Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
NONPROLETISI
Beberapa hari setelah gempa bumi mengguncang Jawa Tengah [27 Mei 2006] beredar SMS di kalangan orang Kristen. Kira-kira bunyinya begini: “Benteng Yeriko telah runtuh. Ini saatnya kita mengabarkan keselamatan di lokasi bencana.” SMS ini bukan rumor, karena setelah itu saya menyaksikan aksi-aksi sekelompok orang Kristen yang menyebalkan dan justru mengganggu pekerjaan kemanusiaan. Bagaimana tidak, mereka diam-diam menyelipkan lembar-lembar traktat pada paket-paket bantuan yang akan disalurkan kepada korban gempa bumi. Kami sempat menemukan lembaran-lembaran seperti ini di lokasi bencana. Tindakan seperti ini ternyata melanggar prinsip “nonproletisi.”
Saya yakin banyak orang yang belum memahami kata “nonproletisi”. Saya pun baru mengenal kata ini setelah membaca Undang-undang no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 3, disebutkan bahwa salah satu prinsip dalam penanggulangan bencana adalah ‘nonproletisi’ [butir i]. Apa maksudnya? Menurut bagian penjelasan UU dimaksud yang nonproletisi adalah larangan untuk menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana. Hal yang sama dirumuskan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi empat. Dalam kamus ini “proletisi” dirumuskan sebagai “pemberian sumbangan dengan menyebarluaskan agama atau keyakinan pemberi sumbangan.”
Mengapa prinsip ini dimasukkan ke dalam UU? Saya tidak tahu alasan pastinya. Namun saya menduga ini berkaitan dengan posisi yang tidak setara antara pemberi dan penerima sumbangan. Dalam situasi bencana, penyintas [orang yang selamat dari bencana], berada dalam posisi yang sangat rentan. Daya tawarnya sangat lemah karena sedang membutuhkan uluran tangan. Sedangkan pemberi sumbangan berada pada posisi yang sangat kuat. Dia bisa bebas menentukan kepada siapa akan mengucurkan bantuan dan seberapa banyak akan diberikan. Begitu kuatnya posisi ini sehingga kita seolah-olah dapat berperan sebagai tuhan. Bayangkan, kita dapat menentukan nasib seseorang dengan keputusan kita. Apalagi jika hal itu menyangkut persoalan hidup atau mati.
Meski tidak seekstrim paparan di atas, pengalaman ketika menjadi relawan menunjukkan bahwa godaan untuk menjadi superior itu sangat kuat. Kami bisa merasa sangat berkuasa di hadapan penyintas. Situasi seperti ini mudah sekali dimanipulasi untuk kepentingan si pemberi bantuan. Si pemberi bantuan punya posisi kuat untuk menerapkan syarat atau kondisi tertentu yang harus dipenuhi si calon penerima bantuan. “Saya akan member kamu bantuan jika kamu……..” Isilah sendiri titik-titik itu dengan berbagai tuntutan yang harus dipenuhi. Salah satunya, dapat menyangkut keimanan dan keyakinan seseorang. Bukan hal yang mustahil jika bantuan ini dikait-kaitkan dengan upaya untuk penyebaran.
Penyebaran agama itu bukan sesuatu yang buruk. Hampir semua agama mengajarkan supaya pemeluknya menyebarkan ajarannya kepada orang lain. Bukankah ini hal yang baik? Jika seseorang menemukan sesuatu yang baik dari suatu ajaran, maka tak ada salahnya jika dia memberitahukannya kepada orang lain. Bahkan semut saja rela mengabarkan berita baik kepada teman-temannya. Ketika dia menemukan sumber makanan, maka dia akan memberitahukan lokasi pangan itu pada rekan-rekan satu koloni yang ditemuinya di sepanjang jalan. Hal yang sama juga berlaku pada penyebaran agama.
Yang menjadi masalah adalah jika penyebaran agama itu dilakukan secara manipulatif. Dalam kondisi normal, perpindahan keyakinan sesungguhnya adalah hak setiap orang sepanjang hal itu dilakukan dengan kesadaran dan keralaan orang itu sendiri. Namun dalam situasi darurat, ada kemungkinan orang ‘terpaksa’ meninggalkan keyakinannya yang lama karena iming-iming bantuan. Ini seperti Esau yang menyerahkan hak kesulungannya kepada Yakub demi semangkok sup kacang merah.
Kesadaran seperti ini perlu dimiliki oleh setiap orang-orang beriman yang berkecimpung di pelayanan kemanusiaan. Bantuan yang diberikan hendaknya diberikan dengan tulus tanpa ada agenda yang tersembunyi. Seorang Guru di Palestina mengajarkan “hendaklah tanganmu yang kiri tidak tahu apa yang diperbuat oleh tangan kananmu.” Itu artinya, kalau hendak menolong, maka tolonglah dengan sebenar-benarnya. Bukan supaya dilihat bahwa engkau adalah orang yang beriman atau orang yang saleh. Biarlah Dia ada yang ada di tempat tersembunyi mengetahui perbuatan baik yang engkau lakukan.
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 7587 reads
Punya pengalaman juga nih
Salam kenal pak Pur... ketika masih kuliah, saya sama teman2 sepelayanan punya pengalaman juga nih.. pas valentine, kita urunan beli makanan kotakan, terus kita selipin traktat, terus kita bagi-bagi ke pengamen, anak jalanan, tukang sampah, or siapapun yang kita ketemu di jalan yang bisa dikatakan "membutuhkan". apa itu juga melanggar berarti ya pak?? bukahkah kita tidak memaksa? jadi keputusan untuk percaya atau tidak ya ada ditangan mereka.. kita hanya memberi kesempatan..
Jesus Bless U
Akhung Berithel
Kita tidak bisa selalu memiliki apa yang kita sukai, tapi kita bisa belajar menyukai dan mensyukuri apa yang kita miliki
Kita tidak bisa selalu memiliki apa yang kita sukai, tapi kita bisa belajar menyukai dan mensyukuri apa yang kita miliki
hei...sahabat lama... AKHUNG....
TUHAN Maha Baik...ada transfer Rp. 500 ribu untuk disalurkan ke sahabat tertimpa bencana Gempa, kita kirim ya ke saudaraku AKHUNG.
Thank You.
Membaca ALKITAB Mudah, mengaplikasikannya; membutuhkan Roh Kudus.
Tangan Kiri Tangan Kanan... yang mana? KLEWER PATI tidak setuju
Bung Akhung...
Ngga FAIR..bisa-bisa; tanda kasih di putar balikkan... (wallahu alam)
Syalom! Francos Tomasoa
Membaca ALKITAB Mudah, mengaplikasikannya; membutuhkan Roh Kudus.
@Purnawan : bingung, nih..........!!!!! @ akhung menjebak tuh...
@ purnawan
Kalau kita beli makanan dan minuman pasti ada mereknya............
Pertanyaannya :
Kalau ada yang memberi bantuan pada anda tanpa tahu siapa yang memberi, bagaimana sikap anda....????
Saya harap anda bukan orang yang asal terima kan....???
Kalau anda memberi bantuan melalui suatu badan dan itu dikorupsi badan tersebut bagaimana sikap anda....???
Kalau anda memberi tanpa melalui badan dan tanpa bawa merek, bagaimana menurut anda tanggapan mereka....
Apakah toh mereka tidak menanyakan darimana asalnya..??
Lalu apa tanggapan anda saat ditanya demikian...???
@ akhung
Salam kenal pak Pur... ketika masih kuliah, saya sama teman2 sepelayanan punya pengalaman juga nih.. pas valentine, kita urunan beli makanan kotakan, terus kita selipin traktat, terus kita bagi-bagi ke pengamen, anak jalanan, tukang sampah, or siapapun yang kita ketemu di jalan yang bisa dikatakan "membutuhkan". apa itu juga melanggar berarti ya pak?? bukahkah kita tidak memaksa? jadi keputusan untuk percaya atau tidak ya ada ditangan mereka.. kita hanya memberi kesempatan.
Pertanyaan yang menjebak, tuh.......!
Ganti pertanyaan yang lain, Lah....!!!
he.... he............ he........
Masih belajar............
Bila salah tolong diperbaiki.......
Bila melenceng tolong ditegur...
God Bless Us...
@HASLAN: FITNAH!!!
salam kenal brow.. gue nanya sungguhan itu.. ga bermaksud menjebak loh.. hehe
Jesus Bless U
Akhung Berithel
Kita tidak bisa selalu memiliki apa yang kita sukai, tapi kita bisa belajar menyukai dan mensyukuri apa yang kita miliki
Kita tidak bisa selalu memiliki apa yang kita sukai, tapi kita bisa belajar menyukai dan mensyukuri apa yang kita miliki
urusan pribadi
ada satu quote: kita baru bisa berfilsafat setelah perut kita isi
jadi, kalo diubah menjadi: mau perut isi? terimalah filsafat (dalam hal ini: ajaran agama) ini dulu.
menurut saya kok hasilnya hanyalah penganut baru yang sekadar ikut-ikutan (selain masalah tuduhan isasi isasi tadi), yang tidak mengenal ajaran yang kemudian diyakininya. akibatnya, mereka bisa jadi penganut yg ngawur.
secara pribadi, saya rasa idealnya, di masyarakat dengan sejarah dan budaya seperti indonesia ini, urusan agama dipandang sebagai urusan pribadi..
Don't Swallow the Press
Mungkinkah?
Bantuan yang diberikan hendaknya diberikan dengan tulus tanpa ada agenda yang tersembunyi.
jadi ingat sekolah "memberi" milik Purnomo yang
Seseram inikah proletisi kita?
Saya mendukung nonproletisi dalam arti pemberian sumbangan tidak untuk menyebarkan agama/keyakinan si pemberi. Dan itu saya lakukan di Sekolah Gratis (lihat serial Sekolah Gratis yang diawali dengan Anda mau sekolah gratis? ) yang saat ini telah berhasil menggratisi seluruh murid kelas 6 dan 5 tanpa memandang apa keyakinan si penerima bantuan. Setelah anak-anak membayar SPP, mereka pergi ke rumah para Penyalur Santunan untuk mendapat gantinya. Dari 4 penyalur santunan, 3 di antaranya adalah Kristen sedangkan yang seorang bukan Kristen tetapi para tetangganya tahu ia bekerja di sebuah yayasan Kristen. Suka atau tidak, pasti orangtua murid tahu dana ini berasal dari orang Kristen. Apakah ini proletisi? Menurut saya, tidak! Karena setiap murid mendapat perlakuan yang sama.
Buat Akhung dan
Buat Akhung dan Purnomo:
Saya kutipkan lagi tentang apa yang dimaksud nonproletisi yaitu "larangan untuk menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat bencana."
dengan membaca ulang rumusan di atas, kita dapat menarik dua kondisi, dimana ketentuan itu berlaku:
1. Tidak disebutkan adanya klausul "pemaksaan" atau tidak. Jadi entah itu dengan pemaksaan atau tidak, kita jelas dilarang menyebarkan agama pada saat keadaan darurat. Kalau saya memakai frasa: “Saya akan memberi kamu bantuan jika kamu……..” itu semata-mata untuk memberi contoh yang ekstrem. Pada kenyataannya, meskipun tidak diberikan dengan pemaksaan, nyatanya masih ada gereja yang memiliki motif "udang di balik batu" pada bantuan yang diberikan. Menurut saya ini adalah bantuan yang tidak tulus. Ini justru akan berdampak negatif untuk strategi jangka panjang.
2. Klausul ini berlaku pada "keadaan darurat" atau "bencana". Nah, jika gereja-gereja akan memberikan nasi bungkus pada orang miskin di luar kebencanaan, lalu diselipi traktat-traktat, ya silakan saja. Namun izinkan saya merasa prihatin pada gereja semacam ini karena kurang kreatif dalam pekabaran Injil.
------------
Communicating good news in good ways