Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Rekonstruksi Pembelajaran Budaya
Sidik Nugroho*)
Kecolongan Budaya
Dalam tulisannya di Jawa Pos tanggal 24 Agustus 2009, dosen dan peneliti pariwisata Universitas Widya Kartika Surabaya, Dewa Gde Satrya, mengajukan pertanyaan yang menempelak rasa kepemilikan kita atas beraneka kekayaan budaya bangsa: "… apakah kita telah memanfaatkan secara optimal warisan-warisan mahakarya itu sembari melestarikannya di zaman modern ini, ketimbang menggandrungi produk budaya modern dari negara asing (Barat)?"
Tulisannya itu mengurai dengan telak hal-hal apa saja yang selama ini telah kita pinggirkan dalam elemen-elemen budaya kita. Utamanya, ini berkaitan dengan yang baru-baru ini terjadi: klaim tari Pendet yang dilakukan oleh Malaysia – sesuai judul tulisannya Klaim Tari Pendet oleh Malaysia. Ya, Malaysia bukan hanya kali ini mencolong budaya kita. Sebelum ini, mereka mengklaim angklung, Reog Ponorogo, batik, dan yang cukup menghebohkan adalah lagu bertajuk Rasa Sayange sebagai milik mereka.
"Selama ini kebudayaan dipinggirkan. Pemerintah dan masyarakat tak lagi peduli," kata budayawan Radhar Panca Dahana, mengomentari hal ini. Dalam catatan sejarah Orde Lama, konflik antara Indonesia dengan Malaysia cukup tegang, walau kemudian di masa Orde Baru tampak harmonis. Namun, di masa kini mereka mulai menyulut kembali ketegangan konflik dengan perlakuan yang tidak baik terhadap beberapa Tenaga Kerja Indonesia (TKI), klaim produk budaya, dan melanggar batas wilayah RI. Terhadap hal yang terakhir, Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan reaksi cukup berani dengan menyatakan negara kita siap berperang untuk menjaga kedaulatan.
Jati Diri yang Punah
Ketegangan konflik yang dimuarakan dalam tindakan kekerasan atau perang yang bersimbah darah menjadi ciri khas negara-negara kapitalis yang merasa kuat dan cenderung serakah. Imbasnya belum tentu kemenangan dan kejayaan, namun bisa jadi keterpurukan. Nah, rasanya kita perlu memikirkan solusi lain yang perlu ditempuh mengatasi masalah ini. Salah satunya adalah dengan bagaimana kita mengemas pembelajaran budaya dalam kelas-kelas di sekolah-sekolah kita.
Radhar Panca Dahana dan Dewa Gde Satrya benar. Kita telah kehilangan rasa memiliki – juga kehilangan upaya memikirkan manfaat – produk-produk budaya kita. Kita menyantap lahap-lahap produk-produk budaya kapitalis yang disuapkan lewat iklan, film, produk, dan siaran-siaran di televisi, sementara melupakan budaya bangsa sendiri dalam pendidikan kita.
Sementara itu pula, muncul pihak lain yang anti-kapitalis, yang resah melihat Amerika dan Barat menancapkan berbagai pengaruhnya di dunia global. Mereka kemudian melakukan kekerasan dengan mengadakan teror dan ledakan bom di mana-mana sebagai wujud perlawanan.
Kapitalisme tumbuh subur di negeri yang permai, yang telah didirikan dengan perjuangan para nasionalis yang mengucurkan darah. Terorisme diminati di negeri yang kini telah kehilangan pegangan dan lupa sejarah. Jikalau ini terus-menerus berlangsung, kita tidak akan pernah tahu akan jadi apa kita nantinya.
Merangkai Pembelajaran Budaya
Pembelajaran budaya, dalam kurikulum kita saat ini, paling tidak termaktub dalam tiga mata pelajaran, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Budi Pekerti. (Yang terakhir disebut tidak diajarkan di semua sekolah.) Sayangnya, ketiga bidang studi ini kalah saing bila dibandingkan dengan pelajaran ilmu pasti atau sains seperti Matematika, Kimia, atau Fisika. Sejak Indonesia berprestasi dan kini punya andil dalam berbagai perhelatan, lomba atau olimpiade bidang-bidang studi ilmu pasti tersebut, pembelajaran budaya tampak kian dinomorduakan.
Tentunya, prestasi-prestasi dalam bidang ilmu-ilmu pasti tersebut mengharumkan nama bangsa; tak serta-merta bisa dijadikan alasan untuk menuding kurangnya kegairahan pembelajaran budaya. Yang vital disoroti adalah bagaimana pembelajaran budaya itu sendiri diajarkan, sehingga tampak menarik sekaligus menantang. Dari situ para pengajar ilmu-ilmu sosial-budaya semestinya bercermin dan berefleksi: jika selama ini ada beraneka event yang merangsang para siswa untuk berlomba-lomba mengikuti suatu perlombaan sains, apa yang dapat dibuat untuk menggairahkan siswa mempelajari budaya?
Perlu ada upaya rekonstruksi dalam pembelajaran budaya – untuk mengasah kembali nasionalisme dan menumbuhkan kecintaan pada budaya bangsa sendiri. Rekonstruksi ini, paling tidak mencakup dua hal utama yang perlu diperhatikan.
Pertama, modifikasi sumber belajar. Hal ini berkaitan dengan sering dikeluhkannya buku pelajaran ilmu-ilmu sosial yang monoton: kurang dinamis, banyak menghapal dan terkesan datar. Kurikulum sekarang sebenarnya telah memberikan cukup ruang untuk memantik dinamika itu. Dengan penetapan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam tiap mata pelajaran yang sudah menjadi acuan baku dalam pengembangan bahan ajar, mestinya buku-buku pelajaran sekarang dikemas lebih memikat dan memancing minat belajar para peserta didik.
Kedua, inovasi guru dalam mengemas pembelajaran; juga termasuk memodifikasi atas sumber belajar. Sedapat mungkin, ilmu-ilmu sosial dan budaya tersaji menarik dengan metode dan pendekatan yang beragam – tak melulu berisi ceramah. Guru-guru juga perlu memiliki penghayatan yang baik atas nilai-nilai luhur bangsa ini – yang perlu senantiasa diwariskan kepada para peserta didik. Meminjam istilah St. Kartono, seorang guru di Yogyakarta, seorang guru semestinya "tak hanya numpang hidup dari pendidikan, tapi menghidupi pendidikan."
Kalau bukan anak-anak didik kita yang kini masih sekolah, siapa lagi yang akan tetap mempertahankan budaya negeri ini? Semoga para guru dan pendidik tergugah untuk merekonstruksi kelas-kelas pembelajaran budaya kita. Baiklah kita berkaca pada sejarah yang menyebutkan bahwa bangsa ini di masa lalu memiliki banyak guru dan pendidik yang hebat. Ya, kalau mereka tidak hebat, Malaysia tidak mungkin mengimpor para pengajar dari negeri ini di masa lalu, 'kan? (*)
*) Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, tuanmalam.blogspot.com
- sidiknugroho's blog
- Login to post comments
- 4985 reads