Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
PDT EME-4 – PEJUANG PANTANG BERHENTI BERPERANG
Karena anggota gereja Sekaran yang tinggal di dusun Ndelik jarang datang, Bpk Soemardiyono melakukan jemput bola. Minggu sore dia bersepeda ke sana mengumpulkan mereka bersekutu dalam doa dan pembacaan Firman. Tuan rumah berganti-ganti dan anggotanya makin bertambah sehingga terpikir oleh Pak Mar untuk memiliki tempat bersekutu yang tetap. Dusun ini betul-betul ‘ndelik’ (tersembunyi) karena terpencil di tepi hutan jati. Dengan uang tabungan istrinya dia membeli sepetak kecil tanah di sana. Tidak mahal kok. Lalu dari mana biaya pembangunannya?
Dengan bersepeda beberapa hari dia berkeliling kota Semarang mengunjungi kenalan-kenalannya. Selama menjadi tukang cat di Semarang dengan menunjukkan etos kerja yang baik dan ‘unggah-ungguh’nya dia dikenal oleh para pemilik rumah di mana dia pernah bekerja dan pemborong bangunan. Kepada mereka dia bercerita tentang keinginannya mendirikan sebuah bangunan di dusun Ndelik dan menanyakan kalau ada sisa-sisa material, entah pasir, semen atau batu bata yang bisa dimanfaatkannya.
Sinder (penjaga hutan) di Ndelik ternyata bekas teman sekolahnya dulu. Dia bilang butuh kayu. Temannya berkata, “Ambil saja di hutan asal jangan kayu jati supaya kamu tidak ditangkap polisi.” Maka Pak Mar mengutus beberapa anggota persekutuannya yg pekerjaannya pencari kayu (kata pencari boleh diapit tanda kutip) untuk masuk hutan.
“Pak Mar, saya pernah mengunjungi Gereja Ndelik dan saya lihat kayu-kayunya bagus sekali seperti jati.”
“Itu bukan jati. Saya mematuhi wanti-wanti sinder. Jadi saya suruh orang-orang saya mencari pohon mahoni dan menebangnya.”
Ha ha ha ha, pintar juga mantan pak guru ini.
Lima tahun setelah berdiri Gereja Sekaran, berdirilah Gereja Ndelik di tahun 1973. Tetapi dia belum puas. Dia melihat “mahasiswa week-end” yang dikirim oleh Seminari Simongan hanya pintar memaparkan teori tapi tak mampu menjabarkannya dalam kehidupan sehari-hari. Maka berangkatlah dia ke seminari itu untuk menjadi mahasiswa teologi. Kedua gereja itu diserahkan kepada sinode yang menaungi seminari itu sehingga memungkinkan penempatan pendeta permanen di gereja-gereja itu.
“Pasti sewaktu Pak Mar jadi kernet tukang batu dan tukang cat di Semarang tidak terpikir itu kelak akan memberi andil berdirinya sebuah gereja,” kataku.
“Betul. Begitu juga ketika merintis gereja di Dadimulyo ini. Di belakang sebuah rumah ada sepetak tanah tegalan dijual. Saya bilang kepada pemiliknya ‘saya mau membelinya’ padahal saya tak punya uang. Lalu saya berkeliling kota Semarang. Tidak ada ruginya berendah hati dalam bergaul karena itu akan membuat banyak orang menjadi sahabat. Apalagi proyek saya jelas perhitungannya dan boleh diperiksa. Uang terkumpul dan saya bisa membeli tanah itu. Tetapi kemudian baru saya sadar bila pemilik tanah di kanan kirinya mendirikan bangunan, kapling saya terkepung. Maka saya meminta seorang teman membujuk nenek pemilik rumah di depannya untuk menjual rumahnya kepada saya. Setelah harga cocok, kembali saya berkeliling mencari dana. Beberapa hari setelah transaksi nenek ini meninggal dunia. Duh Gusti, kalau saja saya terlambat dan rumah itu sudah diwariskan kepada anaknya yang entah tinggal di mana, saya tidak bisa mendirikan gereja di sini.”
Gereja Dadimulyo berdiri pada tahun 1982 dan Pak Mar yang sudah lulus sekolah teologi ditahbiskan menjadi pendetanya. Targetnya sederhana sekali (‘sederhana’ menurut dia): membawa setiap orang yang tinggal sekampung dengannya menyembah Allah yg sama.
Aku melihat wajah Pak Mar diselimuti kebahagiaan usai bercerita. 3 gereja telah didirikannya, 3 dari 8 anaknya menjadi pendeta. Sekarang dia hidup berdua dengan istrinya, berkecukupan dan tubuhnya segar sehat. Sekarang tiba giliranku.
“Pak Mar, suatu hari Kaleb menghadap Yosua dan berkata, ‘Hari ini 85 tahun usiaku tetapi aku masih kuat seperti ketika Musa masih hidup. Berilah aku kesempatan untuk berperang kembali.’”
“Delapan puluh empat tahun usia Pak Mar sekarang. Sewaktu saya belum ketemu Bpk, saya pikir akan melihat orang tua yang terbaring di tempat tidur tanpa daya karena keropos tulang atau kena setruk. Tetapi yang saya lihat sangat berbeda. Saya tidak tahu untuk apa Tuhan memberkati Bpk dengan tubuh sehat seperti ini. Tetapi apakah Bpk tidak rindu berkata kepada Tuhan, ‘Berilah aku kesempatan unt berperang kembali’?”
“Awal Agustus dari Pdt Puji yang dulu melayani Gereja Ndelik saya mendapat nomor hapenya Pak Steven penggantinya. Selama 3 hari 3 kali saya meneleponnya tetapi tidak diangkat. Sms yang saya kirim tidak dijawab. Dua tahun yang lalu dia dipindah dari kota besar Bandung ke dusun yg ‘ndelik’. Tahun lalu dia menikah. Bagaimanakah bila – misalnya – ada anggota gerejanya yang mendadak kena muntaber dan perlu pertolongannya? Apakah dia harus mati hanya gara-gara tidak punya uang 50 ribu untuk menyewa angkot ke rumah sakit? Kapan terakhir Bpk bertanya kepada gereja ini berapa jumlah anggotanya sekarang?”
“Bpk tadi bilang seorang yang baru terima Yesus harus tetap didampingi agar dia makin mengenal Yesus dan tahu cara menaati Firman-Nya. Apakah menurut Pak Mar Pdt Lukas di gereja Dadimulyo ini tidak perlu pendamping? Dia bilang kepada saya anggota gereja di sini hidup berkekurangan sehingga tidak bisa memberi persembahan yang layak. Sewaktu saya ingin melihat catatan keuangan gerejanya dia bilang laporan dikirim lewat sms. Sekarang di atas meja di depan saya Pak Mar menggelar arsip warta gereja yang mencantumkan jumlah persembahan setiap Minggu. Di luar persembahan pembangunan, sekilas saya bisa menghitung uang masuk rata-rata 500 rb setiap Minggu, atau 2 juta sebulannya. Inikah yang dia sebut kekurangan? Gereja ini tidak kekurangan uang, tetapi kekurangan semangat.”
“Minggu depan gereja ini menjadi tuan rumah persekutuan bulanan para pendeta pedesaan dan tadi Ibu bercerita Pak Pendeta datang minta bantuan. Ibu menyanggupi memberi 5 kilo beras dan sekilo gula pasir. Padahal bulan lalu Ibu menyerahkan semua penghasilannya sebagai bidan desa sebanyak 300 ribu. Mengapa dia tidak mengambil dari honornya sendiri? Untuk merenovasi bagian belakang gereja mengapa dia tidak berkeliling kota Semarang seperti Pak Mar dulu? Walau 18 tahun dia di pelosok Sumatera, dia lahir di Semarang, bersekolah di Seminari Simongan, dia bukan orang asing di kota ini. Bpk mewariskan kepadanya gedung gereja dan anggota jemaatnya, tetapi Bpk belum mewariskan semangat ber-Amanat Agung.”
“Apakah Bpk bisa mematikan perasaan melihat anggota gereja ini ‘mreteli’ satu persatu dengan berpendapat ‘gereja ini bukan tanggung jawab saya lagi’? Apakah Bpk mampu bertega hati? Saya tidak akan mengirim donasi ke gereja ini dan gereja Ndelik. Saya akan mengirimnya kepada Pendeta Emeritus Soemardiyono untuk dipergunakan menunjang kegiatan kespel gereja Sekaran, Ndelik dan Dadimulyo yang berdiri karena kiprah seorang Soemardiyono – pejuang iman yang pantang berhenti berperang. Tak tahu saya apakah gelar emeritus berarti pensiun baginya.”
Aku melihat air menggenang di kedua bola matanya. Punggung tangannya mengusap mata. Jan purnomo gemblung dan sok tenan. Pendeta sepuh dikotbahi.
Suaranya terdengar lemah ketika bertanya, -
“Kepada siapa saya harus mempertanggungjawabkan uang itu?”
“Pertama-tama, kepada Tuhan. Kedua, tidak harus kok, kepada saya. Bapak catat jumlah penerimaan dan rincian pengeluarannya.”
“Seandainya kita bertemu jauh-jauh hari . . . . . . Dulu ada 2 pos yang gagal saya jadikan gereja karena masalah dana.”
“Mengapa tidak dimulai lagi? Saya bantu ‘ngerneti’ Bpk. Bapak yang bawa Alkitab saya yang bawa gitar.”
Dia tertawa. Aku senang wajahnya kembali sumringah.
(Sabtu 29.08.2015)
(end of note)
** nama orang dan kelurahan disamarkan.
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 3031 reads