Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
The Poor Hallelujah
Lagu ini pernah populer di Sekolah Minggu karena melodinya mudah. Setelah memiliki buku saku kumpulan lagu rakyat Amerika hasil searching di Shopping Jogja, baru saya tahu melodi lagu SM itu aslinya berjudul “HALELUJAH, I’M A BUM” – “Puji Tuhan, aku seorang gelandangan.” Pengarangnya NN tapi dijelaskan seorang narapidana.
Wikipedia bercerita pengarangnya yang narapidana itu menulis lagu ini di tembok selnya pada tahun 1897. Selain itu ada yang mengatakan pengarangnya adalah seorang aktivis buruh. Ada pula remaja yang mengaku dialah pengarangnya. Wiki tak tahu mana yang benar. Daripada berebut saya usul solusi kompromisnya. Pengarangnya adalah aktivis buruh yang oleh juragannya dijebloskan ke penjara seumur hidup karena suka memimpin demo dan remaja itu adalah anaknya.
Tapi Wiki memastikan lagu ini populer gara-gara disisipkan di buku “Free Speech Fights” yang terbit pada tahun 1909. Setiap bait berisi tanya jawab satir. Mari kita simak mbelingnya lagu ini. Bait pertama berbunyi:
Why don’t you work like other folks do?
(Mengapa kamu tidak bekerja seperti yang lain?)
How the hell can I work when there’s no work to do?
(Bagaimana sih aku bisa kerja kalau tak ada lowongan?)
Rasanya sekarangpun bait ini masih relevan. Kita mengritisi para penganggur bahkan dengan menyitir 2 Tesalonika 3:10b “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan,” tanpa membantunya mendapatkan pekerjaan. Kita membantu sebatas menunjukkan iklan lowongan pekerjaan yang berderet di surat kabar. Mengapa tidak merekomendasikannya kepada kenalan yang pengusaha? Karena bisa merusak hubungan kita dengan kenalan itu bila nanti penganggur ini bekerja asal-asalan atau membawa lari uang perusahaan. Iya, ‘kan?
Dendang bait kedua:
Oh, why don't you save all the money you earn?
(Mengapa kamu tidak menabung?)
If I didn't eat, I'd have money to burn.
(Jika tidak makan, baru aku bisa menabung)
Harusnya bait ini dinyanyikan oleh tim diakonia gereja sebelum berangkat melawat warga jemaat yang miskin. Melayani mereka sebagai nasabah Tasipa (lihat Bank Dalam Gereja) saya tahu kesulitan mereka untuk menabung walau ada sedikit uang sisa belanja. Karena mereka tinggal di daerah kumuh, rumah mereka rawan pencurian. Apalagi bila rumah kayu dengan karton-karton menempel di dinding yang bolong. Mau menabung di bank, baru melangkah masuk saja sudah ditempel oleh satpam karena pakaiannya tak layak untuk ruang berase.
Bait ketiga mulai mengandung ancaman:
Whenever I get all the money I earn,
(Bilamana aku punya tabungan)
The boss will be broke, and to work he must turn.
(Boss akan bankrut dan giliran dia yang sekarang bekerja)
“Karyawan yang tidak punya tabungan mudah ditekan oleh pengusaha,” begitulah dulu sering saya ingatkan dalam seminar-seminar kerja. Karena, ia tidak akan berani menyanggah kebijakan perusahaan yang tidak bijak sebab resikonya dipecat tiba-tiba, bisa dengan kasar atau secara halus lewat kesalahan yang direkayasa. Apalagi bila ia perempuan dan sudah berumah tangga. Mudah kok memecatnya. Pindahkan saja dia ke kota lain yang jauhnya 500 kilometer. Yang dipecat atau dengan baik-baik mengundurkan diri akan diberi pesangon 3 bulan dan uang itu bisa habis sebelum ia mendapat pekerjaan baru. Lain halnya bila ia sudah memiliki tabungan sebesar 2 tahun gajinya. Tidak suka dengan peraturan yang aneh-aneh, ia bisa meneriakkan protes atau pindah ke perusahaan lain dengan rasa aman. “Karena itu, menabunglah setiap bulan walau sedikit. Jangan konsumtif. Begitu dapat bonus tahunan langsung seluruh tempat tidur diganti baru.”
Bait keempat berbunyi:
Oh, I like my boss, he's a good friend of mine,
(Oh, aku suka boss-ku, ia teman baikku)
That's why I am starving out on the bread line.
(Karena itulah aku sekarang kelaparan berdiri dalam antrian roti gratis)
Selama berada dalam dunia bisnis saya berjumpa dengan the good bosses. Sayang banyaknya tidak lebih dari jumlah jari kedua tangan saya. Setiap kebaikan boss harus diapit tanda petik sebelum dianalisa dengan cermat. Ada yang merubah sistim penggajian bulanan dengan insentif absolut. Take home paid setahun termasuk THR sebelumnya memang kalah jauh sehingga karyawan bergegas membubuhkan tandatangan ke surat pernyataan perubahan status dari karyawan tetap menjadi karyawan lepas. Mereka tidak peduli dengan status baru bisa dipecat kapan saja tanpa proses hukum. Mereka tidak peduli jaminan kesehatan dihapus karena “saya jarang sakit kok.” Tentu saja karena masih jomblo. Biaya jaminan kesehatan perusahaan biasanya besar sekali pada kelompok karyawan yang sudah berkeluarga dan yang sudah bekerja di atas 10 tahun walau jomblo. Maklumlah spare partnya mulai mendekati expired date.
Seorang yang baru saja pindah kerja bercerita dengan wajah berbinar,
“Kerja belum sebulan saya sudah ditawari mengambil kredit rumah. Separoh angsurannya ditanggung perusahaan. Karena saya sudah punya rumah, fasilitas ini bisa dialihkan untuk kredit mobil yang harga kontannya di bawah 200 juta rupiah.”
“BPKB-nya atas nama siapa?” tanya saya. “Jika kamu resign sebelum angsuran selesai, bagaimana nasib mobil itu? Coba kamu pelan-pelan tanya ke HRD.”
Binar wajah tak dibawanya pada pertemuan berikutnya.
“BPKB mobil atas nama perusahaan selama angsuran masih berlangsung. Bila saya resign sebelum hutang mobil lunas, maka mobil menjadi milik perusahaan dan angsuran yang telah saya bayar hangus.”
Aha, ia harus menyanyikan bait ke-4 lagu itu dalam versi baru, “My boss has heavenly love. He gave me one kilo of gold. A golden handcuffs so I will never be lost.”
Seorang mantan penatua yang pengusaha angkutan meminta saya berkunjung ke rumahnya. Di halaman rumahnya yang luas saya melihat sekitar 10 satpam. Selesai berbincang tentang bisnis baru yang sedang dirintisnya, saya bertanya:
“Oom, mengapa mencari satpam yang sudah senja usianya? Bisa apa mereka kalau ada maling masuk?”
“Tidak semuanya tua. Apa kamu tidak lihat ada 2 yang muda? They are the real ones. Lainnya itu mantan sopir truk. Karena usia, mereka tak mungkin Oom pasrahi truk rute Jawa –Sumatera. Oom kasihan mereka tidak kerja. Jadi Oom beri mereka kerja jaga rumah dan bersih-bersih halaman.”
“Mereka dapat UMR?”
“Yaaaa, dekat-dekatlah.” Ups, paling juga separohnya.
“Mengapa tidak dipensiun saja?”
“Dari dulu status mereka bukan karyawan. Mereka tenaga borongan. Ada order angkutan, mereka berangkat dan dapat uang. Tidak ada orderan, mereka tidak dapat uang. Karena itulah Oom kasihan kalau mereka tidak bisa lagi bawa truk karena mata sudah rabun dan badan tidak bisa diajak bergadang. Oom tawari mereka jadi satpam.”
Langsung dalam hati saya memutuskan untuk tidak mau jadi penasihat bisnis barunya. Biar tenaga borongan tetapi kalau sudah mengabdi sejak lajang sampai punya cucu – dan saya tahu benar mereka punya andil besar mengembangkan usaha angkutannya – apalah ruginya memberi mereka tali asih 10 juta rupiah agar mereka bisa mengadu nasib dalam pekerjaan baru, misalnya jadi gladiator gaek dalam THE WAR of THE WARoengS.
Bait kelima berbunyi:
When springtime it comes, oh, won't we have fun?
(Bila musim semi tiba, tidakkah kami ingin bersenang-senang?)
We'll throw off our jobs, and go on the bum.
(Kami akan kehilangan pekerjaan dan jadi gelandangan lagi)
Siapakah yang tidak ingin sejenak lepas dari rutinitas kerja? Siapakah yang tidak ingin ikut ritrit di pegunungan berhawa sejuk yang diselenggarakan oleh gereja? Tetapi apakah buruh kelas bawah punya hak memperoleh kemewahan ini? Bahkan pemilik toko juga tidak(?) memiliki hak ini. Pada hari Minggu mereka pergi ke gereja beribadah pada kebaktian pertama. Kemudian langsung pulang dan pukul 9 pagi mereka sudah membuka tokonya. Bos mereka adalah keserakahan yang bersemayam dalam dirinya.
Begitu masuk ke dalam sebuah rumah makan Jepang di Jakarta saya terkejut ketika mata menatap konter kasir. Gadis yang duduk di belakang konter itu adalah guru Sekolah Minggu yang sudah beberapa bulan menghilang dari kelasnya.
“Kerja di sini 7 hari dalam seminggu dari pagi sampai sore,” begitu ia mengeluh. “Jangankan mengajar SM, pergi kebaktian Minggu saya sering bolos kalau sorenya sudah kecapaian. Tidak masuk potong gaji. Tiga hari bolos dalam sebulan, dipecat. Tolong kalau kamu tahu ada lowongan pekerjaan yang hari Minggunya libur. Gaji kurang sedikit tak apalah. Aku kangen ketemu anak-anak.”
Agar tak repot hidup di Jakarta dengan anak-anak yang masih kecil, mertua saya mengirim PRT dari Jawa Tengah. Saya sebagai bossnya menentukan jam kerjanya begini. Setiap hari ia boleh pergi jalan-jalan dari jam 6 sore dan harus kembali ke rumah sebelum jam 9 malam. Hari Minggu ia boleh libur. Akibatnya? Ia terpaksa dipecat karena makin kurang ajar. Pulang sering jauh lewat jam 9 malam. Bahkan tetangga memberi informasi hari Minggu ternyata dipergunakan untuk side job yang begituan.
Kembali mertua mengirim PRT baru. Gadis kecil ini berkata ia hanya akan bekerja selama 1 tahun karena hanya untuk mengumpulkan uang bagi adiknya masuk SMA. Dia Muslim yang taat beribadah. Karena itu kami memberinya kebebasan untuk memasak sendiri dengan uang kami. Jam kerja yang sama kami berlakukan. Tetapi dia memilih tinggal di kamarnya untuk berhemat. Karena itu bila kami berpesiar pada hari Minggu kami mengajaknya ikut serta. Ketika setahun telah lewat, kami menyerahkan gaji setahunnya yang selama itu dititipkan kepada kami dengan tambahan uang “overtime” dan cidera mata yang tidak pernah dia duga. Dengan mobil perusahaan kami sekeluarga – sekalian pulang kampung – mengantarnya sampai ke rumahnya di daerah Demak.
Setiap bait “Hallelujah, I’m a bum” berakhir refrain ini dinyanyikan.
Hallelujah, I’am a bum
(Puji Tuhan, aku seorang gelandangan)
Hallelujah, bum again
(Puji Tuhan, gelandangan lagi)
Hallelujah, give us a handout
(Puji Tuhan, beri kami petunjuk)
to revive us again.
(untuk menghidupkan kami)
Mengapa mempergunakan kata “Haleluya” yang sebelumnya sangat ditinggikan oleh George Frederic Handel (23 Pebruari 1685 – 14 April 1759) lewat karyanya “Messiah”? Saya yakin itu dimaksud agar semua pendengarnya tahu kepada siapa protes ini dialamatkan. Kepada para juragan yang jaman dulu harus hidup terhormat dan untuk hidup terhormat ia harus beragama sedangkan saat itu hanya ada 1 pilihan saja di Amerika: agama Kristen!
Saya mengerti bila ada orang yang mengatakan lagu ini melecehkan kemuliaan Tuhan. Karenanya saya tidak heran ketika menelisik buku nyanyian resmi gereja yaitu Kidung Jemaat, Nyanyikanlah Kidung Baru dan Pelengkap Kidung Jemaat lagu ini tidak saya temui.
Marilah kita berusaha tidak melecehkan nama Tuhan dalam hidup keseharian kita. Bukan saja dalam pekerjaan tetapi juga dalam perkataan. Jangan sembarangan mengucapkan kata “Haleluya” yang bisa membuat orang bingung. Misalnya?
Seorang yang menaati Firman “mengucap syukurlah dalam segala hal” berkata kepada orang yang menemuinya di rumah sakit, “Haleluya, puji Tuhan, anakku tertabrak mobil.”
Lho? Ini ‘kan bikin bingung. Apanya yang disyukuri?
“Dia tidak tertabrak pesawat terbang.”
O ouw begitu maksudnya. Jadi, enggak salah ‘kan? Embuh!
(the end)
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 5303 reads
Sisi employer
Karena selaku pns dipaksa kondisi korupsi, tapi nggak juga kaya mulai nyoba wiraswasta. Ternyata susah sekali nyari karyawan bisa kerja apalagi yang ngerti usaha, banyakan yang penting digaji, urusan laen nggak penting.
Sekarang aja pegang info loker 4 org yang pesennya kresten, tapi karena susah nyari kandidat kualifikasi yang sesuai, udah mulai males ngurusin. Memang di Jakarta aneh bin ajaib: pengangguran tinggi tapi susah nayri yang bisa kerja. Btw bayarannya juga nggak jelek2 amat
No man is a man who does not make the world better