Sewaktu masih anak-anak, kami gemar sekali mengganggu anjing galak milik orang kaya. Anjing ini dikurung dalam pagar yang diselimuti kawat ram sehingga tembus pandang. Anak-anak biasanya menyambit anjing yang sedang santai tiduran dengan kerikil. Merasa terusik, anjing menjadi murka dan menyalaki anak-anak yang pengganggunya. Anak-anak tertawa senang. Kami lalu membalasnya dengan menirukan gonggongannya. Anjing ini semakin sewot karena tidak bisa membalas perbuatan iseng kami. Dia hanya bisa menggonggong yang lebih keras sehingga mengusik majikannya. Ketika sang majikan menampakkan wajah terganggunya, maka kami segera kabur sambil tertawa karena sekali lagi berhasil mengerjai anjing galak [dan pemiliknya].
Dalam banyak hal, orang yang bersikap reaktif itu seperti anjing yang diganggu oleh anak-anak. Orang yang reaktif akan serta merta merespon rangsangan yang datang kepadanya. Ketika ada orang yang menyinggung dirinya, dengan segera dia akan melakukan aksi balasan. Ketika melakukan kesalahan, dia segera mencari cara untuk membenarkan tindakannya. Ketika ada yang mengusik kenyamanan hidupnya, dia akan segera melakukan aksi balas dendam. Ketika ada orang yang melecehkan sosok yang dihormatinya, maka dia segera beraksi untuk membuat jera si pelaku.
Orang yang bersikap reaktif sesungguhnya tidak dapat hidup dengan tenteram karena hidupnya dikendalikan oleh faktor di luar dirinya. Dia ibarat pesawat televisi yang menyerahkan remote control pada pihak lain. Suasana batinnya dikendalikan sepenuhnya oleh pemegang remote control. Hal itu seperti yang kami lakukan terhadap anjing itu. Suasana batinnya sepenuhnya tergantung pada kami. Ada kalanya kami mengusik dia saat dia sedang enak-enakan ngorok. Ada kalanya, kami berlalu saja melewati kandangnya ketika sedang berjaga.
Orang yang reaktif dapat juga diibaratkan dengan kaleng minuman soda. Jika ada orang yang menggucang-guncangkannya, maka secara spontan dia akan muncrat dan berbuih. Seumpama air, dia mudah sekali mencapai titik didihnya. Seperti apakah ciri-ciri orang yang reaktif? Menurut
situs Rodsemith ciri-ciri orang yang reaktif adalah:
- Terburu-buru dalam mengambil tindakan. Seperti petasan yang bersumbu pendek.
- Mengejar-ngejar orang lain untuk membereskan persoalannya.
- Bersikap subjektif dan sangat melindungi diri.
- Kabur ke arah yang lain
- Mudah tersinggung, jengkel dan marah.
- Kurang memiliki rasa humor atau menganggap humor itu membuang waktu dan tenaga saja.
- Mencari dukungan pihak lain.
- Berkata, "ada orang yang menuduhku………”
- Bertindak berlebihan [melebihi tanggungjawabnya] atau menghindar dari tanggungjawab.
- Suka menggurui dan berharap orang lain menjadi pengikutnya.
- Merebut tanggungjawab yang menjadi porsi orang lain.
- Gampang kagetan dan merasa tak bersalah meski telah menyebabkan kekacauan besar.
- Pendendam
- Menyingkirkan orang yang menghalangi langkahnya.
- Pemahamannya hanya sebatas bagaimana cara membela diri.
- Selalu merasa terancam.
- Merasa bertanggungjawab untuk melindungi orang lain.
- Merasa benar sendiri.
Alternatif yang tersedia sebagai pengganti sikap reaktif adalah sikap proaktif [ada juga yang menamakannya sikap responsive]. Orang yang bersikap proaktif cenderung tidak terburu-buru melakukan tindakan atas situasi tertentu. Dia menganalisis situasi, kemudian mempertimbangkan pilihan-pilihan yang tersedia. Kata kuncinya di sini adalah "pilihan." Setiap manusia diberi otoritas oleh Allah untuk melakukan pilihan-pilihan dalam hidupnya. Orang yang proaktif akan melakukan tindakan berdasarkan pilihan yang bijak. Sebagai contoh begini: Saat mengalami pemadaman listrik pada malam hari, maka orang yang reaktif akan mengomel-ngomel pada PLN. Sementara itu, orang yang proaktif segera mencari lilin dan menyalakannya. Dia akan mengomel-omel keesokan harinya dengan memberikan komplain kepada PLN.
Stephen Covey melukiskan kehidupan kita terdiri dari dua lingkaran yang berhimpitan. Lingkaran pertama, adalah lingkaran kecil yang ada di dalam lingkaran yang lebih besar. Lingkaran dalam ini disebut lingkaran pengaruh kita. Lingkaran ini mencakup segala sesuatu yang bisa kita kendalikan. Misalnya diri kita sendiri, sikap kita, pilihan kita, cita-cita kita, kegemaran kita, dan termasuk juga respons kita atas apa pun yang terjadi pada kita. Sementara lingkaran luar yang lebih besar adalah lingkaran
pengaruh. Lingkaran ini meliputi jutaan hal yang menyentuh kehidupan kita, tapi [hampir] tidak bisa kita apa-apakan. Misalnya, udara panas, orang yang memaki kita, suara bising, kekalahan kesebelasan Indonesia, komentar kasar, pengamen yang tidak sopan, biaya kuliah yang mahal, dll. Jika kita selalu memberi reaksi terhadap setiap pengaruh luar ini, maka kita akan menjadi orang yang tertekan, selalu
uring-uringan, sewot, lelah luarbiasa, tapi tidak menghasilkan perubahan apa-apa.
Pilihan yang kedua adalah menangapi dengan tenang, berpikir jernih, lalu menentukan reaksi yang paling tepat. contohnya, ketika mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari awak bis kota, maka saya berusaha mengendalikan emosi, mencatat nomor polisi bus tersebut, nomor registrasi, waktu kejadian, kemudian menuliskan keluhan pada Surat Pembaca. Dengan melakukan ini, saya telah melindungi banyak penumpang lainnya dari ulah awak bis yang bertanggungjawab. Jika saya bertindak reaktif dengan memaki-maki awak bis kota, maka mungkin yang saya dapatkan hanyalah mata kiri yang bengkak.
***
Sikap reaktif tidak sepenuhnya salah. Dalam kasus-kasus yang bersifat darurat dibutuhkan sebuah reaksi cepat. Saya berkecimpung dalam pelayanan kemanusiaan. Jika terjadi sebuah bencana, maka dibutuhkan reaksi yang cepat. Jika masih harus menimbang-nimbang, mengkaji, dan merapatkan tindakan, maka korban akan semakin banyak yang berjatuhan. Semakin cepat reaksi diberikan, maka semakin rendah risiko kerugian/korban.
Meski begitu, dalam hal kebencanaan sebenarnya juga dapat diterapkan sikap yang proaktif. Caranya adalah dengan menyiapkan rencana kontigensi ketika terjadi bencana. Ada berbagai persiapan yang dilakukan ketika tidak terjadi bencana, sehingga ketika bencana terjadi maka tindakan yang dilakukan bisa lebih baik.
Setelah memetik pelajaran dari sikap proaktif ini, sekarang saya merasa lebih tenang. Saya merasa tidak mudah terprovokasi oleh ulah orang lain, tapi juga tidak lantas menjadi orang yang ndablek [super cuek]. Saya menjadi orang yang bertanggungjawab pada diri sendiri.
Saat akan menutup tulisan ini, saya tiba-tiba teringat petuah simbah supaya saya: "Ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh" artinya "Jangan mudah terkejut, jangan mudah takjub, jangan mentang-mentang." Ternyata leluhur kita sudah lebih dulu menemukan kearifan tentang proaktif dibandingkan Stephen Covey.
Disclaimer:
Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung, menyindir atau memfitnah pihak tertentu dalam SS ini. Tulisan ini bersifat umum dan ditujukan pada pembaca umum. Jika terjadi kesamaan tokoh, tempat dan karakter, itu bukan sebuah kesengajaan.
__________________
------------
Communicating good news in good ways
@Wawan, Tulisan Yang Baik
MAs Wawan, tulisan yang baik sekali. Bila ada yang tersinggung karena tulisan ini, itu hanya berarti mereka adalah silahkan klik di sini.
Numpang jualan ya mas Wawan?!
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
@mas pur cocok gak yah?
Kira-kira blog mas wawan sama ayat di bawah ini sesuai gak yah mas?
Amsal 12:16
Bodohlah yang menyatakan sakit hatinyaa seketika itu juga, tetapi bijak, yang mengabaikan cemooh.
Karena kita sungguh berharga bagi-Nya dan Dia mengasihi kita.
@pak purnawan, share reaktif vs proaktif
Membaca tulisan Bapak tentang reaktif dan proaktif membuat saya ingin sedikit share tentang pengalaman saya.
Pertama, selama 'nge-job' di area politik sekitar tahun 2003-2008. Panggung partai politik membuat saya mengenali karakter reaktif ini. Contoh nyatanya: 2 pihak sedang bertarung, masing-masing memiliki pengikut yang berbeda. tetapi memiliki 'ideologi' yang sama namun berlomba menjadi yang paling kuat, berpegang pada AD/ART politik yang sama namun memiliki tafsiran yang berbeda, pada suatu pertemuan debat itu menjalar menuju pertikaian, perebutan pengaruh dalam kepemimpinan, yang akhirnya menjerumuskan organisasi tersebut kepada ancaman perpecahan.
Waktu itu, saya yang sebenarnya tidak menyukai 'pertikaian', terpaksa berada di satu pihak karena 'TUGAS'. Pembelajaran berharganya ada sini: Satu Pihak meskipun 'terlihat lebih baik, benar, dan lurus menurut 'pendapat publik', tetapi sayang mereka terlalu 'reaktif' (sesuai dengan ciri-ciri yang bapak sebutkan diatas). Sedangkan pihak lain sangat proaktif meskipun 'berbeda dengan yang pertama', yaitu dengan 'permainan manis, halus, penuh perhitungan, dan sangat teliti, tidak terburu nafsu, dan emosional (ciri-ciri seperti yang bapak tulis).
Hingga akhirnya pertandingan itu berakhir, dan kemenangan jatuh pada orang yang proaktif.
Permasalahannya bukan terletak pada 'salah-benar', 'kuat-lemah', 'keberuntungan-kemalangan' atau bahkan TUHAN, tetapi pada perhitungan matang 'orang proaktif'. Sungguh pelajaran berharga bagi saya yang masih sangat muda dan mentah dalam karakter.
Kedua, pada tugas-tugas perusahaan. Sikap reaktif sangat berguna bagi saya yang sama sekali tidak bisa memilih 'salah satu jenis tugas/pekerjaan' yang dibebankan. Tuntutan untuk bereaksi cepat, tanggap, namun juga penuh perhitungan sama sekali tidak bisa diabaikan.
Contoh sederhana: Ketika suatu saat saya ditugaskan dalam suatu suatu pertemuan extra besar. Saya hanya menerima pesan singkat,"Semua Peralatan kalian ini berharga ratusan juta, perhatikan sekeliling, ketika suasana memanas, jangan cemas, tetap waspada. Saat orang-orang mulai tak terkendali, dalam hitungan detik bereskan semua peralatan kalian, dan menyingkirlah dari sana secepatnya". Dan kondisi itu ternyata benar-benar
terjadi. Jika saya tidak 'reaktif' saat itu dan mengabaikan peringatan yang telah dipesankan, maka perusahaan akan menanggung kerugian ratusan juta. Di kemudian hari pada tugas-tugas selanjutnya, ada atau tidak ada peringatan, saya memilih untuk bersikap 'reaktif' karena adanya tanggung jawab yang saya pikul.
Belajar dari berbagai hal yang 'terpaksa' saya hadapi akhirnya merumuskan bahwa reaktif yang perlu bagi saya yakni: tidak gegabah, cepat, tanggap, bijaksana, penuh perhitungan dan juga berani bertanggung jawab.
Namun sejujurnya rumusan tersebut susah berlaku jika bertabrakan kondisi emosi besar yang bisa muncul begitu saja dari luar maupun dari dalam diri sendiri. Terlebih bagi perempuan seperti saya yang emosinya kadang terpengaruh oleh faktor hormonal. Jika itu terjadi maka biasanya saya memilih untuk menyingkir sementara waktu (meskipun bagi beberapa orang itu seperti tindakan pengecut), supaya aksi 'reaktif' saya tidak menimbulkan kerusakan besar pada diri saya sendiri maupun 'melukai'orang lain, dan kembali ketika pikiran dan hati saya sudah jernih.
Sekian sedikit pengalaman saya..
assion for Christ, compassion for the lost
@ All: Pamit ke Bali
@ Hai Hai, silakan ikutan buka lapak di sini. Tapi retribusinya bayar sendiri ya.
@ Sandi: Cocok. Ternyata Salomo juga memiliki kearifan tentang sikap proaktif ini. Jangan-jangan Stephen Covey terinspirasi dari Salomo.
@ Mbak Iik: Luar biasa! Mbak Iik punya kehidupan yang dinamis. Seperti kata mbak Iik. tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Itu tergantung pada situasi dan konteksnya. Sikap reaktif akan bermanfaat jika dilakukan pada saat dan tempat yang tepat.
Ada sosok berpengaruh di negeri ini yang justru terkesan lamban ketika harus berikap reaktif. Namun ada kalanya dia malah bersikap reaktif terhadap isu-isu miring yang merusak pencitraan dirinya. Siapa dia? Namanya "You Don't Know"
Untuk sementara saya pamit dulu. Mau liburan ke Bali, 7-11 Januari. Semoga bisa kopdar dengan M23 dan yang lainnya.
------------
Communicating good news in good ways
@Mas Wawan, Met Liburan
Mas wawan selamat berlibur. Salam untuk M23.
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
ada
ada waktunya reaktif, ada waktunya proaktif,
segal sesuatu indah pada waktunya...
___________________________
giVe tHank’s wiTh gReaTfull heArt
www.antisehat.com