Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Di mana Allah ketika saya menikmati? (6)

Baron Arthur's picture

Dikutip sebagian dari buku Mari Menikmati!

5. Kenikmatan sementara adalah Anugerah Allah untuk memuliakan Allah dan belajar menikmati Allah
Cara pandang ini melihat bahwa ketika Allah selesai mencipta, Ia mengatakan, “Sungguh amat baik”. Ada kepuasan dan kenikmatan di dalamNya. Ia memberikan kenikmatan ini kepada manusia yang dicipta dalam GambarNya. Manusia bisa berpikir, merasakan, menikmati dan puas baik di dalam hubungannya dengan Penciptanya maupun dengan semua ciptaan yang lain. Hanya manusia yang bisa menikmati semua relasi ini dengan baik.
Masalahnya manusia jatuh dalam dosa yang membuat semua kenikmatan itu dicemari oleh dosa. Tetapi bukan berarti harus membuang semua kenikmatan yang pada awalnya adalah pemberian Allah bagi manusia.

Dalam pemikiran orang-orang yang memiliki cara pandang ini, kenikmatan sementarapun adalah anugerah Allah yang harus ditebus dan dikuduskan terlebih dulu, dalam pengertian ada perubahan/transformasi dari kenikmatan sementara yang dicemari dosa menjadi kenikmatan sementara yang kudus dan suci. Maka, justru semua kenikmatan sementara itu harus dinikmati, karena itu pemberian Allah yang harus dihargai.
Semua yang belum ditebus dan dikuduskan adalah duniawi, tetapi semua yang sudah ditebus dan dikuduskan adalah rohani, suci dan sakral. Bagi orang najis, semua najis, tetapi bagi orang suci semuanya suci. Siapa yang menebus dan menguduskan? Allah sendiri yang melakukan semuanya, manusia tinggal mencari, melihat semua anugerah itu dan menikmatinya.

Selain itu, kenikmatan sementara tidak bisa dilepaskan dari pembelajaran untuk menikmati kenikmatan kekal. Kenikmatan sementara ini bukan hanya kenikmatan yang berdiri sendiri untuk kesementaraan ini, melainkan juga bagian dari pembelajaran di dalam menikmati segala kenikmatan yang lebih baik, suci dan murni di dalam kekekalan. Dan bahkan kenikmatan yang sementara ini justru harus dinikmati untuk menikmati sumber kenikmatan itu sendiri, yaitu sang Pencipta yang seharusnya lebih nikmat karena Ia adalah sang sumber kenikmatan.

Jadi, Allah adalah sumber kenikmatan yang memberikan anugerah kenikmatan yang seharusnya bisa dimuliakan dan dinikmati di dalam setiap kenikmatan yang bersumber dari padanya. Sebagai sumber dari kenikmatan maka Allah adalah kenikmatan yang tertinggi dan termurni. Tidak ada yang lebih indah, agung, cantik, manis melebihi Allah. Tidak ada yang lebih bisa menghibur, menguatkan, membuat kita tertawa, bahagia dan bersukacita yang melebihi Allah.
Menjawab pertanyaan, “Dimana Allah saat saya menikmati?” Allah menjadi sumber, yang menyertai dan yang menjadi tujuan akhir di dalam kenikmatan.
What is the chief end of man? Man’s chief end is to glorify God and to enjoy Him forever.

Kesulitan, masalah, penyakit tidak lebih banyak dan lebih besar daripada Allah dan semua kenikmatan (termasuk kenikmatan sementara) yang sudah disediakanNya. Itu sebabnya, dalam segala keadaan manusia bisa puas, bahagia dan menikmati. Kenikmatan tidak bergantung kepada berapa besar kenikmatan sementara yang diberikan kepada manusia, melainkan kepada seberapa besar anugerah Allah yang diberikan, seberapa besar manusia melihat penyertaan Allah dan seberapa besar usaha manusia di dalam memanfaatkan semua pemberian itu untuk memuliakan dan menikmati Allah. Jadi, hidup ini tidak terikat dengan segala pemberian, melainkan bebas dari semuanya. Keterikatan yang ada hanyalah kepada Allah yang menjadi sumber dari semuanya.

Meskipun kenikmatan sudah disediakan Allah semuanya, tapi bukan berarti menjadi orang-orang yang pasif dan hanya menunggu semuanya diberikan Allah. Justru karena Allah sudah menyediakan segala kelimpahan, maka butuh usaha yang lebih keras sebagai ucapan syukur untuk melihat semua itu, mengejarnya dan mengusahakannya sampai di dalam batas maksimal untuk kemuliaan Allah. Usaha keras ini akan menunjukkan dan membuktikan dan menggenapi semua rencanaNya yang sudah menyediakan segala kelimpahan kenikmatan di dalam segala keadaan.

Anda berada di mana?
Saya melihat cara pandang yang terakhir merupakan cara pandang yang terbaik. Cara pandang ini melihat Allah di dalam posisinya yang benar, tetapi juga tidak membuat manusia menjadi pasif dan tidak memerlukan apa-apa. Manusia tetap menjadi aktif di dalam melihat anugerah Allah yang harus dimanfaatkan dan dinikmatinya.

Sesungguhnya, manusia hanya berada di dalam dua kemungkinan cara pandang. Kemungkinan pertama adalah berubah-ubah dari cara pandang ke- 1,2,3,4 dalam berbagai kasus di dalam waktu-waktu tertentu hidupnya. Sementara kemungkinan kedua, berada di dalam cara pandang kelima semakin hari semakin bertumbuh dalam segala aspek yang terus dibukakan, menikmatinya untuk memuliakan dan menikmati Allah.

Dikutip sebagian dari buku Mari Menikmati!

__________________

 

http://roielministry.blogspot.com/ (blog mirror)

garamdunia's picture

Kenikmatan Tertinggi

Dikutip dari Baron Arthur:

"What is the chief end of man? Man’s chief end is to glorify God and to enjoy Him forever"

Amin... Amin...

Tulisan yang jelas dan baik dalam mengungkapkan teologia 'kenikmatan'. Memang Allah kita telah menciptakan dunia ini 'baik' dari awalnya dan memang untuk dinikmati (sangat terbalik dari konsep Sidharta Gautama, dan dari kebanyakan orang yang ingin lebih 'spiritual', yaitu 'kenikmatan' adalah sebuah halangan)