Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pohon Jati dan Kupu-Kupu: Balada Siti Nurbaya

clara_anita's picture

“Tidak! Aku dijodohkan!”

 

Bila diparafrasekan kiranya demikian isi pesan singkat dan pembicaraan via telpon saya dengan nona manis di penghujung 20-an ini. Dari kaca mata keluarganya yang memegang tradisi Jawa, usia akhir 20-an sudah melampaui batas waktu sebagai nona untuk segera diganti menjadi nyonya demi kelangsungan mengalirnya darah keluarga ke generasi berikut. Alhasil, menjelmalah nona manis itu menjadi Siti Nurbaya, tokoh utama novel bertajuk sama buah karya Marah Rusli yang menjadi korban perjodohan dengan saudagar tua kaya raya bernama Datuk Maringgih.

 

”Lha, kamu sreg nggak mbak?” Begitu tanyaku singkat yang disambut dengan narasi yang amat jelas pun gamblang tentang betapa tidak sregnya gadis manis ini atas perjodohan itu. Hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dengan orang yang salah. Atas dasar keyakinan itu aku pun sepakat dengannya untuk menolak perjodohan itu ketimbang menyesal seumur hidup. Kami sepaham bahwa lebih baik menunggu orang yang tepat bahkan bila orang yang tepat itu datang pada usia yang sangat terlambat. Bila pun pada akhirnya orang yang tepat itu tidak kunjung tiba, tak apalah; selama hidup ini bisa bermakna. Pasangan hidup hanyalah bonus; ada disyukuri, tak ada tak perlu diratapi.

 

Cinta memang dilema sepanjang masa. Mengutip lirik lagu Bang Haji Roma Irama, “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga.” Konon tanpa cinta dunia terasa gersang. Tapi kata salah satu band mutakhir, “Cinta ini membunuhku.” Cinta memang punya dua sisi yang ekstrim yang bertentangan. Punya kekuatan menumbuhkan, tapi pada saat yang bersamaan juga sangat mematikan. Mungkin itulah sebabnya, sejak jaman kuda gigit besi, sampai saat kuda gigit kabel karena masuk internet, tak habis-habisnya orang membicarakan hal yang satu ini; terkadang secara salah mengintepretasikan cinta hanya dari pasangan hidup. Sehingga merebak pandangan bahwa menikah adalah suatu keharusan; bahkan cinta kemudian tergeser dengan pernikahan. Menikah dulu, cinta urusan belakangan; demikian kata ibu saya.

 

Mana yang betul? Cinta yang membuat dua insan memiliki pernikahan yang langgeng, ataukah pernikahan yang menumbuhkan cinta? Dua pandangan yang bertentangan namun menarik untuk disandingkan. Adakah cinta itu seperti kepompong yang dengan cepatnya berubah menjadi kupu-kupu? Ataukah ia layaknya biji jati yang lambat laun tumbuh menjadi pohon yang kokoh.

 

Menurut ibu, cinta itu seperti pohon jati itu. Ia perlu ditumbuhkan, meski butuh waktu lama. Ibu dan bapak memang dijodohkan. Bukan karena tak laku, namun karena kesepakatan kedua orang tua mereka. Bapak semasa muda adalah Don Juan, sementara ibu tergolong play girl juga. Bakat yang sayangnya tidak menurun pada anaknya ini. Ibu mengaku bahwa selama seperempat abad pertama pernikahannya, ia masih terus belajar mencintai Bapak yang memang jauh berbeda darinya. Satu-satunya persamaan di antara mereka adalah keduanya sama-sama berpendirian keras. Dua puluh lima tahun memang waktu yang panjang, namun hasilnya sangat indah. Damai sekali rasanya melihat Bapak dan Ibu jatuh cinta setelah seperempat abad menikah; ketika ibu dan bapak berkata, ’Terima kasih TUHAN sudah mempertemukan kami.” Ya, ibarat peribahasa jawa, witing tresno jalaran soko kulino (cinta itu datang karena terbiasa).

 

Menurutku cinta itu seperti kupu-kupu. Awalnya ia mencari jati dirinya di antara daun-daun. Dalam kebingannya ia membungkus diri dalam kepompong, dan kemudian dalam waktu relatif singkat dan sekejab, ia benar-benar berubah total. Begitulah ia dapat muncul tiba-tiba, dan ketika itulah kita baru mampu terbang. Jadi untuk menikah, cinta itu prasyarat utama. Singkat kata perdebatan antara aku dan ibu tak pernah rampung hingga saat ini. Si kupu-kupu belum mau hinggap alias menclok di atas pohon jati.

 

Dapatkah dua pandangan ini disatukan? Benarkah cinta itu perlu ditumbuhkan, ataukah memang ia akan muncul pada saat yang tak terduga? Tapi yang jelas, Bang Haji Roma Irama benar saat berdendang, “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga.”

 

GBU

 

 

 

noni's picture

Bu Guru, aq jadi tersipu-sipu...

Jesus loves Us
__________________

clara_anita's picture

@mbak noni: he... he....

Gimana bu? tuh PRny sudah digarap :) komennya singkat sekali, tapi benar Jesus loves us, and HIS love is above anything else in the world :) GBU
noni's picture

Kok ilang?

Jesus loves Us
__________________

lockdown's picture

yang ini yang itu yang anu yang .......

Mana yang betul? Cinta yang membuat dua insan memiliki pernikahan yang langgeng, ataukah pernikahan yang menumbuhkan cinta? Dua pandangan yang bertentangan namun menarik untuk disandingkan. Adakah cinta itu seperti kepompong yang dengan cepatnya berubah menjadi kupu-kupu? Ataukah ia layaknya biji jati yang lambat laun tumbuh menjadi pohon yang kokoh.

 

cinta ? .. apakah itu definisi cinta ?

kasih ?..  apakah definisi kasih ?

nafsu ? apakah definisi nafsu ?

persahabatan ? apakah definisi persahabatan ?

hehe hehehe aku jadi ikut sedih dengan kondisi sahabat mbak anita itu...., tapi kadangkala memang kita sebagai mahluk sosial kita akan sering terbentur  dengan banyak paradigma mengenai nilai-nilai tentang cinta, pernikahan, persahabatan. apalagi perbedaan paradigma antar generasi. Hingga PSP jaman dahulu mengeluarkan lagu cubit-cunitan yang sedikit syairnya berkata " ...genit-genit gadis sekarang kalau dicubit katanya sayang...." coba jaman tahun 60 an kita coba cubit-cubitan ama cewek apa cowok kita....wah bisa- bisa langsung dinikahkan tuh ....hehehehehe kayak Emak gue tuh nasibnya .... hua hahahaha [tapi gue sayang beliau].

Inilah generation gap, sebuah gap / jarak yang karena perbedaan perkembangan kultural menjadi banyak muncul konflik antar generasi tua dan muda. Jaman dahulu "witing tresno jalaran soko kulino ..." mungkin bisa diadopsi dan diterima dengan baik untuk generasi yang terlahir ditahun 60 an, tepai lihatlah ...perkembangan, sepertinya butuh komitmen lebih untuk bisa mengadopsi itu kedalam generasi zaman ini. pernikahan makin pendek umurnya, pacaran makin cepet umurnya ........, dan banyak orang juga makin cepet umurnya karena pada banyak yang patah hati, dan hidup dengan luka dihati [apa lagi bunuh diri,..lebih cepet tuh].

Hemmmmm disini saya tidak memberi komentar ....tetapi ikut nimbrung bingung mbak Anita ......bolahkan ? ya ..... ya ...ya

rahseto's picture

kacian tuch

clara kisahmu seperti kisah kehidupan percintaan teman kantorku, kayaknya mirip-mirip ma ceritamu lho.

jaman sekarang ternyata masih ada orang yang suka mbingungi cari pasangan hidup. hehehehehe. wajar sich emang karena untu beberapa generasi kebelakang yang masih hidup sekarang ini pandangannya berbeda dengan pandangan kita saat ini.

dulu saya juga doyak-oyak (dikejar-kejar) untuk menikah. katannya sich kascian pasanganku karena umur kami udah sama2 tuwa. rasanya jengkel buanget sich, itu kan terserah kami, masa depan kami, kami juga yang urus, ngapa kalian ribut sich (pikirku).

setahun kemudian kami akhirnya plan untuk menikah dan menikahlah kami.

setelah menikah kemudian muncul lagi kata para ortu yang dulu.

ternyata mereka punya perhitungan.

sebagai contoh: apabila kita menikah umur 28 dan kemudian punya anak pada umur yang sama maka anak kita (diasumsikan) akan selesai kuliah pada umur 22 tahun ketika umur kita menginjak 50 tahun.

bila selang anak pertama dan kedua adalah 2 tahun, maka anak kedua (diasumsikan) akan selesai kuliah pada umur 22 tahun pada usia kita menginjak 52 tahun. dst

mengingat umur produktif seseorang sektar 55 tahun(pegawai, tdk termasuk pengusaha dan yang berlimpah harta) maka mungkin umur patut diperhitungkan.

hehehehehe td hanya sebagian kecil (mungkin) pertombangan orang tua.

btw, umurnya clara blm terlalu terlambat untu tidak berpikir tentang pernikahan kok. "

ojo kesusu mbak"