Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Hiruk-Pikuk Negeri Zamrud Khatulistiwa

Erfen Gustiawan Suwangto's picture

Di negeri zamrud khatulistiwa ini, hampir selalu ada gejolak baru sejak reformasi dikumandangkan. Bagaimana tidak? Setiap hari selalu ada berita sensasional yang menyedot atensi. Tidak jelas apakah ini hanya trik dari kalangan jurnalis untuk mencari profit ataukah untuk mengungkap kondisi bangsa yang memang tidak fit?

Namun, bagi beberapa kalangan yang peka dan berpengalaman, menyadari bahwa sebagian besar “gejolak” tersebut hanya merupakan euforia dalam berdemokrasi. Wajar sekali jika euforia ini terjadi, tetapi apakah sehat jika kita terus terjebak dalam kondisi ini? Euforia adalah suatu kondisi yang dapat membuat kita lupa akan esensi yang sebenarnya. Ini jugalah yang sedang terjadi di negara ini. Lihatlah berita yang hanya mengutamakan unsur sensasionalitas dan kontroversi, tetapi tanpa solusi.

Pada akhirnya, yang muncul hanya debat kusir. Yang menyedihkan, kalangan “terpelajar” pun melakukan debat kusir ini. Masih “wajar” jika yang berdebat itu memiliki kepentingan politis tertentu. Anehnya, bahkan yang “tidak berkepentingan”, pun ikut berdebat. Seakan ikut campur dalam perdebatan kusir, memiliki “kenikmatan” tersendiri. Ini tentu menjadi sasaran empuk bagi pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengadu domba sesama anak bangsa. Karena sesungguhnya berdebat pun ada caranya, bertujuan untuk mencari solusi, bukan menimbulkan permasalahan baru. Berdebat jangan memakai standar ganda dan harus berorientasi pada solusi. Perdebatan jangan menjadi jebakan dalam “euforia” yang meninabobokan kita untuk berdebat berjam-jam sehingga melalaikan tanggung jawab pekerjaan. Lebih parah lagi jika perdebatan itu hanya terjadi dalam dunia maya, dengan identitas palsu pula, dilatarbelakangi mekanisme defensi untuk "melupakan" kegagalan dirinya di dunia nyata.

Namun, perdebatan tentu masih “lebih baik” daripada berkelahi secara fisik seperti “bangsa barbar”. Bahkan, berdebat melalui tulisan seperti di kompasiana ini dapat menjadi awal pendidikan jurnalistik masyarakat.Terkadang, berdebat melalui tulisan membuat kita berpikir dulu sebelum menulis sehingga dapat menyaring unsur-unsur emosional yang terlewat batas. Yang penting harus diingat, bahwa berdebat pun dengan tujuan jelas, bukan karena terjebak dalam euforia belaka.

Ada satu hal lagi yang paling diharapkan, yaitu agar perdebatan menjadi jembatan yang menghubungkan era “barbar” dengan era “berkarya”. Ya! Itulah yang menjadi tujuan kita di kutub yang lain, yaitu berkarya nyata. Bukan berkelahi, bukan berdebat tanpa solusi, tetapi berkarya nyata untuk bangsa tanpa banyak bicara.

Lihatlah negara lain yang lebih banyak berkarya, bahkan sebisa mungkin menutup rapat mulut mereka supaya kekuatannya tidak diketahui bangsa lain. Untuk masalah ini, kembali lagi bangsa kita sering terjebak dalam euforia berpolitik dan berbicara tentang hal-hal besar sebagai solusi untuk berkarya bagi bangsa. Kita berencana untuk melakukan hal-hal besar, padahal masalah sederhana saja belum dapat kita selesaikan.

Lantas bagaimana menjadi pekerja-pekerja nyata bagi bangsa? Lakukan segala sesuatu dengan berdikari di atas kaki sendiri. Minimal, lakukan pekerjaan kita masing-masing dengan profesional, dengan sedapat mungkin berwiraswasta. Ini akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan keluarga kita karena profesionalitas tentu akan meningkatkan produktivitas. Akhirnya,  kumpulan dari keluarga sejahtera, akan membentuk negara yang sejahtera pula. Jangan sampai ikut dalam “dunia persilatan kenegaraan” ketika keluarga sendiri belum sejahtera, dan kita belum bekerja profesional dalam keseharian.

Tidak usah berpikir untuk menjadi “tokoh besar”, yang jika tidak hati-hati malah menjerumuskan kita kepada ketamakan. Pun jika “tega” membebani negara sebagai pekerja dalam birokrasi negara, lakukan itu dengan niat mengabdi. Jika ingin mencari keuntungan materi, silakan berwiraswasta daripada melanggar tujuan mulia seorang abdi negara. Karena dalam berwiraswasta, tidak akan ada yang menyalahkan jika berorientasi profit, asalkan dijalankan tanpa melanggar hukum tentunya.

Jika ingin bekerja sosial, lakukanlah sendiri tanpa banyak protes dan saling menyalahkan. Begitu banyak orang-orang di sekitar kita yang sukses dalam berwiraswasta, memiliki keluarga yang bahagia, serta dapat bekerja sosial di atas kaki sendiri, tanpa banyak protes. Apalagi yang diharapkan dalam hidup, selain hal-hal tersebut? Biarlah pemerintahan berjalan tenang dengan dukungan doa dan usaha dari segenap rakyat. Jika memiliki aspirasi, sertakan juga solusi dan sampaikan dengan bijak.

Kita tentu ingat dengan dua peribahasa dari bangsa kita sendiri: “Tong Kosong Nyaring Bunyinya” dan “Air Beriak Tanda Tak Dalam”. Janganlah kiranya kita termakan oleh kedua peribahasa ini, yang notabene berasal dari kekayaan sastra bangsa kita sendiri.

Akhir kata, selamat Idul Fitri bagi sahabat yang merayakannya, mohon maaf lahir dan batin. Selamat liburan juga untuk semua. Semoga Indonesia semakin jaya. Amin.

(Tulisan dimuat dalam Kompasiana dan masukan dalam tulisan ini dapat berlaku juga untuk Sabda Space supaya namanya tidak berubah menjadi Sabda Kosong Nyaring Bunyinya)

 

 

okulasi's picture

ora lucu

 hahahahahahahahahahaahahahahaha....ora lucu bar blas

Erfen Gustiawan Suwangto's picture

Gak lucu tp ketawa,  dasar

Gak lucu tp ketawa,  dasar gendeng.

lapan's picture

tau tuh okul

namanya juga sodara lidya nape (apa hubungannya) hahahahah 

__________________

imprisoned by words...