Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Refleksi Paskah: 'Secarik Tissue Berbercak Merah' (2)
Oleh: John Adisubrata
“SALIBKAN DIA!”
“Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.” (Kolose 1:19-20)
Seperti saya, pernahkah Anda membayangkan: “Andaikan saja aku seorang Yahudi yang hidup di zaman Tuhan Yesus, ... pasti aku tidak mau terlibat dengan bangsaku yang telah menolak Dia sebagai Mesias kami. Apalagi ikut mengambil bagian di dalam penyaliban-Nya!”
Tetapi, … apakah ‘fair’ untuk mengutarakannya tanpa mempelajari terlebih dahulu keadaan zaman pada waktu itu? Bukankah para ‘pejabat’ agama Yahudi yang mempunyai kuasa untuk mengancam kehidupan orang-orang yang berani menjadi simpatisan-simpatisan Tuhan Yesus ... cukup menakutkan! Kekuasaan mereka tidak berbeda jauh dengan orang-orang yang pada saat ini memegang kedudukan di tempat-tempat ‘maha tinggi’, baik di dalam masyarakat maupun di dalam gereja Tuhan, yang dapat mempengaruhi ‘nasib’ ekonomi rumah tangga kita?
Tampaknya di situ saya tidak terkecualikan, karena ternyata … sering kali saya masih bisa mendengar dengungan gema jeritan lantang suara saya di tengah-tengah teriakan orang-orang lain, yang sudah menggetarkan tambur telinga saya sendiri: “Salibkan Dia!” (Markus 15:13)
Padahal beberapa hari sebelumnya, saya juga termasuk di dalam kelompok orang-orang yang bersukacita menyambut kedatangan-Nya, berseru-seru dengan penuh semangat sambil bertepuk tangan di sepanjang jalan menuju ke pintu gerbang kota Yerusalem. Bersama mereka saya ikut memuji-muji Dia: “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!” (Yohanes 12:13)
Mungkin sekali sikap saya terhadap Dia menjadi berubah, oleh karena saya adalah salah seorang dari para pedagang kaki lima di halaman Bait Allah, yang menderita kerugian amat besar oleh karena tindakan-Nya, di mana Ia, dengan penuh kemarahan, telah mengobrak-abrik dan menghancurkan barang-barang ‘dagangan’ yang kami tawarkan di sana! (Matius 21:12-13)
Pada malam bersejarah saat Ia ditangkap di taman Getsemani, saya adalah salah seorang pengikut-Nya yang menjadi takut dan lari terbirit-birit meninggalkan-Nya, membiarkan Dia seorang diri untuk menghadapi para pemimpin agama Yahudi yang sangat berapi-api ingin segera mengadili dan membunuh-Nya. (Markus 14:50)
Ketika menyaksikan segala sesuatu yang terjadi pada diri-Nya di taman tersebut, seperti yang sudah dialami oleh para pengikut-Nya yang lain, iman saya merapuh, hancur luluh menjadi bubur, laksana secarik tissue putih lembut yang basah kuyup, yang ada di dalam genggaman erat telapak tangan saya.
Benak pikiran saya mulai dipenuhi oleh perasaan bimbang, mempertanyakan semua kebenaran perkataan-perkataan dan janji-janji yang pernah Ia ucapkan. Karena iman saya pada waktu itu sudah tidak berbeda jauh dengan iman rasul Tomas, murid pendua hati yang selalu menuntut bukti-bukti yang konkret dari kebenaran yang telah didengar olehnya! (Yohanes 20:24-29)
Pada saat-saat terakhir menjelang kematian Tuhan Yesus di kayu salib, saya adalah salah seorang dari kedua penyamun yang tersalib di sisi kiri dan kanan-Nya. (Matius 27:38)
Saya harus mengakui dengan jujur, bahwa selama ini tingkah laku dan tindakan-tindakan saya tidak berbeda sama sekali dengan perbuatan jahat penyamun tersebut! Karena tidak jarang saya menipu, mencuri, bahkan merampas hak-hak orang lain untuk kepentingan dan keuntungan diri saya sendiri. Entah itu dalam bentuk waktu, pajak negara, pekerjaan, peralatan kantor, uang, kehormatan, kemuliaan, atau … hal-hal ‘KECIL’ lainnya yang tampak sangat tidak berarti pada waktu saya lakukan, tetapi bisa mengakibatkan kerugian amat besar bagi orang-orang lain!
Seperti dia, walaupun dalam keadaan sekarat dan tanpa harapan, penuh penyesalan saya masih memiliki keberanian untuk memohon kepada Tuhan: “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” (Lukas 23:42)
Begitu pula kepala pasukan Romawi yang ditugaskan untuk memimpin pelaksanaan penyaliban Tuhan Yesus di atas bukit Golgota, yang telah menyaksikan sendiri semua KEAJAIBAN yang terjadi pada detik-detik terakhir sebelum kematian-Nya.
Bagaikan kepala pasukan tersebut, saya juga ikut terpana mendengar kata-kata penuh kasih dan pengampunan yang Ia ucapkan dengan lirih di tengah-tengah penderitaan-Nya sendiri, bagi mereka yang menyalibkan-Nya: “Ya Bapa, ampunilah MEREKA, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34a)
Sampai saat ini ayat termasyhur itu masih selalu menimbulkan suatu rasa pilu di dalam hati yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata, karena saya tahu, SIAPA yang dimaksudkan oleh-Nya!
Secara refleks kembali tangan saya meraih kotak kecil yang terletak di atas meja di depan saya, untuk mencabut sekali lagi secarik tissue putih yang amat lembut dari dalamnya.
Seperti pengakuan kepala pasukan Romawi tersebut, yang dicatat di dalam semua Injil Perjanjian Baru, akhirnya dengan hati yang hancur luluh saya juga takluk mengakui kedahsyatan-Nya: “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” (Markus 15:39)
Suatu pengakuan tulus dari dalam hati yang segera mencelikkan mata hati nurani saya yang ‘tertutup rapat’ selama itu!
Bagaikan orang buta semenjak lahir yang berani membela kenyataan kesembuhan yang sudah diterima olehnya dari Tuhan Yesus di depan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sekarang saya juga menjadi berani mengikrarkan iman saya di depan umum: “Tetapi satu hal aku tahu, yaitu bahwa aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat.” (Yohanes 9:25b)
Saya yakin sekali, bahwa ketiga pertanyaan yang diajukan oleh Tuhan Yesus kepada rasul Petrus setelah kebangkitan-Nya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku (lebih dari pada mereka ini)?” juga ditujukan kepada saya. (Yohanes 21:15-19)
Seperti yang dialami olehnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut juga sudah menimbulkan suatu perasaan sedih yang amat memilukan hati saya. Laksana tikaman-tikaman sebilah pedang tajam bermata dua, ketiga pertanyaan-Nya yang sama itu langsung menembus lubuk hati saya yang terdalam, mengaduk di dalamnya setiap tindakan ‘memalukan’ yang pernah saya lakukan, yang tidak berbeda jauh dengan tingkah laku mereka yang sudah menjadi murtad, berani memberontak dan mengkhianati diri-Nya!
Kendatipun demikian, seperti reaksi-Nya yang penuh kasih di dalam menghadapi kehancuran hati rasul Petrus, Ia juga tidak ingin membuat saya menjadi malu di hadapan-Nya. Tidak ada sepatah kata pun yang dilontarkan oleh-Nya kepada saya yang bersifat sarkastik, menghakimi, atau mencemoohkan tindakan-tindakan yang telah saya lakukan selama ini. Ia hanya mengulangi sekali lagi pertanyaan yang sama: “Apakah engkau mengasihi Aku?” Hanya itu saja!
Oh, … sebuah pertanyaan penuh kasih yang membuktikan, bahwa keajaiban kasih karunia sorgawi yang luar biasa, yang ditawarkan oleh-Nya semenjak masa pelayanan-Nya di dunia 2000 tahun yang lalu masih tetap berlaku sampai sekarang!
Oleh karena itu, seperti rasul Petrus yang tidak mempunyai keberanian untuk menatap wajah-Nya, saya tidak hanya menjawab: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” (Yohanes 21:17b)
Tetapi sambil menelan ludah, saya menambahkan: “Karena kasih karunia-Mu, mataku telah Kau celikkan, hidupku telah Kau bebaskan, jiwaku telah Kau ampuni, bahkan Roh-Mu yang kudus telah Engkau berikan kepadaku. Aku tidak hanya mengasihi-Mu, Tuhan, tetapi juga percaya sepenuhnya kepada-Mu! Tidak ada yang melebihi-Mu, karena Engkaulah satu-satunya yang mampu memenuhi kekosongan hidup yang telah kuderita selama ini! Meskipun aku masih sering jatuh di dalam pencobaan, bahkan gagal di dalam melaksanakan perintah-perintah-Mu, aku berjanji, bahwa … untuk selama-lamanya aku tidak akan meninggalkan Engkau lagi.”
Saya yakin sekali, perintah Tuhan Yesus kepada rasul Petrus: “Ikutlah Aku.” (Yohanes 21:19b) adalah perintah yang diberikan kepada saya juga, … dan kepada setiap orang lain yang mau menjadi pengikut-pengikut-Nya.
Sekarang saya telah mengambil keputusan yang tetap, apa pun yang akan terjadi di dalam perjalanan hidup ini, saya akan selalu mengikuti langkah-langkah-Nya, … sampai tugas yang Ia berikan kepada saya di dunia berakhir, ... bahkan sampai di akhir zaman!
Oh, … ternyata nubuatan nabi Yesaya beberapa ribu tahun yang lalu: “Tetapi dia ditikam oleh karena PEMBERONTAKAN kita, dia diremukkan oleh karena KEJAHATAN kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” (Yesaya 53:5) masih terus digenapi, karena isi firman Allah sangat relevan dengan kehidupan umat manusia sepanjang masa!
Pengorbanan Tuhan Yesus Kristus yang luar biasa di kayu salib tersebut ternyata tidak sia-sia belaka. Darah-Nya yang paling berharga, yang dicurahkan di atas bukit Golgota masih terus menyelamatkan hidup orang-orang berdosa yang MURTAD, MUNAFIK dan TERSESAT seperti saya, 2000 tahun kemudian!
Mengetahui tingkah laku saya selama ini, tanpa sadar kembali tangan saya meraih kotak tissue di ujung sebelah kiri meja. Entah cabutan tissue yang keberapa?
Saya terus berdoa kepada Tuhan, agar Ia melalui Roh Kudus selalu menyertai, membimbing dan menopang saya pada saat-saat yang kritis. Karena saya yakin sekali, janji yang diberikan kepada setiap orang yang mau mengikuti-Nya: “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (Matius 28:20b) juga masih digenapi oleh-Nya sampai sekarang! Terpujilah nama Tuhan, karena besar kasih-Nya! Haleluya!
Setelah membersihkan hidung yang tersumbat oleh cairan air mata di dalamnya, untuk pertama kalinya saya menyadari, bahwa ... tissue putih lembut tersebut sudah dinodai oleh bercak-bercak darah berwarna merah yang amat pekat!
John Adisubrata
April 2006
- John Adisubrata's blog
- 5761 reads