Dia memakai jas hitam, kemeja hitam. Tinggi menjulang. Berdiri disampingku. Ia ingat meminjamkan lengannya padaku. Aku melingkarkan tanganku yang berbalut sarung tangan pada lengannya.
Hayden akan mengadakan concert hari ini. Bukan hanya dia. Tapi seluruh mahasiswa semester yang masuk dalam daftar beasiswa yang terpilih. Di hall kesenian kampus. Ini adalah concert kelulusannya. Concert yang dipersiapkannya selama setahun penuh.
Satu lagu yang ia tulis dan ia compose untuk memenuhi janjinya. Begitulah katanya. Begitulah ia menuliskan cerita cintanya pada sebuah musik. Aku mendengar setiap not itu dituliskan. Mendengar setiap not itu di bangun untuk menjadi satu kisah.
***
Wanita itu, Melissa, berdiri bersama dengan Hayden. Aku masi menganggap, seharusnya, inilah cerita yang Hayden tuliskan dalam lagunya. Tentang wanita berkulit putih yang mempesona ini. Karena ia ada di sini. Bukan untuk seseorang yang entah pergi ke mana.
Keira, kamu bukan siapa-siapa dalam cerita ini, jangan campuri. Aku mengingatkan diriku sendiri.
Aku menghampiri Hayden, Glass menyalaminya hangat dan aku memberikan bunga padanya. ‘Untuk jazz-beethoven yang paling tampan.’ Godaku. Hayden tampak begitu fresh. Tuxedo putih. Rambutnya yang ikal panjang diikat ke belakang. Wajah yang bersih. Wangi aftershave yang sangat lembut.
‘Hallo,Mel.’
‘Hallo. Kei, Glass.’
Wanita itu, Melissa. Aku menyukainya.
‘So, Hayden, …’ Glass mengambilkan minuman untukku. Melissa kumpul dengan teman-teman Hayden yang lain.
Aku berbisik pada Hayden, ‘Tentang lagu itu…’
Wajah Hayden berubah serius, menjawabku. ‘Tolong Kei, jangan ungkit hal itu lagi.’
‘Hayden, kamu serius?’
‘Dia mengerti. Mel mengerti. Aku sudah menceritakan padanya.’
‘Kamu menceritakan padanya? Hayden, kamu gila?’
Aku melemparkan tatapan tak setuju. Namun, ya, aku tahu, concert toh akan segera dilanjutkan. Dalam satu jam kedepan, lagu itu akan diperdengarkan. Hayden mengangkat tangannya, aku tahu aku harus berhenti mempeributkan hal ini.
‘Dan Kei, aku menyediakan tempat duduk khusus untukmu dan Glass. Melissa akan duduk bersama dengan kalian.’
‘Aku tidak keberatan.’
Hayden melangkah pergi. Tangannya menggenggam ponsel dan partitur. Aku menatap Melissa tersenyum dan tertawa bersama dengan teman-teman Hayden. Sukacita dalam matanya itu, apakah nyata?
Dan sentuhan tangan Glass pada pinggangku menyadarkan lamunanku.
‘Yuk.’
Aku mengangguk. Jantungku berdegup kencang. Aku tidak tahu kenapa.
***
Ada beberapa hal yang sulit aku terima di dunia ini. Betapapun itu kisahnya berbeda, tak akan mengurangi berat persoalannya. Betapa dinilai dalam sisi yang berbeda, akan sama artinya untukku.
'Kamu keras kepala.'
'Oh percayalah aku tidak, Hayd.'
'Kamu keras kepala, dan dengki.' Begitu ia menuduhku.
'Hei, hati-hati, aku tidak dengki. Dan aku tahu itu tidak benar. Come on, kamu seharusnya bisa menilai lebih baik dari itu. Bukan menuduhku dengki.'
'Jangan lihat aku dengan tatapan itu.'
‘Hayden, janji itu sudah berlalu. Dan sekarang, kamu tidak harus memenuhi janji itu. Karena dengan berakhirnya hubunganmu dengan Yanne, maka semua yang berkaitan dengan itu, selesai. Titik.’
‘Keira, ini janjiku. Aku seorang pria.’
‘Yanne pernah bercerita padaku, ia iri pada cerita 1000 burung kertas. Ia iri pada wanita pada cerita itu, cerita dimana, sang kekasih membuatkan 1000 burung kertas untuknya. Dan ia begitu berharap ada 1000 burung kertas untuknya.’
‘Dan Kei, saat itu aku begitu mencintainya. Tidak ada orang lain. Dan aku membuatkan janji ini untuknya. Sebuah lagu, untuknya. Tentang 1000 burung kertas untuknya.’
Hayden menutup matanya, dan terus bercerita.
‘Aku akan menyelesaikan lagu ini, mengadakan concert untuknya. Lalu selesai.’
‘Apa benar semua ini akan selesai?’
‘Keira, can’t u see that I’m trying to put an end here?’
Aku menggeleng. ‘Bukan rasa manis saja yang mengakibatkan seseorang kecanduan, Hayd. Rasa pahit juga.’ Jawabku.
Aku mengangkat alis dan menggerakkan dagu, dia tahu arti gerakanku. Aku tidak mau mendengar apapun pernyataannya. Dan aku yakin, pada akhirnya dia mendengarkanku dan aku menang. Aku tahu aku benar.
‘Kamu masih mencintai Yanne. Bagaimana dengan Melissa, Hayd?’ Aku bertanya padanya.
‘Kamu memenuhi janji pada Yanne, lalu mengorbankan perasaan Melissa. Dan kamu anggap ini adalah hal yang benar untuk dilakukan?’
‘Its not how to end. It’s a scar u draw to mel and a hope for Yanne. Which is wrong. Kamu membuat ini terasa pahit seolah olah ini pilihan berat untukmu lakukan. Hayd, ure so stupid.’
Namun, entah kenapa aku marah. Entah kenapa aku terbawa dengan semua hal ini.
‘Aku tahu aku benar, Hayd. Dan aku tahu kamu tidak akan mengubah pikiranmu. Satu-satunya yang aku harapkan, kamu tidak menyesal.’
Coffee shop sore itu minus Hayden yang bermain. Dia duduk di coffee bar. Menatap partitur didepannya. Aroma kopi yang pekat memenuhi ruangan. Aku tidak begitu tertarik lagi untuk berdebat dengan Hayden.
Aku menikmati suara denting windbell yang mengantarkan tamu ku datang dan pulang. Aku menikmati uap yang muncul dari coffee machineku. Aku menikmati suara obrolan tamu yang menikmati espresso mereka. Denting suara sendok dan cangkir mereka.
Aku menikmati sunset yang ditawarkan sore hari. Aku memakai cardiganku. Berjalan ke depan coffee shop. Duduk di kursi luar dan berdamai dengan rasa sedih yang merayap dibenakku.
Ada beberapa hal yang sulit aku terima di dunia ini. Betapapun itu kisahnya berbeda, tak akan mengurangi berat persoalannya. Betapa dinilai dalam sisi yang berbeda, akan sama artinya untukku.
Like I said.
***
Concert.
Melissa duduk di sebelah kiriku. Dan Glass di sebelah kanan ku. Kami masing-masing memegang catalog acara, dengan portfolio singkat masing-masing musician. Aku langsung membuka halaman dengan profile Hayden.
Aku mendapatkan apa yang aku cari.
Judul lagu : A promise With Thousand Origami Birds.
Menatap ke depan. Aku menatap Hayden dengan penuh kepercayaan diri melangkah ke tengah panggung, memberi hormat. Berjalan menuju grand piano.
Ada jeda yang sangat diam.
Gema drum dan string bersatu dalam intro awal. Dan Hayden memulai permainan pianonya. Suara flute menyambut. Nuansa oriental memenuhi hall.
Hayden bukan bermain jazz yang ringan. Semua nada yang ia pilih berat. Bukan ringan dan menyenangkan seperti yang ia mainkan biasanya. Berat dan tak putus. Harmoni yang sedih. Hanya akukah yang merasakan atau mereka juga? Hanya aku yang mengetahui cerita ini, atau mereka juga bisa merasakan ada pesan rahasia dalam musik ini?
Accent demi accent. Saat flute mendominasi, Hayden memakai legato yang jelas. Tanpa putus. Sudah origami burung yang ke berapa? Tanyaku dalam hati?
Dapatkan Yanne menerima pesan 100 burung kertasmu? Dapatkah Melissa menatap pesan demi pesan yang kau kirim itu, dan bukan untuknya? Dan, dapatkah aku menerima kenyataan, ada cinta yang begitu besar dalam hati Hayden untuk orang yang salah?
Presto. Allegro dan Fine. Itu, Origami ke 1000.
Aku tersentak. Lagu itu benar-benar berakhir di allegro.
‘Keira, can’t u see that I’m trying to put an end here?’
Kalimat itu terngiang-ngiang dalam benakku.
Tanpa sadar aku berdiri, orang pertama yang memberikan applause untuk Hayden. Saat aku menoleh ke samping. Melissa duduk menatap ke depan. Tangannya gemetar dan air mata jatuh perlahan dipipinya.
Encore, Hayden. Kataku dalam hati. Encore.
***
Seminggu berlalu dari concert itu. Melissa tidak pernah hadir di coffee shop. Dan Hayden tidak menunjukkan ekspresi apapun. Perasaan tegang diantara aku dan Hayden sudah cukup rumit. Aku memutuskan untuk tidak lagi bertanya.
Aku menatap ke arah monitor, dan meneruskan pekerjaanku.
Aku tidak menyadari, perlahan satu persatu tamu mulai pergi. Coffee shop mulai kosong. Pesan singkat dari Glass membuyarkan konsentrasiku.
Waktunya untuk pulang.
Ah, Hayden masih disana. Masih bermain dengan piano disudut coffee shop. Aku berjalan kearahnya.
‘Lagu yang bagus. Sangat bagus.’ Aku melanjutkan, ‘U know, lagu itu.’
‘Thanks.’
Kami terdiam cukup lama. Baru aku ingin berjalan pergi, Hayden berkata, ‘Dia tidak bisa menerima. Melissa, dia mencoba dan ia tidak bisa menerima.’
‘Tidak apa-apa. Dengan begitu, ia bisa melanjutkan hidupnya dan mencari cinta yang lain. Cinta yang tanpa perlu memaksa dirinya menerima hal yang tidak seharusnya.’ Nadaku cukup ketus.
‘Aku mencoba menahan diriku untuk tidak marah padamu, Hayd. She deserve better. Memaksa dia menerima kenyataan antara kamu dan Yanne. Membuatkan lagu untuk Yanne. She deserve better. So, let her go.’
‘Dia cukup beruntung, memutuskan untuk meninggalkan kamu. Face it.’
Aku melangkah pergi.
Windbell.
Udara dingin menyergapku. Dengan cepat, aku masuk kedalam mobil glass. Ia menyentuh pipiku sekilas.
‘Semua baik-baik saja?’ Tanyanya.
‘Kamu tidak berhutang origami burung kertas bodoh itu pada gadis manapun, right?’
‘Kamu bertanya tentang…?’ Ia menggantungkan kalimatnya. Nyaris tertawa.
‘Tidak apa-apa.’ Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat. ‘Kamu sama sekali tidak tahu soal origami.’
Dan sekarang ia sungguh-sungguh tertawa. ‘Jangan berpikir yang tidak-tidak, babe.’
‘Jangan tertawa. Aku ingin pulang.’
Glass makin tertawa.
Dalam perjalanan, ia mencoba bertanya, ‘tentang origami…’
‘Jangan tanya.’ Nadaku mengancam. Tidak berhasil, masih ada ekspresi geli di matanya.
***
Human. We try our best to make the best decision. But at the end, we confuse. We thought we put an end to start a new chapter. We thought.
Accent : memberikan penekanan pada not
Legato : smooth and connected
Fine : akhir lagu
Presto : lebih cepat dr allegro
- minmerry's blog
- Login to post comments
- 3607 reads
Double EsspreSSo
Encore, minmerry, encore!
The only difference between a sarcasm and a satire is the first one is usually done with anger while the later one is done with a smile - PlainBread
Bread, Come and get
Welcome to my coffee shop, Bread. Anyway, Bread, if u dont mind, please come more often to coffee shop. Come and get your free coffee. U choose, bitter one or the caramel. They said "the bitter is better."
Usually they sat at the corner and enjoy their coffee without say any word. So, pick your fave corner.
Thanks for the encore. Appreciate it.