Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kasus Gayus Tambunan, begitu rumitkah?

mujizat's picture
Kasus korupsi seperti Gayus Tambunan dan sederetan nama lain, sepertinya butuh waktu yang bertele-tele, sampai-sampai Muji agak mual setiap kali lihat TV, beritanya itu-itu juga. Apakah memang menjadi budaya di Indonesia, bahwa hal yang sederhana musti dibuat rumit, sehingga menjadi issue-issue berkepanjangan? Seorang teman Muji pernah berujar: "Kalau memang bisa dibikin rumit, kenapa harus disederhanakan?
 
 
Sebenarnya Kitab Suci sudah jelas memberikan solusi untuk kasus-kasus pencurian, yang salah satunya adalah kasus korupsi. Pasalnya jelas, gini nih:
 
Keluaran 22:1,4
1  "Apabila seseorang mencuri seekor lembu atau seekor domba dan membantainya atau menjualnya, maka ia harus membayar gantinya, yakni lima ekor lembu ganti lembu itu dan empat ekor domba ganti domba itu.

 
4  Jika yang dicurinya itu masih terdapat padanya dalam keadaan hidup, baik lembu, keledai atau domba, maka ia harus membayar ganti kerugian dua kali lipat.
 
Sederhana khan?
 
Menurut Muji, seperti contoh kasus Gayus, tinggal buktikan bahwa dia nyolong atau korupsi. Jika semua uang yang dia curi masih utuh, dia harus mengembalikan DUA KALI lipat. Tapi kalau sudah tidak utuh, kembalikan EMPAT KALI lipat.
 
Jika pegawai negeri seperti Gayus dengan masa kerja sekian tahun, tentu tidak sulit memperkirakan kekayaan dia yang secara wajar, atau kalaupun ada tanah / rumah warisan misalnya, tentunya tidak sulit menaksir kekayaan wajarnya.
 
Nah, kalau misalnya kekayaan wajar Gayus, taruhlah Rp. 3 Milyar, lalu kalau uang yang dia colong sebesar Rp 500 Milyar, maka secara wajar dia tidak mungkin dapat mengembalikan berikut dendanya, yang totalnya sebesar
 
4 x Rp 500 M = 2 Trilliun
 
artinya: Gayus dan keluarganya harus SIAP MISKIN !! dan Gayus harus mendekan di penjara sampai hutangnya lunas, artinya: penjara seumur hidup, atau dijual (seperti daging kiloan?) Ini dasar ayatnya:
 
Ulangan 22:3
 
"....Pencuri itu harus membayar ganti kerugian sepenuhnya; jika ia orang yang tak punya, ia harus dijual ganti apa yang dicurinya itu."
 
Bagaimana dengan nasib keluarganya yang "tidak berdosa" ?
 
Kita lihat kasus Akhan yang mencuri barang yang dilarang Tuhan. Yang mencuri Akhan (baca=kepala rumah tangga) , tetapi seisi rumahnya kena getahnya (Yosua pasal 7).
 
Begitupun dengan keluarga Gayus. Dalam hal itu, Gayus adalah pemegang otoritas atas keluarganya,.............................
 
Namun tidak gampang menerapkan Taurat dalam tata hukum negara kita yang notabene belum sepenuhnya mengenal Taurat.
 
Kalau Gayus minus, dengan apa dia dapat membayar tim Pembela yang serombongan itu???????
 
Hmm,...
 
Tapi mungkin saja justru beberapa gelintir oknum menganggap Gayus sebagai lahan subur. Makanya, kalau masalah bisa dibikin rumit. mengapa harus disederhanakan?
 
Tetapi benarkah Taurat sudah tidak relevan?
 
Kalau Handai Taulan masih ingat kisah pertobatan Zakheus, tentu masih ingat ucapan Yesus Kristus setelah Beliau mendengar perkataan Zakheus yang kira-kira begini:
 
"Aku akan mengembalikan empat kali lipat jika sekiranya ada orang yang kurampas / kuperas"
 
Yaitu bahwa pertobatan pemungut cukai itu dibarengi tindakan nyata untuk melakukan retitusi atau pengembalian dari apa yang telah dia rampas, sesuai hukum Taurat, sebesar empat kali lipat.
 
Indonesia, Indonesia, kapan bertobat yah ??
__________________

 Tani Desa

PlainBread's picture

Reformasi vs Revolusi

Justru karena Indonesia mayoritas beragama islam, makanya tidak sedikit kaum muslim yang mau melaksanakan syariah di Indonesia. Kalo mencuri hukumannya bukan saja membayar kembali, tapi juga tangan yang dipake untuk mencuri juga dipotong. Bahkan kalo keterlaluan mencurinya, idenya bukan saja tangannya yang dipotong, keluarganya juga ikut dihukum (mati).
 
 
Dulu ketika reformasi '98, menurut saya ada 3 pihak yang sebenarnya bertarung di luar ORBA, yaitu garis kiri, tengah, dan kanan:
 
Garis kiri adalah sosialisme. Mereka ingin revolusi karena selama ORBA nilai2 sosialisme yang berpihak kepada rakyat diberangus habis2an.
 
Garis tengah adalah nasionalisme moderat, yang tidak ingin revolusi, takut kalo kejadian pembunuhan massal a la 1965 terjadi lagi.
 
Garis kanan adalah golongan agama garis keras (dalam hal ini Islam, walaupun kristen juga tidak tertutup kemungkinan). Golongan ini juga sebenarnya ingin revolusi seperti garis kiri, tapi dengan cara akidah dan syariah. Artinya negara Indonesia harus menjadi negara yang berpedoman pada agama. Salah satu solusi KKN adalah dengan melaksanakan aturan2 agama, seperti potong tangan, rajam, cambuk, gantung, dll.
 
Entah kenapa, tiba2 di panggung 'drama' chaos waktu itu, Amien Rais, Gus Dur, Megawati, dan Sultan dipertemukan di Ciganjur. Di situ garis kiri dan garis kanan geleng2 kepala. Nyata bahwa momentum mereka  untuk merebut republik dari tangan2 kotor semakin kecil kemungkinannya. Akhirnya bukan revolusi yang terdengar, melainkan reformasi.
 
Kalo mau reformasi yah seperti ini. Ada perubahan, tapi lambat. Sudah 10 tahun lebih tapi sepertinya masih jalan di tempat. Walaupun begitu, dasar2 perubahan patut dipuji yaitu hasil keputusan MPR bahwa TNI tidak boleh berpolitik, Presiden berkuasa paling lama 10 tahun, adanya MK, dll.
 
Rakyat seharusnya tidak komplen. Kenapa? Karena mereka sendiri yang memilih bahwa mereka menghendaki reformasi daripada revolusi. Padahal kalo mau, revolusi itu bisa berjalan dengan cepat. Semua tokoh2 Golkar dan Orba harus disingkirkan dari pemerintahan, entah dengan cara hidup atau mati. Penjahat2 kemanusiaan bisa dibawa ke alun2 untuk dipancung kepalanya. KKN bisa diberangus dengan cepat. Kekuasaan dikembalikan ke rakyat. Tapi dengan cara ini, sebenarnya juga riskan karena seperti 1965, yang tidak terlibat PKI pun bisa terkena vonis mati. Saudara, teman, tetangga yang kita kenal tiba2 besok tinggal jadi mayat karena dianggap bagian dari Orba. Bayangkan berapa jumlah rakyat yang bekerja untuk ORBA, pasti jumlahnya jutaan. Mungkin lebih banyak jumlahnya daripada rakyat yang pada tahun 1965 dicari dan ditangkapi karena dianggap simpatisan Nasakom atau PKI.
 
Momentum itu sudah hilang. Makanya ketika ada beberapa tokoh di luar pemerintah sekarang ini yang mencoba untuk bikin momentum2 seperti itu lagi dengan cara demo atau bikin berita2 kontra pemerintah di koran2, saya cuma bisa tertawa. Momentum itu susah dapatnya. Jangan harap momentum seperti 1998 bisa dibuat kembali sekarang ini. Salah sendiri kenapa kemaren tahun 98 otak kagak dipake.