Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
gnetum gnemon
"Jangan," kata ibuku sambil menatapku tajam.
"Kenapa?" tanyaku.
"Pokoknya jangan."
Bila kata 'pokoknya' sudah keluar dari mulut ibuku, itu artinya sesuatu yang tidak boleh dibantah oleh siapapun. Kecuali almarhum bapak. Dulu.
Malam harinya aku sengaja keluar di teras. Membawa secangkir seduhan kopi yang baru kubeli siangnya waktu singgah di Banaran. Kunyalakan sebatang Dji Sam Soe. Lalu duduk. Santai. Memandangi sosok pohon tua di sudut depan halaman rumah kami.
Ibu menyusul. Membawakan asbak, diletakkannya di atas meja. Lalu duduk tanpa sepatah katapun. Tepat di sampingku.
Matanya mengikuti pandanganku ke arah yang sama. Pohon tua di sudut depan halaman.
Beberapa saat lamanya kami saling diam. Tiba-tiba udara malam Salatiga terasa begitu dingin. Tak sadar kuangkat kaki ke atas kursi, dan kupeluk lututku sendiri.
Ibu bangkit dari duduknya dan berjalan masuk ke dalam rumah.
"Ibu mau ke mana? Di sini saja."
Ibu tak menjawab. Bayangannya menghilang di balik pintu.
Kulanjutkan lamunan.
Tentang rencanaku terhadap pohon tua di sudut depan halaman.
"Pakailah," suara lembut ibu membuyarkan lamunanku.
Sehelai sarung diulurkannya padaku. Semerbak akarwangi tercium saat aku memakainya, menutupi pinggang hingga telapak kaki. Sebentar terasa sejuk, tapi kemudian menghangat. Aku ingat sarung ini milik almarhum bapak, yang dipakai di saat-saat terakhir beliau. Ibu masih menyimpannya. Berarti sudah hampir sepuluh tahun. Bahkan aku sendiri tak tahu di mana sarung ini disimpan. Mungkin di dalam lemari yang selalu terkunci itu.
"Pohon itu bapakmu yang menanam," katanya sambil kembali duduk di sampingku.
Siapa yang menanam aku tahu, pikirku.
Aku diam.
Menunggu kisah sejarah selanjutnya.
"Waktu itu ibu sedang mengandung mbakyumu. Ibu ngidam pohon itu."
Wah, kalau yang ini aku baru tahu.
Aku menahan senyum. Rupanya perempuan jaman dulu ngidamnya lebih merepotkan. Jauh lebih merepotkan dari isteriku yang hanya ngidam pizza waktu mengandung anakku yang pertama.
"Bapakmu mencari pohon itu sampai ke tempat eyangmu di Jogja," lanjutnya, "Di sini tidak ada yang menjual bibitnya."
Ternyata begitu riwayat sejarahnya.
Aku tahu pohon itu berumur lebih tua dariku. Dulu batangnya pernah rubuh. Tinggal separuh.
Beberapa dahan tumbuh dari batang bagian bawah, tapi sudah bertahun-tahun kroto-nya tak mau jadi buah. Praktis tinggal godhong so dan kroto-nya yang bisa dimanfaatkan untuk menambah kadar asam urat para tetangga yang masak rawon, lodeh, atau sayur asem.
"Kalau nanti ibu mati, rumah ini akan jadi milikmu. Baru setelah itu kamu boleh tebang pohon itu. Terserah."
Aku menarik nafas dalam-dalam.
Menghembuskannya perlahan-lahan.
Menyeruput kopi yang sudah tak lagi panas.
Dji Sam Soe belum habis setengah batang.
Satu hisapan kecil, lalu kumatikan.
"Aku tak tahu siapa di antara kita bertiga yang mati duluan. Ibu, aku, atau pohon itu," kataku sambil berdiri.
"Kamu ini ada-ada saja," sahutnya sambil terkekeh. Mungkin dipikirnya aku sedang bercanda.
Kupeluk pundak ibuku, lalu kami berdua masuk ke dalam rumah.
Liburan hampir usai.
Saatnya kembali ke peradaban.
Lambaian tangan ibu mengiringi kepergian kami menuju kemacetan arus balik.
Kusempatkan sesaat menatap pohon tua di sudut halaman itu lewat kaca spion.
Wahai pohon tua, andai kau bisa mengerti percakapanku dengan ibuku malam itu, pasti sudah kau sumpahi aku agar cepat-cepat mati saja.
(Sebenarnya tak perlu kausumpahi, aku juga sudah pasti...)
SS17092010
salam hangat,
rong2
- ronggowarsito's blog
- Login to post comments
- 4594 reads
Melinjo?
Ibunya kena asam urat?
hm...
tanpa mengharap jawaban, aku hanya bertanya dalam hati, apa arti kalimat ini:
(Sebenarnya tak perlu kausumpahi, aku juga sudah pasti...)
TGBTG (Yoh 3:30 - IA harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.)
@dedy & hw
@dedyriyadi
Ibu saya baik-baik saja. Di usianya yang ke-63 masih sehat, cantik, dan sexy. Penyakitnya cuma satu. Pikun. Di rumah jarang masak, memang kami larang. Takut lupa matikan kompor. Hehehe...
@hell o'world
;)
salam hangat,
rong2