Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Perjalanan ke Teluk Bogam

anakpatirsa's picture

        Kutempuh kilometer tambahan tanpa rencana. Hanya sebuah perjalanan spontan.

        Bosku berkata, "Kamu besok ke Lamandau, bisa?"

        Tentu bisa. Aku bisa berangkat besok, atau kapan pun. Aku tidak perlu minta izin siapapun. Aku bebas pergi kemana pun. Aku tidak punya binatang peliharaan yang harus diberi makan; aku tidak punya rumah yang harus ditunggui; dan aku tidak punya barang berharga yang bisa dicuri saat kutinggal pergi.

        Dan kemudian, di tengah perjalanan, aku berniat menghilang beberapa hari. Menghilang ke sebuah kampung tanpa ponsel dan internet.

***

        Saat berangkat, rencanaku sederhana saja. Berangkat pagi ini, nanti malam sampai. Cari penginapan, tidur lalu selesaikan urusan besok pagi. Sorenya pulang. Di tengah perjalanan, aku ingat Vero. Tahun lalu, ketika kakakku pulang, Vero tidak memperbolehkanku mencium apalagi memeluknya. Ia menguasai komputerku, bahkan aku tidak boleh duduk di depan komputerku sendiri. Kalau tidak memakai komputer itu, ia duduk di keranjang pakaian. Tanpa kata-kata, ia suruh aku menariknya. Hanya menariknya.

        Bukankah Lamandau merupakan pemekaran kabupaten kakakku? Kutanya sopir, "Berapa jarak Nanga Bulik — Pangkalan Bun?"

        "Tiga jam saja," jawabnya, "jalannya sudah bagus."

        Dekat. Surat tugasku berlaku sampai hari Jum'at. Sabtu dan Minggu libur. Tidak perlu kutelpon siapapun untuk mengubah rute perjalanan. Aku hanya lupa, tiga jam itu belum termasuk menjemput penumpang, juga belum termasuk perjalanan ke Teluk Bogam.

        Itu baru kusadari dua hari kemudian.

        Aku sudah jengkel satu jam sebelum penjemputan. Jam delapan ada pesan masuk, "Jadi berangkat?" Tiket sudah kubayar, tetapi seenaknya seseorang bertanya 'jadi berangkat?' Langsung kutelpon. Itu sopir yang tanpa ba-bu-ba menanyakan alamat yang kemarin kuberikan di daerah mana. Kujawab, "Aku tidak tahu." Ia suruh aku tanya orang. Kutanya nenek-nenek yang mulutnya penuh ludah merah. "Ini Nanga Bulik, Kabupaten Lamandau," jawabnya.

        Lama-lama di kabupaten ini aku bisa gila.

        Dan batang hidung orang itu baru muncul dua jam kemudian. Kursiku sudah dirampok. Kudiamkan saja. Aku sudah tahu, asal bukan nenek-nenek, sopir lebih suka memilih perempuan yang duduk di sampingnya, terutama perempuan muda. Dan genit menjadi nilai tambah.

        Tiga jam saja. Aku masih ingat kata-kata itu. Sebelum tengah hari aku bakalan sampai di Pangkalan Bun sehingga bisa mengejar mobil terakhir yang ke Teluk Bogam. Tetapi tiga jam itu belum termasuk menjemput penumpang di Perkebunan kelapa sawit, lalu kembali untuk menunggu penumpang lain.

        Kesabaranku habis saat matahari hampir tepat di atas kepala.

        Kudatangi mereka yang duduk santai di teras warung. Kutanya sopirnya, apakah ada travel lain. Aku mau ganti. Perjalananku tidak berakhir Pangkalan Bun saja, dan mobil terakhir yang ke Teluk Bogam tidak bakalan menungguku. Kutambahkan, "Kemarin katanya berangkat jam sembilan, tetapi baru dijemput jam sepuluh. Dan sekarang jam berapa?"

        Kusuruh ia melihat langit.

        Kutinggalkan mereka tanpa kata-kata lagi.

        Kami berangkat. Itu setelah mengetahui orang yang ditunggu baru berangkat, dan baru akan sampai satu jam lagi. Padahal tadi kudengar sendiri, begitu pantatnya menyentuh jok, seseorang di belakang menelpon, "Cepat. Naik ojek saja ke sana. Kami sudah berangkat menjemput kamu."

        Suasana tidak bisa dikatakan menyenangkan. Mereka sepertinya habis menanam bibit kelapa sawit, dan tidak mandi setelah itu. Mereka jengkel padaku, tetapi aku juga jengkel. Mereka menang jumlah, tetapi bukan berarti boleh menguasai mobil orang dan menghancurkan pengharum mobil. Aku tidak akan heran lagi kalau ada kerusuhan, aku sudah tahu penyebabnya.

        Saat mendekati Kumai, kota pelabuhan itu, sopir mengatakan sesuatu yang membuatku merasa bersalah. "Kalau pesan travel itu jangan dadakan seperti tadi."

        "Soalnya kami tidak pasti gajian hari ini," jawab seseorang di belakang.

        Seseorang yang lain menambahkan. Mereka siap-siap saja. Kalau menerima gaji, akan mengejar kapal yang berangkat besok. Itulah sebabnya baru menelpon travel setelah mendapat gaji. Mereka bahkan tidak sempat mandi ketika pulang ke barak untuk mengambil pakaian. Teman mereka itu, ia bekerja di perkebunan lain. Ia terlambat menerima gajinya. Dan begitu mendapatkannya, langsung naik ojek tanpa sempat kembali ke baraknya.

        Kusesali apa yang telah terjadi. Sepanjang sisa perjalanan, kusembunyikan ekorku di bawah jok.

***

        Pangkalan Bun — Teluk Bogam hanya dua jam. Itu aku sudah tahu. Mobil yang kunaiki bukanlah mobil "travel", tetapi sejenis angkutan darurat. Aku ikut berkeliling mencari penumpang. Sopirnya minta maaf karena membuatku ikut menunggu. Kubilang tidak apa-apa. Menunggu sampai kiamat pun, aku tidak akan protes lagi, batinku. Ketika akhirnya berangkat, penumpangnya banyak. Lima di belakang, empat di tengah, dan dua di depan ditambah satu sopir. Barang yang dibawa juga lumayan. Sepuluh sak semen ditambah segunung barang di atap.

        Terseok, mobil kami bergerak ke Teluk Bogam.

        Hari sudah sore ketika kami sampai. Rumah kakakku tidak berubah. Pintunya tertutup. Kudorong. Aku sampai di dapur. Kosong. Aku kembali ke ruang tamu, kupastikan tidak salah masuk rumah orang. Dua meja itu tetap sama, hanya sekarang ada taplaknya dari perlak. Benda di atasnya juga sama, kecuali ada tambahan monitor sembilan belas inci. Itu mereka beli karena melihat monitor komputerku.

        Ada suara yang kukenal mendekat, suara seorang anak kecil. Ia pasti melihat pintu yang terbuka, mengira itu orang tuanya. Aku keluar. Kulihat Vero di teras. Tubuhnya lebih tinggi dari tahun lalu. Ia melihatku di pintu, terkejut. Ia terdiam, lalu berlari ke arahku. Ia tabrakan kepalanya ke perutku dengan tangannya memeluk pinggangku. Kalau saja tadi aku bertanya mengapa orang tadi tidak langsung berangkat, aku akan menunggu dengan sabar, dan ini akan menjadi perjalanan sempurna.

        Kupeluk Vero, kugendong ia melewati selasar sekolah. Ibunya tampak sedang memberikan les di salah satu kelas. Kakak iparku, bersama Diaz ada di ruang guru. Mereka menonton televisi.

Rusdy's picture

Gambaran Indonesia

Abis baca ini, jadi inget iklan visit indonesia yang ini. Masalah infrastruktur transport Indonesia: tanpa jadwal, ruter terserah yang punya, penumpang dan barang numpuk, dll, malah dijadikan 'daya tarik'.

Masalah gajian, mestinya bikin iklan buat investor asing juga nih: "Investasi di Indonesia menguntungkan, bayar gaji karyawan bisa nunggak".