Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
THE WAR OF THE WARoengS - bag.3
Skandal talenta 521
Di sebuah negeri entah di mana, ada seorang pedagang besar yang mau pergi ke luar negeri. Karena itu ia mempercayakan kelangsungan bisnisnya kepada pegawai-pegawainya. Yang pertama diberi modal 5 talenta, yang kedua dapat 2 talenta dan yang ketiga, cliiiiing, 1 talenta saja. Masing-masing menurut ketrampilannya. Pegawai yang pertama dan kedua segera memanfaatkan uang itu dan mendapat laba 100%. Yang ketiga, menguburnya dalam tanah agar tidak hilang karena dulu tidak ada bank. Ketika Bigboss kembali, ia meminta laporan keuangan mereka. Pegawai yang pertama dan kedua mendapat pujian setelah memaparkan usaha yang dilakukan. Yang ketiga mengembalikan modal tanpa SHU. Ia kena marah. Bahkan dihukum berat.
Pertama kali cerita itu saya baca dalam Matius 25:14-30, saya tidak mengerti Yesus itu maunya apa. Biar dulu orang bepergian dengan keledai atau unta, paling lama tuan itu bepergian 1 bulan. Usaha apa yang bisa memberi laba 100% dalam sebulan? Sebelum jadi penginjil, Yesus hidup dalam bisnis furniture. Agaknya Yesus itu tak beda dengan beberapa pendeta jaman sekarang yang sering mengkotbahkan sesuatu yang tidak dikuasainya. Tukang kayu kotbah tentang laba dagang. Pasti keliru. Membingungkan lagi.
Setelah saya bekerja dan mengakrabi dunia bisnis eceran, saya harus meralat tuduhan di atas. Malah saya yakin sebelum Yesus “naik mimbar”, Ia mampir di warung dan berbincang-bincang dengan pemiliknya. Keuntungan sebesar ini bisa didapat oleh pedagang eceran dalam waktu sebulan. Tidak percaya ‘kan? Yok, kita berhitung.
Jika Anda yang belum pernah mengurusi warung disuruh berdagang mi instan yang harga belinya Rp.1.025,- sebungkus dan bisa terjual 10 bungkus per hari, Anda akan melakukan runtutan kegiatan ini. Anda pergi ke grosir membeli 300 bungkus mi untuk keperluan sebulan. Anda butuh modal 300 bks x Rp.1.025 = Rp.307.500,-. Mi itu Anda jual Rp.1.100 per bungkus, sehingga dalam sebulan Anda mengumpulkan laba sebesar 300 bks x Rp.75 = Rp.22.500,-. Laba itu hanya 7.3% dari modal. Laba itu belum dikurangi biaya becak untuk membawa pulang 7½ karton mi dari grosir.
Tetapi seorang pewarung kecil akan pergi ke grosir untuk membeli 10 bks untuk persediaan 1 hari saja. Ia hanya butuh modal 10 bks x Rp.1.025,- = Rp.10.250,- Dan ini dilakukannya setiap hari, karena ia tidak suka menyimpan barang. Barang menganggur berarti uang mati. Uang mati berarti rugi karena digerogoti inflasi. Jika ia menjual dengan harga Rp.1.100,- bahkan libur pada hari Sabat, maka laba yang didapatnya dalam waktu 1 bulan adalah (30-4)hari x 10 bks x Rp.75 = Rp.19.500,-. atau 190% dari modalnya yang hanya Rp.10.250. Sudah modal sedikit, ia tidak perlu uang transport karena membawa 10 bungkus mi dari grosir setiap hari bisa dilakukannya dengan sepeda waktu pulang dari sekolah. Ketrampilan cash flow management inilah yang diketahui oleh Yesus sebelum ia mengisahkan perumpamaan itu.
Hamba yang dititipi 1 talenta itu dihukum dengan tuduhan “hamba yang jahat dan malas”. Malas, jelas. Tetapi mengapa juga jahat? Mari kita masuk ke dalam cerita ini. Jika majikan kita memberi modal 5 juta rupiah kepada seorang pegawainya, 2 juta kepada yang lain, lalu kita hanya mendapat 1 juta, apa yang ada dalam pikiran kita? Sama-sama karyawan kok dibedain se? Bukankah perasaan ini sering muncul ketika hari gajian? Boss gue buta matanya, kerjaan sama, pangkat sama, kok gaji gue di bawah yang laen? Demo tak berani. Lalu kita melakukan slow down. Kerja berlambat-lambat. Sering ijin sakit. Sering membantah perintah. Sering ijin melawat orang mati padahal kenal saja tidak.
Hamba dengan 1 talenta itu mungkin saja doing nothing karena berpikir, teman gue bisa buka toko, yang lain bisa buka warung, lalu gue dengan 1 talenta apa harus menggelar tikar di trotoar? Di mana gue musti taruh muka kalo ada yang tanya “kok kamu kalah sama dua temanmu itu?” Inilah kejahatannya yang juga sering kita lakukan, meragukan keadilan-Nya sehingga menyampahkan modal “bisnis rohani” yang Tuhan berikan kepada kita.
- o -
Waktu kembali ke gereja asal saya, saya heran kebaktian Minggu jarang sekali dimeriahkan oleh paduan suara. Alasannya anggota PS merasa belum layak berdiri di depan jemaat karena mutunya masih jelek. Lalu saya tanya penatua apa saya boleh mengisi saat teduh dengan menyanyi solo. Monggo, kata mereka. Aku paksa puteri bungsu saya yang masih duduk di SMP untuk main organ mengiringi saya nyanyi karena gara-gara suara saya cempreng tidak ada musisi gereja yang mau mendampingi saya. Selesai menyanyi jemaat riuh bertepuk tangan. Ini di luar dugaan saya karena dulu di gereja ini jemaat dilarang tepuk tangan dalam ibadah.
Selesai ibadah seorang penatua ketika berpapasan dengan saya berkata, “Wong edan bali kandang” (Orang gila pulang kandang). Pasti ia jengkel karena lagu buatan saya itu sarat dengan protes. Tidak sampai 6 bulan saya tergusur. Paduan suara dan vocal group mendadak saja jadi rajin tampil. Ada pesan sponsor, ‘kali. No problem, saya ganti “tempat” menggelar “dagangan” saya.
Keberanian saya tampil menyanyi beberapa kali dalam ibadah dengan modal pas-pasan ternyata meninggalkan kesan yang mendalam dalam diri beberapa jemaat kelas bawah. Setahun setelah saya tergusur beberapa wanita yang profesinya buruh cuci pakaian, pembantu rumah tangga, pembantu warung tenda dan buruh pabrik menemui saya. Mereka telah berlatih menyanyi dan ingin sekali tampil dalam ibadah. Tetapi mereka menyadari mutu suara mereka jauh dari seharusnya. Karena itu mereka minta tolong saya untuk menghubungi penatua agar mereka dijadwalkan menyanyi. Mereka akan menyanyi dalam irama keroncong. Kalau dulu saya saja boleh, mengapa mereka tidak, begitu kata mereka sambil senyum-senyum. Waduh! Penatua yang saya hubungi tertawa terpingkal-pingkal. “Okey, mereka boleh tampil sebulan sekali pada ibadah sore asal tidak membawakan lagu-lagumu,” katanya.
- o -
Sebuah gereja punya organ, keyboard, dan piano. Punya multi media juga. Gereja kecil di kota kecil ini memang kaya. Bahkan sedang mengumpulkan dana 1 milyar lebih untuk membeli tanah di sebelahnya. Komisi Dewasanya sedang merencanakan wisata ke Cina. Tidak gratis lo. Waktu kebaktian berlangsung, telinga saya merasakan sesuatu yang aneh. Suara musik terdengar tidak mengiringi jemaat menyanyi, tetapi memimpin di depan. Saya memanjangkan leher. Ajaib. Tidak ada orang di belakang 3 alat musik itu. Ternyata musik pengiring itu rekaman. Jika kita mempersoalkan di manakah para musisi ini, tidak ada habisnya. Lebih baik kita melihatnya dari sisi lain.
Bukankah kekosongan ini memunculkan kesempatan bagi pemodal 1 talenta? Yakin saya, di gereja ini bisa dikumpulkan 5 pemain gitar, baik yang sudah lanjut usia maupun yang baru gede. Dua orang memainkan melodi, 3 orang memainkan akord. Apalagi kalau ada yang main bass betot. Asik bo. Pasti ini akan menjadi variasi yang menarik. Ide ini jadi sulit dilaksanakan bila muncul pikiran, “Di mana gereja kita musti taruh muka kalo yang laen bisa menampilkan musik konser, kita cuma memunculkan para pengamen?” Tempat paling aman untuk taruh muka, setahu saya, ya di depan hadirat Tuhan.
Di pihak lain, bisa saja mereka yang bisa main gitar menolak tawaran ini karena pelayanan itu tidak wah. “Yang sepele aja buat gue. Kapan se gue dapat proyek gede?” Bukankah pemikiran seperti ini sering kita jumpai? Masuk seksi pelawatan tidak mau. Mintanya jadi penatua. Setelah jadi penatua, tidak bisa apa-apa kecuali hahahihi saja. Itulah skandal talenta 521, yang selalu jadi topik ngrumpi paling top di gereja. Kalau Tuhan beri modal 1 talenta, ya jangan coba-coba buka supermaket dong. Plis deh, waktu membaca perumpamaan talenta 521 jangan melompati kalimat “masing-masing menurut kesanggupannya”.
Demikian juga bila kita memulai bisnis eceran. Tidak perlu malu memulainya dengan modal kecil. Tetapi walau kecil kerjakanlah dengan serius, jangan disepelekan. Itu juga berkat Tuhan. Ini yang perlu diyakini terlebih dahulu sebelum kita memikirkan berapa laba yang pantas.
Berapakah laba yang pantas?
Bebas kok. Anda beli kecap Rp.12.000 sebotol kemudian Anda jual Rp.25.000, boleh-boleh saja. Tidak ada undang-undang yang melarangnya. Karena mereka yang membutuhkan kecap bila tidak setuju dengan harga jual Anda, masih bisa ke warung lain yang menjual kecap itu Rp.13.200,-. Walaupun warung Anda satu-satunya yang ada di desa Anda, mereka masih bisa hidup tanpa kecap bila tak sanggup membelinya. Anda baru boleh diteriaki “serigala pembunuh” bila bukan kecap yang Anda jual dengan laba selangit itu, tetapi barang kebutuhan pokok. Misalnya, beras, gula, minyak goreng, minyak tanah, obat. Begitu mendengar sebuah SD Inpres murid-muridnya kena muntaber gara-gara promosi susu kadaluwarsa, langsung harga obat diare Anda naikkan 2 kali lipat. Dalam kasus ini Anda bukan pedagang yang cerdik seperti ular sekaligus tulus seperti merpati, tetapi pedagang sekaligus pembunuh.
Menurut saya, inilah konsep Kristiani dalam menentukan laba. Yaitu, tidak menyambung hidup dengan nyawa pelanggannya. Waktu krismon melanda dan harga bergerak naik turun tidak beraturan, banyak pemilik warung yang tidak mau menjual barang kebutuhan pokok. “Repot. Ambil untung sedikit, dimarahi warung sebelah. Merusak harga, katanya. Ambil untung banyak untuk mengantisipasi kenaikan harga, dimaki pelanggan. Kamu ini pedagang apa perampok, begitu kata mereka,” cerita seorang pemilik warung.
Dulu, kebanyakan barang dijual oleh Salesman dalam satuan lusin. Lalu harga selusin ini dibagi 10 untuk dijadikan harga jual eceran. Misalnya, kecap botol harga belinya Rp.135.000,- selusin, maka harga jualnya Rp.13.500,- sebotol. Ini berarti labanya 20%. Saat ini masih ada warung atau pedagang kaki lima yang mengambil laba sebesar ini. Biasanya, warung itu berlokasi dekat real estate. Sedangkan PKL atau asongan adalah yang beroperasi malam hari di perhentian bus antarpropinsi atau tempat-tempat hiburan malam, di mana pedagang tidak pernah berharap mempunyai pelanggan setia.
Sekarang tentunya sulit mendapat laba sebesar itu ketika jumlah warung bukan main banyaknya. Walaupun para produsen barang kebutuhan sehari-hari menganjurkan warung mengambil laba 10 – 15%, persaingan membuat mereka mengambil untung 7½% untuk barang cepat laku dan 10% untuk barang lambat laku. Tetapi warung langganan saya yang harus bersaing dengan banyak warung dan 3 chain store, menurunkan angka ini menjadi 5% dan 7½%. Sedangkan untuk barang kosmetik yang agak mahal, ia mematok laba 10% dan 15%. Angka-angka ini saya dapat bukan dari pengakuan para pemilik warung. Tidak ada pedagang yang mau mengatakan berapa sebenarnya labanya. Angka ini saya peroleh dengan memperbandingkan harga jual beberapa warung dengan harga jual grosir.
Menyusutnya laba warung juga tidak lepas dari perilaku grosir yang mengecer dengan harga kulakan. Suatu hari saya ke warung membeli air mineral cup 1 dus. Harganya 10 ribu rupiah. Saya protes. Mahal, di toko Anu cuma 9 ribu, saya mulai menawar. Aku beli 9 ribu juga, jawabnya. Mengapa saya tidak ke toko Anu? Karena jauh tempatnya dan sulit mendapat tempat parkir. Memang toko Anu itu adalah grosir air mineral dan soft drink. Tawar-menawar berakhir dengan win-win solution. Harga turun menjadi 9.500 rupiah tetapi saya harus beli 5 dus. Secara prosentasi ia harus menurunkan laba dari 10% menjadi 5%. Tetapi dalam kurun waktu yang sama labanya naik dari Rp.1.000 menjadi Rp.2.500. Dalam kasus ini, air mineral cup yang semula dimasukkan ke kelompok barang-lambat-laku di warungnya sehingga ia mematok laba 10%, berubah menjadi barang-cepat-laku karena saya bersedia membeli dalam jumlah besar sehingga ia menurunkan labanya menjadi 5%.
Semula, munculnya pemilahan barang-cepat-laku dan barang-lambat-laku dalam menentukan laba berdasarkan pemikiran demikian. Setiap pelanggan apabila setiap hari membeli barang yang sama, maka ia akan hafal harganya. Maka setiap ia masuk ke toko yang bukan langganannya, entah ketika pulang dari gereja atau tempat bekerja, ia akan menanyakan harga barang itu untuk “studi banding”. Para ibu pasti hafal harga beras, gula, mi instan, telur, minyak goreng, deterjen, sabun mandi. Sebaliknya, ia tidak begitu hafal harga obat diare, permen coklat, snack, kopi, susu, krimer cair, obat nyamuk, karbol. Di kelompok inilah warung mengambil laba lebih tinggi daripada barang-barang dalam kelompok pertama. Tentu saja daftar barang ini tidak sama di setiap warung. Di warung dekat sekolah dan kampus, alat tulis dan kertas akan dimasukkan ke dalam kelompok barang-cepat-laku. Sedangkan barang itu di warung dekat rumah sakit akan dimasukkan ke dalam kelompok barang-lambat-laku.
Bila Anda masih bingung menentukan laba, saya sarankan mengambil 7½% sampai dengan 12½%. Jangan 5%, kecuali warung Anda sudah ber-omzet Rp.750.000,- per hari. Jika perhitungan dengan kalkulator menghasilkan harga jual, misalnya Rp.7.655, bulatkan menjadi Rp.7.700 jangan Rp.8.000,- Dengan adanya angka hasil kelipatan Rp.100 akan memberi kesan bahwa harga di warung Anda tidak mahal selama Anda tidak mengganti uang kembaliannya dengan permen.
(selesai bagian ke-3)
bagian ke-2 klik di sini.
bagian ke-4 klik di sini.
Belum ada user yang menyukai
- Purnomo's blog
- 3640 reads
@ Purnomo .. tulisan inspiratif men"darat"
Dear Purnomo
Tulisan-tulisanmu selain memberi inspirasi juga men"darat"
Purnomo, aku baru ngeh arti "kejahatan" di perumpamaan talenta ketika ada tertulis:
Inilah kejahatannya yang juga sering kita lakukan, meragukan keadilan-Nya sehingga menyampahkan modal “bisnis rohani” yang Tuhan berikan kepada kita.
Iya sih di pekerjaan dan di gereja seringkali kita ngenteng-ke dan meremehkan hal2 yang kita anggap kecil.
HAl perumpaan talenta dulu aku berpikir kenapa ya satu talenta tersisa yang tidak berkembang justru diberikan kepada pengelola 5 talenta tidak kepada pengelola 2 talenta? apakah ini juga akan menimbulkan bibit ketidak adilan seperti yang dirasakan si "satu talenta"?
Ternyata Yesus pebisnis yang handal. Ketika ku pikir dan berandai-andai punya uang banyak, orang seperti apa yang bisa kita andalkan untuk mengembangkan uang kita.. ya.. seperti saham or reksadana.. pastilah mencari orang yang menghasilkan bagi hasil yang paling tinggi.
Sama seperti ayat Mat 25: 29 Karena setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.
Ada Tapi Harganya Lebih Mahal
Salah satu sepupuh saya buka toko material yang menjual bahan bangunan dan assesoris rumah. Suatu hari datang seorang pembeli mencari kunci pintu. Dia minta ditunjukkan kunci pintu yang bagus. Istri sepupuh saya dengan antusia mengeluarkan kunci-kunci pintu yang bagus kepadanya. Setelah melihat-lihat pembeli itu lalu bertanya,
"Nggak ada kunci pintu yang mereknya ANU ya?" Istri sepupuh saya itu lalu menjawab,
"Ada namun harganya mahal!" Dia lalu mengambil kunci pintu yang dimaksud dan memperlihatkannya kepada pembelinya. Pembeli itu lalu menawar sedikit harganya lalu pulang dengan wajah riang.
Saya melotot pada istri sepupuh saya itu. Kunci pintu merek anu jelas-jelas adalah kunci pintu MURAH yang kualitasnya biasa saja. Yang pertama kali dia tunjukkan benar-benar kunci pintu yang berkualitas bagus dan harganya jauh lebih mahal.
Istri sepupuh saya itu membalas pelototan saya lalu dia tertawa dan berkata, "Namanya juga usaha!" Dari dialah saya mengenal ungkapan itu. Ketika tokonya sepi, dia menjelaskan, "Pembeli itu datang dengan keyakinan bahwa kunci pintu merek anu adalah kunci pintu yang kualitasnya bagus. apabila saya beritahu dia bahwa kunci mereka ANU sebenarnya kunci jelek, dia akan malu dan tidak jadi beli. Lain kali dia pasti tidak akan datang lagi. dia sebenaranya tidak hanya membeli kunci pintu merek anu namun juga membeli HARGA dirinya. Itu sebabnya saya bilang, kunci pintu merek ANU harganya MAHAL, sebab bila saya bilang harganya lebih murah, dia pasti berpikir saya tadi berusaha MENIPUNYA!"
Saat itu dia baru beberapa bulan membuka toko besi itu, dan saat itu saya berkata kepadanya, bahwa dalam beberapa tahun ke depan dia akan menjadi orang kaya karena saya belum pernah melihat orang dagang seperti dia.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Rusdy si Pedagang Ngaco
Mat Saya Jeblok
Pak Purnomo, matematik saya dari dulu jeblok. Contoh, saya ndak mengerti kenapa:
Laba dari 300 bungkus mie 7.1%, karena laba = ((jual - modal) / modal) x 100%, dan modalnya adalah modal 300 bungkus mie
Sedangkan laba dari 10 bungkus mie adalah 190%? Perhitungannya adalah:
"... maka laba yang didapatnya dalam waktu 1 bulan adalah (30-4)hari x 10 bks x Rp.75 = Rp.19.500,-. atau 190% dari modalnya yang hanya Rp.10.250"
Maksudnya, pemilik warung menjual 300 bungkus mie, dari modal 10 bungkus mie, pak Purnomo?
@rusdy : perputaran modal
Jesus Freaks,
"Live X4J, die as a martyr"
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
Ooo gitu