Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Nasib Seorang Pendeta
Terminal Tirtonadi tidak berbeda dengan terminal bis lain, tempat tukang ojek dan tukang becak mencari muka-muka kebingungan untuk menawarkan jasa dengan setengah memaksa. Dulu aku bertanya-tanya bagaimana mereka membedakan orang baru dengan orang lama. Sekarang aku tahu jawabannya, sehingga setiap kali turun dari bis aku hanya berkata 'tidak!' dengan nada tegas. Mereka tidak akan menggangguku lagi, mereka tahu Solo adalah kotaku.
Saat ini aku sedang tidak turun dari bis, aku sedang berada di ruang tunggu, menghabiskan waktu menonton televisi sambil menunggu seseorang. Sudah setengah jam aku menunggu. Tadi pagi Pak Ramos menelpon dan meminta aku menjemputnya di terminal ini jam lima sore.
Sebuah SMS masuk, aku tahu itu pasti dari orang yang sedang kutunggu, orang yang akan menginap di tempatku malam ini sebelum melanjutkan perjalanannya ke Surabaya.
"Saya sudah di pintu timur," SMS yang cukup singkat dan aku langsung bangkit.
Sosok Pak Ramos tidak jauh berbeda dengan dua tahun lalu, ketika kami berpisah. Sosok pria empatpuluhan, dengan sedikit uban di kepalanya. Bahkan sepertinya tidak ada yang berubah sejak kami pertama kali bertemu tujuh tahun lalu.
Ia seorang pendeta, tepatnya bekas pendeta. Gelar pendeta masih dipakainya, karena masih satu paket dengan gelar Master Teologia yang disandangnya. Sebagai pendeta, ia sudah tidak punya jemaat lagi. Satu persatu jemaatnya telah pergi dengan banyak alasan. Ada yang berkata ia tidak memiliki panggilan hidup sebagai gembala sidang, ada lagi yang berkata pendeta ini mengambil sekolah teologia hanya karena tidak ada jalan lain. Dan masih banyak alasan lagi, bahkan akupun punya pendapat sendiri.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya ramah, aku tahu ini pertanyaan yang tidak dibuat-buat. Ia memang ingin tahu keadaanku, itulah sebabnya ia tetap menyempatkan diri mampir dalam perjalanan ke Surabaya ini. Ia dan istrinya pernah begitu dekat denganku, bahkan mereka pernah menganggapku sebagai anaknya sendiri.
"Baik-baik saja," jawabku, kaku dan tidak berani menatap matanya. Akhirnya aku bertanya, "Keadaan ibu bagaimana?"
Dari raut mukanya yang kulihat sekilas, aku tahu ia senang dengan pertanyaan ini. Ia pasti tidak berharap aku bertanya tentang keadaannya, bahkan aku yakin ia tidak ingin aku menanyakan keadaannya sekarang. Kami pasti sama-sama tidak mau luka lama itu terbuka kembali.
Aku jadi teringat bagaimana kami saling mengenal atau lebih tempatnya saling mengecewakan. Dalam perjalanan ke rumahku, pikiranku melayang pada kejadian yang dimulai sekitar tujuh tahun lalu.
***
Adikku kembali ke Purworejo, setelah menemaniku selama 3 hari, dan sekarang aku ditinggalkan sendirian di kota ini, mungkin ketakutanlah yang membuatku mencari Tuhan.
Aku ingin ke gereja lagi, setalah bertahun-tahun tidak pernah menginjakkan kaki di situ. Sebenarnya sudah lama aku ingin ke gereja tetapi rasanya di kampung tidak mungkin. Seandainya aku tiba-tiba menginjakkan kaki di gereja, aku hanya akan menjadi bahan tertawaan. Jadi selama di kampung, aku tidak berniat untuk membuat kehebohan. Di Jogja ini tidak ada yang mengenalku, dan tidak ada yang tahu aku kembali ke gereja.
Memang ketakutanlah yang membuatku datang ke kapel kampus sore itu. Satpam melihatku dan mengira aku seorang penyusup yang mau memasang bom di kapel. Akhirnya aku dibawa ke pos dan kami sepakat pergi ke gerejanya besok paginya.
Hati-hati menangani orang yang baru mengenal gereja. Aktivitas gereja sangat menyenangkan baginya, persekutuan indah baginya, semuanya tampak indah. Itu kualami sendiri termasuk merelakan beberapa jam kuliah.
Ramoslah pendetaku, aku belum pernah mendengar pepatah "jemaat yang baik tidak perlu mengetahui kehidupan pribadi pendetanya." Aku mengenalnya dengan baik dan mengetahui kehidupan pribadinya. Aku tidak menemukan ada yang salah dalam kehidupan pribadinya. Seperti seorang yang sedang jatuh cinta tidak mampu mengenal kelemahan orang yang dicintainya, demikianlah keadaanku waktu itu.
Akhirnya aku menjadi dekat dengan seseorang yang tidak menyukai kegiatanku di gereja. Ia menganggap gereja sudah menjadi bagian kehidupanku, dan tidak menyukai kenyataan tersebut. Bukan karena ia tidak percaya kepada Tuhan, tetapi karena ia melihat kegiatanku di gereja hanyalah untuk bersenang-senang. Entah karena kebodohan atau karena "cinta", hidupku jadi terbagi dua. Bahkan sedikit demi sedikit aku mulai bosan dengan kegiatan yang sebelumnya kulakukan dengan sangat bangga.
"Kalau kamu mau hidup dalam nereka kehidupan, silahkan lanjutkan hubunganmu dengan Lasmi", kata Pak Ramos suata ketika ketika, setelah melihatku mulai jarang muncul di rumahnya. Ini kuanggap sebagai ungkapan kecemburuan.
Lalu aku mulai melihat kelemahan pendetaku. Ia bukan lagi sosok yang pantas ditiru. Terlalu banyak kelemahan yang kutemukan, bukan hanya aku saja yang melihat kesalahan itu sekarang. Teman-teman yang lain juga melihatnya.
Doa malam, latihan persiapan ibadah, pembuatan warta jemaat, sekarang menjadi sebuah tugas yang menyebalkan. Kegiatan yang dulu kulakukan dengan bangga tetap kulakukan karena merasa malu jika harus meninggalkan gereja hanya karena seseorang.
Ternyata bukan cuma aku sendiri yang mengalaminya. Sedikit demi sedikit jemaat lain mulai pergi dengan segala macam alasan seperti khotbah membosankan, jarak gereja dengan kampus, tugas kuliah dan segala macam alasan lainnya. Termasuk juga alasan pendeta terlalu mengekang. Aku tidak bisa pergi begitu saja seperti mereka, aku sudah begitu dekat dengan pendetaku. Akulah akhirnya jemaat terakhir. Gereja kami bertahan sampai aku lulus dan pulang ke kampung.
Ketika aku kembali ke Jogja, istri Ramos berkata, "Sekarang bapak sudah capek, kita tidak lagi beribadah di rumah." Gereja lain tutup karena dipaksa olah masyarakat di lingkungan sekitarnya, gereja kami tutup karena penyebab lain. Jemaat yang hampir semuanya masih kuliah mulai berlarian. Dulu kami beribadah di hotel, waktu itu jemaatnya berjumlah sekitar 100, lalu pindah ke rumah Pak Ramos ketika jemaatnya berkurang menjadi 20. Dan akhirnya gereja ini tutup ketika jemaatnya habis.
***
Jika seseorang bertanya padaku sekarang, "gereja di mana?" aku tidak bisa menjawabnya. Setiap minggu aku ke gereja, sebuah gereja besar dengan jemaat banyak sehingga tidak ada yang mengenalku, tidak ada yang peduli apakah aku datang atau tidak.
Jika orang tersebut bertanya lagi, "Kenapa kamu mau seperti itu?" aku akan menjawab, "Aku trauma terlalu banyak terlibat di gereja." Jika ia mendesak meminta alasan sebenarnya, aku bisa memberi seribu satu macam alasan. Aku bisa menghabiskan satu malam hanya untuk menceritakan kekecewaanku kepada gereja. Kekecewaan yang sebenarnya merupakan kekecewaanku kepada seorang pendeta. Kekecewaan yang sengaja kucari.
Ya, aku punya seribu satu alasan, tetapi kalau aku mau jujur, aku melakukannya karena gereja telah mengekangku. Ketika ingin bebas, gereja memenjarakan aku; lalu aku menemukan banyak kelemahan gereja. Kelemahan yang memang sengaja kucari.
***
Malam itu, aku menghabiskan malam dengan bekas pendetaku, aku tidak bisa menolak kalau bagiku ia hanyalah bekas pendetaku. Kami tidak berbicara tentang Alkitab, gereja, maupun hal-hal yang dulu kami bicarakan dengan penuh semangat. Bahkan ia tidak menanyakan tentang Lasmi, pasti ia sudah sejak dulu bisa membaca kalau akhirnya kami pasti putus.
Kalau boleh jujur, aku lebih suka Pak Ramos tidak mengunjungiku. Bukan karena apa-apa, tetapi aku lebih suka segala macam kepahitan kami dilupakan, terutama kepahitan seorang pendeta yang tidak sempurna. Kepahitan seorang gembala terhadap domba yang paling dipercayanya.
***
Sudah sering kudengar seseorang berkata, "Aku tidak mau ke gereja karena gereja itu seperti kumpulan orang-orang yang munafik." Aku tidak tahu alasan mereka benar atau salah, tetapi aku tahu pasti kalau setiap minggu aku datang ke gereja lalu pergi secepatnya karena aku trauma. Trauma karena gereja membatasi ruang gerakku. Tetapi kepada orang lain aku akan berkata, "Aku tidak mau terlalu banyak terlibat lagi di gereja, karena aku tidak mau lagi dikecewakan."
Aku punya seribu satu macam dalih.
Aku berharap orang lain tidak sepertiku.
- anakpatirsa's blog
- 5367 reads
Manusia VS Tuhan
Memandang manusia pasti akan kecewa.
Memandang Tuhan pasti tidak akan pernah kecewa.
GBU ALL
Jesus Love Me and You
nasib temanku
jadi teringat pengalamanku sendiri :)
Dulu saya pernah mengalami kekecewaan waktu terlibat dalam pelayanan. Koment Aries Yunarta sama dengan nasihat seorang teman kepada saya:
"Jangan berharap sama orang lain, berharap sama Yesusnya.
Jangan melihat orang lain, lihatlah Yesus seorang"
Dan setelah sekian lama, ternyata ada kejadian yang membuat saya kecewa terhadapnya. Itulah manusia, nampaknya kita tidak bisa berharap pada yang lain kecuali Yesus seorang. Dari situ saya juga belajar untuk selalu bersandar pada Yesus dan mengampuni, sekali lagi sebuah hal yang sulit sebagai seorang manusia.
NB: sampai saat ini saya belum menelpon atau bertemu dia lagi, kangen sih ma dia.. pgn liat vcd lg, pgn ngobrol dan kangen ma kamarnya yg selalu bau asap rokok
We can do no great things; only small things with great love -- Mother Theresa
Kasih...
saya ingat dulu pendeta saya bilang begini... Kita harus tetap Kasih kepada musuh kita dan orang yang membenci kita... tapi jangan pernah mengasihi perbuatannya yang salah...
Mengampuni lebih dulu... bisakah...
BIG GBU!
JM.
Sedikit Curhat
gereja yang sempurna..
Kadang Tuhan memakai ketidak
kalau saya tida ada di rumah, cari saya di sini