Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

NDILALAH KERSANE ALLAH bag.1 SEGULUNG UANG MERAH

Purnomo's picture

             Kemarin sore setelah menurunkan 2 cucuku di 2 tempat les yang berbeda, aku ke warung fotokopi. Lalu ke rumah sakit menengok organis gereja yang gagal berakrobatik dengan motornya di daerah proyek fly-over Jatingaleh sehingga 5 tulang rusuknya patah. Lantas makan mi jowo di warung tenda saking laparnya. Jiah, gurih banget, minyak B2-nya terasa sekali. Kemudian ke seberang kampus Unika menghadiri persekutuan doa rumah tangga. Di situ seorang teman menyodorkan segulung uang warna merah kepadaku.




            Karena kecapean pulang langsung tidur tak sempat mandi. Lagipula siangnya aku sudah mandi, mandi air hujan di jalan.

            Pagi tadi waktu aku membuka dompet aku melihat uang merah terlipat di dalamnya. Setelah mencatat jumlahnya di komputer aku berpikir mau aku apakan uang itu. Setor ke bank malas ngantri. Buat bayar listrik telepon pam, masih seminggu lagi. Mau dicadangkan untuk dibagikan sebagai beasiswa, dulu waktu masih pakai uang merah ada yang komplain “uang palsu” gara2 ndak pernah pegang uang merah. Opsi terakhir, aku bawa ke sebuah STT di Ungaran untuk bayar SPP Desember 2 mahasiswanya.

          “Pak, dengan pembayaran spp Juni Budianto (anggota gereja di Ampel Salatiga) berarti tunggakannya sudah lunas,” kataku kepada Pak Amos karyawan TU yang STh.

 

         “Pak Amos, waktu ke Solo saya sempat berbincang dengan Oom-nya Yudianto (mahasiswa asal Rote NTT). Persembahan  ‘gereja’nya sebulan 200 ribu. Dia dapat dari Mission Care Solo 150 rb. Tidak punya anak kandung tetapi memelihara 6 anak. Mungkin dari ‘rumah singgah’ ini dia mendapat bahan makanan. Kesimpulan saya, dia tidak akan bisa melunasi tunggakan Yudianto. Dari ceritanya ternyata bersama Yudianto dia memasukkan seorang gadis Dayak dari Sintang Kalimantan Barat ke sekolah ini, Juliana. Dia sudah membayar spp 4 bulan. Ceritanya Juliana sudah dapat sponsor. Betul gadis ini tidak punya tunggakan?”

 

 

       Pak Amos tersenyum. “Juliana belum punya sponsor, tunggakannya juga banyak, tetapi belum gawat.”

       “Gawat? Maksudnya gawat apa?”

       “Selain Budi dan Yudi, masih ada 3 mahasiswa yang punya tunggakan termasuk Juliana. Saya sungkan bercerita kepada pak pur karena sudah mengambil 2 orang. Dari 3 orang ini ada yang sudah tidak bisa mengangsur walau hanya 50 ribu sebulan. Dia semester 5 PAK. (Pak Amos menepuk-nepuk sebuah stofmap di mejanya) Yayasan sudah menulis surat kepadanya untuk mencutikannya selama setahun. Hari ini surat ini akan saya sampaikan kepadanya.”

       “Cuti itu jelasnya bagaimana?”

       “Dia dikeluarkan dari asrama untuk bekerja. Setahun kemudian dia boleh kembali ke sekolah asal membawa uang 1 juta rupiah.”

       “Siapa namanya?”

         Pak Amos menyebut sebuah nama.

       “Gadis Nias?” tebakku. Dia mengiyakan. Ah, kalau lelaki bisa aku rekomendasikan jadi koster di gerejaku sekalian bantu Sekolah Minggunya.

       “Pak Amos, ada anak teman saya yang mahasiswa Teol di UKDW Jogja. Sambil kuliah dia dagang MLM dan sukses sehingga bisa beli mobil. Skripsinya tertunda bahkan dia bilang tidak kepingin mengambil STh-nya. Kalau gadis Nias ini kebetulan dapat pekerjaan yang bagus, dia tidak akan kembali ke sekolah ini. Atau sebaliknya, dia terlunta-lunta di Jawa karena tidak mendapat pekerjaan yang layak sehingga mengutuki sekolah ini sepanjang hidupnya. Pak, bisa penyampaian surat ini ditunda satu dua minggu lagi?”

       “Maksud pak pur?”

       “Bulan Desember saya akan kemari bawa uang 1 juta biar dia tak perlu dicutikan.”

       “Saya akan bicara dengan pengurus yayasan,” jawabnya, “dan gaji saya bulan Desember bisa ditunda sebagai jaminan.”

       “Terima kasih,” kataku sambil menjabat tangannya.

 

         Ndilalah kersane Allah, semalam saya menerima segulung uang merah yang saya malas menyimpannya sehingga mendatangi sekolah ini untuk memanfaatkannya. Kalau tidak, ada seorang mahasiswi teologi yang harus DO di awal Desember 2016.

                                      (catatan 25.11.2016)