Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Pecah Berarti Membeli
Toko buah itu terlihat sepi. Hanya dua sepeda motor yang sedang parkir di halamannya. Ini agak mencurigakan, jangan-jangan harga buahnya mahal. Tapi sudahlah, kupikir karena ini toko buah yang paling dekat dengan rumah Pak Haji.
Sebenarnya memang tidak wajib membawakan sesuatu ketika membesuk orang sakit. Apalagi ini yang sakit Pak Haji, sahabatku sendiri yang aku tahu persis kalau dia tidak suka makan buah-buahan. Paling-paling nanti dimakan yang besuk, bukan yang sakit.
Tapi isteriku sudah meminta supaya aku membawakan buah untuknya, jadi kuturuti saja pesannya itu.
Kuparkir motorku, lalu melangkah mendekati toko. Pintu kaca dibukakan oleh salah seorang penjaganya.
"Silakan, pak. Selamat berbelanja," salamnya.
"Terima kasih, mbak," aku membalas senyum manis sang penjaga.
Aku masuk dan mulai mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan toko. Rak buah ada di sisi kanan dan tengah ruangan. Sisi lainnya dipakai untuk memajang aneka bahan makanan dan minuman.
Bukan cuma rak-raknya, bahkan buah-buahan yang dijualpun disusun sangat rapi. Di rak bagian tengah semua jenis buah ditumpuk membentuk piramida, kecuali durian dan semangka tentunya.
Sekarang saatnya memilih. Tunggu..., aku ingin melihat harganya dulu.
Benarlah dugaanku, harga buah di toko ini hampir dua kali lipat dari harga di swalayan, apalagi kalau dibandingkan dengan harga di pasar tradisional. Tapi tak apalah, demi seorang sahabat yang sakit dan amanat agung dari isteri tercinta.
Aku mulai memilih buah yang ingin kubeli. Pilihanku jatuh pada apel, pir, jeruk mandarin, pisang dan seikat anggur.
Sebelum ditimbang, kutengok lagi keranjang belanjaku. Apelnya hanya empat butir. Sepertinya kurang, maka kuputuskan untuk menambah satu dua butir lagi.
Kudekati rak tengah yang memajang buah apel. Gundukannya sudah berbentuk piramida lagi seperti sebelum kuambil tadi. Cekatan juga penjaga toko ini, pikirku.
Kuambil dua butir.
Tak sengaja, tiba-tiba saja lenganku menyenggol rak. Cukup keras. Sebutir apel menggelinding dari tumpukan paling atas.
Refleks, tanganku berusaha menahannya supaya tidak jatuh ke lantai. Celakanya, luput. Apel itu malah terbanting ke lantai. Penjaga yang kebetulan berada di dekatku dengan sigap memungutnya.
"Terima kasih, mbak," ujarku.
Kusangka ia akan mengembalikan buah apel itu ke raknya. Aku hendak berlalu, tapi ia menahanku.
"Yang ini sekalian ditimbang, pak," katanya sambil menyodorkan sebutir apel yang dipungutnya tadi.
Aku terkejut sesaat. Apel itu pasti sudah memar karena jatuh tadi.
"Saya sudah cukup ini saja, mbak," aku berusaha mengelak.
"Tapi bapak sudah menjatuhkan apel ini, jadi harus dibayar sekalian," bisiknya sambil melirik ke arah kasir.
Kelihatannya sang kasir adalah sekaligus pemilik toko ini.
"Apelnya sudah cacat," sanggahku.
"Bapak yang menjatuhkan."
Suaranya mulai meninggi.
"Saya tidak mau."
"Bapak harus bayar."
Sang pemilik sepertinya mendengar perselisihan kami. Ia turun dari tahta kasirnya lalu berjalan mendekat.
"Ada apa ini?"
Aku yakin bukan seperti itu seharusnya ia menyapa pembeli di tokonya.
"Bapak ini menjatuhkan apel, bu," si penjaga mengadu, "Saya minta apelnya ikut ditimbang."
Sang pemilik terdiam sebentar, lalu berujar, "Bapak sudah menjatuhkan apelnya, jadi tolong dimasukkan ke belanjaan bapak."
Kali ini giliran aku yang terdiam.
Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala.
"Baiklah kalau begitu, masukkan saja ke belanja saya," kataku sambil membongkar keranjang belanja di tanganku.
"Tapi yang ini saya tidak jadi beli," lanjutku. Kusodorkan plastik berisi enam butir apel yang sudah kuambil tadi.
Raut muka sang pemilik toko itu kelihatan semakin masam olehku.
Sepertinya ia tidak sepakat dengan ideku yang cemerlang itu.
Akhirnya, "Sudah sana, simpan apelnya di belakang," perintahnya pada si penjaga toko.
Suasana toko buah ini menjadi sangat tidak bersahabat bagiku. Kuurungkan niatku untuk mengemas belanjaanku dengan keranjang buah. Selesai ditimbang langsung kubayar, sambil tak lupa melepas label harganya. Tidak sepatah katapun terucap dari si pemilik toko ketika kuselesaikan pembayarannya di kasir, bahkan tersenyumpun tidak.
Emang gue pikirin, batinku.
Cepat-cepat saja kutinggalkan toko itu lalu bergegas pergi ke rumah Pak Haji.
Ternyata sudah ada Edi dan Koh Hin di sana. Pak Haji duduk setengah berbaring di kursi panjang. Mereka sedang berkumpul di ruang tengah.
"Kamu selalu datang terlambat," sambut Koh Hin.
"Aku kan beli buah dulu buat yang lagi sakit," balasku sambil meletakkan buah di atas meja.
"Assalamualaikum, Pak Haji," salamku sambil mencium tangannya.
"Waalaikumsalam," jawabnya sambil tersenyum.
"Gimana kabarnya, Pak Haji?"
"Ya gini ini, dik. Yang penting aku masih bisa dirawat di rumah. Kalau harus mondok di rumahsakit malah stres aku."
"Takbawain buah tuh, pak. Isteriku pesan, Pak Haji harus banyak makan buah dan sayuran."
Pak Haji hanya tersenyum mendengar ucapanku.
"Pak Haji tahu ngga, itu belinya juga butuh perjuangan berat."
Lalu dengan berapi-api kuceritakan insiden kecil di toko buah tadi pada mereka.
Semuanya tertawa.
"Kalau di toko swalayan, bagian yang menjual barang pecah belah biasanya ada tulisan di raknya. Pecah Berarti Membeli," kata Koh Hin.
"Tapi aku kan khilaf, ngga sengaja."
Edi menimpali, "Ibaratnya begini. Kamu pacaran sama anak gadis yang masih perawan. Karena kamu khilaf, perawannya pecah. Bukankah kamu yang harus bertanggungjawab mengawininya?"
"Bwahaha..."
"Bwihihi..."
Lalu obrolan kami berlanjut, ngalor-ngidul. Mulai dari imutnya Chef Marinka, jadual mancing yang tertunda karena sakitnya Pak Haji, sampai kisah kesembuhan ilahi ala Yesaya Pariadji.
Tak terasa sudah pukul setengah sembilan
Tidak ada tanda-tanda makan malam jadi acara lanjutan
Perut sudah melilit
Sebentar lagi pasti bakalan menjerit
Aku berniat pamit
"Maaf Pak Haji, mohon ijin mendahului."
"Ini masih sore, kenapa pulang buru-buru?"
"Mumpung belum jam sembilan, toko buah pasti belum tutup. Aku mau ke situ lagi."
"Ngapain? Mau ngganti buah yang kamu jatuhkan?"
"Bukan. Aku mau nanya sama yang punya toko. Dia punya anak gadis yang masih perawan ngga, ya?"
salam hangat,
rong2
- ronggowarsito's blog
- Login to post comments
- 5670 reads
karena khilaf, nggak perawan lagi..
Rong2 : Aku mau nanya sama yang punya toko. Dia punya anak gadis yang masih perawan ngga, ya?"
ha..ha.. ending tulisan Ronggowarsito memang selalu menawan :)
itulah sebab, ketika lama nggak nongol, dan setiap kali ada peti mati selalu ingat Rong-rong.. "kangen" kata Purnomo :p
hati-hati yang suka khilaf, bisa nggak perawan loh..
Ini yang namanya tulisan
Ini yang namanya tulisan humoris yang elegan. I like it!
------------
Communicating good news in good ways
Apel sama dengan perawan?
Apel sama dengan perawan?
Apa hubungan apel sama perawan?
Apakah harga apel sama dengan harga perawan?
Apa perawan bisa ditukar sama apel?
mari gila bersama-sama dengan warna merah, kuning, hijau, dan biru..
@joli @wawan @x-1
@joli, Purnomo nongol tuh, tapi jempolnya doang. Mungkin kalo aku nulis tentang kematian, baru beliau mau komen. Haha...
@wawan, thx atas apresiasinya, ditunggu juga kritikannya :)
@x-1, analoginya memang liar dan dilontarkan oleh Edi, si wong gendheng. Kalau mau tau sedikit tentang dia, kamu bisa baca link mancing yang sudah aku kasi di tulisanku itu. Salam kenal ya.
salam hangat,
rong2
Tidak pas..
Kl saya sebagai pembeli yg tidak sengaja menjatuhkan apel tersebut, saya tidak keberatan membeli apel yg sudah jatuh tersebut. Paling tidak saya akan menukar satu apel dalam keranjang saya yg masih bagus dengan apel yg sudah jatuh tadi.
Sebagai pertanggung-jawaban seperti "tag" dalam blog ini.
Debu tanah kembali menjadi debu tanah...
@deta, belajar
Kamu benar, det. Untuk hal kecil seperti menjatuhkan apel saja aku ngga mau bertanggung jawab, apalagi kalau membayangkan seandainya menghadapi hal besar seperti memecahkan perawan seorang gadis.
Tag-nya memang tanggung jawab, supaya aku banyak belajar lagi tentang hal ini.
Senang sekali, blog ini bisa memancing kamu nulis komen.
Eh, tak kasi bocoran ya, toko buahnya di jalan majapahit, sekitar jembatan banjir kanal timur. Coba aja iseng-iseng mampir, soalnya aku belum sempat ke situ lagi. Siapa tau sekarang mereka kapok nyusun buah tinggi-tinggi hehehe...
salam hangat,
rong2
@deta, ditunggu informasi selanjutnya.
Kalo rong2 sudah kasi bocoran alamat, boleh diasumsikan dia juga kirim pm ke deta "det, tolong sekalian tanyakan dia punya anak gadis yang masih perawan ngga."
Hanya hati2 saja, di seberang toko itu ada yang jualan peti mati.
NAAS tanpa N
Ada-Ada Saja... xixixixi