Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Mengetuk pintu sorga

Purnomo's picture

Lewat tengah malam aku terbangun. Aku melihat dari satu sudut kamar keluar seberkas asap putih, bergerak perlahan melintasi kamar. Kemudian dari sudut lain keluar juga berkas asap yang kemudian bergerak saling menyilang. Geraknya makin lama makin cepat sehingga kamarku penuh asap putih. Aku tidak takut, bahkan marah. Ada kekuatan gaib yang mau mengganggu aku. Aku keluarkan empat simpananku. Satu persatu ajimat itu aku pergunakan, tetapi tidak mempan.

- o -
Akhir Maret 1987
Kami sekeluarga bersiap-siap pindah ke Jakarta. Barang-barang rumah tangga telah diangkut truk siang tadi. Selama seminggu berada di Semarang, saya belum sempat berkun­jung ke rumah Pak Pamong. Tetapi ia telah tahu adanya myom dalam kandungan istriku karena Ega memberitahukannya. Sore hari menjelang kami berangkat ke setasiun kereta api, ia datang ke rumah. Banyak nasihat yang diberikan. Di antaranya, "Bigboss mengatakan tangan kanan Anda mempunyai kemampuan menyem­buhkan orang sakit, tetapi Anda belum menggerakkan daya itu. Beliau menyuruh saya hari ini menemui Anda untuk membantu membangunkan daya itu."
 
Lalu ia mengajak saya berdoa. Ia menggenggam kedua telapak tangan saya. "Saya akan menyalurkan getaran kekuatan Ilahi ke dalam diri Anda. Pusatkan pikiran dan biarkan getaran dari dalam diri saya memasuki Anda melalui telapak tangan. Bila getaran itu sudah sampai ke dada, katakan­lah."
 
Saya terkejut. Belum pernah saya men­dengar pemindahan kekuatan Ilahi dengan cara ini. Saya percaya setiap anak-Nya mem­punyai kuasa penyembuhan apabila Allah berkenan. Tetapi mengapa Tuhan memakai perantara dalam memberikan karunia ini? Saya menurut saja agar ia tak tersinggung. Diam-diam saya berdoa agar Tuhan menggagalkan upaya ini apabila cara ini tidak berkenan kepada­-Nya. Getaran itu terasa di telapak tangan dan bergerak perlahan merambat ke atas. Tetapi selalu sirna di pundak. Saya tak tahu apakah getaran ini datang dari dalam dirinya atau akibat telapak tangan saya yang digenggamnya sangat erat sehingga mengganggu aliran darah dan menimbulkan rasa kesemutan. Akhirnya ia menghentikan upayanya. Keringat membasahi dahinya. Saya mengatakan kepadanya apa yang terasa. "Walaupun getaran itu hanya sampai di pundak, saya percaya Anda telah mempunyai kemampuan itu," katanya yakin.
 
Kepada Ega ia berpesan agar berpuasa dalam bentuk berpantang sesuatu. Ia meminta sebotol air dan ia berdoa meminta Tuhan memasukkan kekuatan-Nya ke dalam air itu. Air itu hanya untuk Ega. Saya pernah membaca tentang kesembuhan melalui benda-benda yang telah didoakan. Jubah Yesus pernah menyembuhkan sakit seorang perempuan. Tetapi ada bisikan dalam hati bahwa sembuh tidaknya Ega ada dalam usaha kami, iman kami. Di dalam kereta api Ega memberitahu dia tidak mau meminum air itu. Air itu aku habiskan bersama Puteri.
 
Pak Pamong adalah sosok yang unik bagi saya. Dalam memperjuangkan keberadaan persekutuan warga Katolik ia sangat mili­tan. Mungkin karena ia pernah duduk di bangku seminari. Ia tak segan-segan menemui para penguasa pemerintahan bila warganya diteror. Mungkin ini akibat pekerjaannya sebagai seorang dosen PTN yang sering dipinjam untuk mengerjakan proyek pemerintah sehingga koneksinya luas. Bica­ranya tajam dan tak suka berbasa-basi.
 
Walau kami tidak bisa menerima pertolongannya sepenuhnya, saya berterima kasih atas apa yang telah dilakukannya atas masalah yang sedang kami hadapi. Apa yang telah dilakukannya telah menunjukkan masih ada seseorang yang peduli terhadap masalah saya. Tidak ada teman atau saudara kami yang menanggapi keluhan kami dengan sungguh-sungguh. Mungkin untuk membesarkan hati, mereka menanggapinya dengan ringan saja. Tak ada yang menga­jak kami berdoa, atau berjanji akan mendoa kami. Karena itulah kami tidak lagi sanggup menceritakan masalah ini kepada orang lain, bahkan kepada majelis gereja ataupun pendeta. Kami kuatir mereka akan memberi tanggapan yang sama sehingga membuat kami makin kecewa dan berduka.
 
April 1987
Tugas pekerjaan membawa saya ke Pontianak untuk memberikan pelatihan in-door selama 3 hari kepada karyawan rekanan perusahaan yang ada di sana. Menjelang tengah hari mereka memberitahu bahwa mereka akan pulang pukul 15.00, satu setengah jam lebih awal dari biasanya.
"Mengapa?" tanya saya.
"Itu kebiasaan kami di sini dalam bulan Puasa."
"Mengapa ada kebiasaan ini?"
"Puasa membuat stamina tubuh menurun."
Mereka hanya duduk mendengar saya berbicara sepan­jang hari, tetapi mengatakan staminanya menurun. Saya menghormati orang yang berpua­sa. Hari ini hari pertama bulan Puasa. Air minum yang sedari pagi ada di meja saya belum terjamah walau ludah sudah mengental. Saya menahan haus untuk menghormati mereka. Tetapi saya tidak suka melihat orang memanfaatkan kewajiban agama untuk memanja­kan diri. Lalu apa arti puasa bila mereka mengurangi jam kegiatan mereka?
"Saudara bisa meninggalkan ruang ini kapan saja saudara mau. Saya bisa mengerti sengsaranya orang puasa," kata saya.
"Siang ini Bapak makan di mana? Ke restoran di seberang kantor, atau kami pesankan?"
"Saya tidak makan siang."
"Tetapi sekarang sudah waktu makan siang."
"Saya puasa!" mendadak kalimat itu begitu saja terucap. Mereka tampak bingung. Pasti mereka merasa aneh ada orang berkulit kuning melakukan puasa bersamaan dengan mereka. Sebetulnya, saya lebih bingung karena tidak mengerti bagaimana pernyataan itu begitu saja meluncur dari mulut saya. Tetapi saya tidak dapat menarik kembali perkataan itu. "Apakah hanya orang Islam yang boleh berpuasa? Agama Kristen juga mempunyai aturan tentang puasa, hanya kapan dan bagaimana caranya diserahkan kepada masing-masing orang."
 
Setelah mereka sembahyang siang, acara kami lanjutkan. Sampai sore hari tidak ada seorangpun yang meninggalkan ruangan itu padahal saya sudah mengingatkannya ketika arloji saya menunjukkan pukul 15.00. Satu jam menjelang saat berbuka puasa pertemuan saya akhiri. Karena hotel tempat saya menginap tidak jauh, saya berjalan kaki. Rasanya badan melayang. Begitu ringan sehingga saya sulit merasakan benturan alas sepatu di atas aspal jalan. Saya harus berhati-hati berjalan agar tidak jatuh. Bibir kering, ludah tak ada lagi di lidah, kerongkongan menyempit. Dinding lambung mungkin telah saling melekat karena terasa perih seka­li.
 
Di kamar hotel tanpa berganti pakaian saya merebahkan diri. Benar-benar saya tak tahu mengapa tadi mengatakan saya berpuasa. Apakah Roh Kudus sendiri yang menguasai lidah ini? Ega telah mencoba berpuasa dari sore sampai subuh. Tetapi kami menguatirkan puasa ini membahayakan kandungannya, sehingga dia menghentikan puasanya. Sekarang, hari ini, saya ber­puasa. Tepatnya, terpaksa berpuasa! Ya Tuhan, seumur hidup saya tak pernah berpuasa, bahkan berpantang sesuatupun tak pernah. Apakah sekarang Roh-Mu menyuruh saya?
 
Baik, saya akan melakukannya. Jika orang lain bisa mengapa saya tidak? Beri saya kekuatan untuk menggantikan Ega melakukannya. Biar setiap nyeri mengoyak lambung saya ingat ada kuasa jahat dalam kandungan Ega; agar setiap pusing menghantam kepala saya ingat untuk memohon Engkau memberikan mukjizat kepada kami. Dengarlah ya Tuhan, saya bersungguh-sungguh memohon kepada-Mu. Ketika radio saku memberitakan saat berbuka puasa telah tiba, saya meneguk segelas air perlahan-lahan. Baru sekali ini saya merasakan betapa nikmatnya air minum.
 
Hari-hari puasa makin berat setelah kembali ke Jakarta. Sebagai karyawan marketing operasional saya harus tetap berkelana di jalanan di bawah terik matahari. Kadang-kadang bila keringat tak lagi bisa keluar sehingga suhu tubuh mulai bergerak naik, saya nyaris menyerah. Setiap godaan itu datang saya segera mengingat janin dalam kandungan Ega. Tidak! Saya tak akan menyerah. Saya akan terus mengetok pintu sorga. Kiranya Tuhan mau melihat kesungguhan saya dalam menaikkan permohonan ini.
 
Pada suatu hari saya ke kantor rekanan perusahaan di kawasan Pasar Baru untuk menemui direkturnya. Tetapi ia sedang pergi. Saya masuk ke ruang manajer. Adik direktur yang punya perusahaan sendiri ada di situ sedang makan. Ia menyilakan saya duduk di depannya dan segera menyodorkan sebuah bungkusan.
 
“Ayo makan menemani aku. Ini nasi jatah A Pang kamu pakai dulu. Tetapi lauknya hanya cap cay dan babi kecap. Atau aku suruh orang beli kepala ikan dulu di Lautze?”
“Sudah, tak usah repot. Aku sudah makan. Baru saja tadi di Pinangsia,” jawab saya berbohong. Lebih baik berbohong daripada jadi bahan tertawaannya bila ia tahu saya sedang berpuasa. Saya tidak senang berbincang-bincang dengannya karena selalu saja ia menghina orang Kristen.
 
Saya duduk di depannya. Melihat cara makannya dan lauk yang menggoda, saya terpaksa menekuk perut.
“Kamu sakit perut?”
“Iya, sedikit. Kekenyangan ‘kali.”
“Pasti kamu ke resto bebek babi panggang. Ngomongin babi aku jadi ingat si John gendut. Enggak tahu ‘tu orang sekarang ke mana habis gua damprat tadi.”
“Memangnya ia salah apa?”
"Si John tadi pentang bacot di depan anak buahnya. Dia bilang orang kerja itu harus jujur seperti dia. Kenapa ia bisa jadi orang jujur? Karena gua anak Tuhan, katanya. Aku yang kebetulan dengar jadi panas. Kalau saja dia bukan orang lama pasti sudah dipecat dari dulu sama enyak gue. Siapa sih di perusahaan ini yang tidak tahu ia itu biar pangkatnya sudah tinggi tetap saja tukang nyolong? Lalu aku bilang, John elu kalo ngomong yang bener. Kapan sih Tuhan kawin sampai punya anak kamu? Mati kutu dia, mukanya merah." Dan, ia tertawa terbahak-bahak.
"Pur, kamu Kristen?" mendadak ia berta­nya. Mungkin karena saya tidak ikut tertawa.
"Ya," sekali ini saya tidak mau berbohong. Bahkan, bila perlu saya mau mengaku sedang puasa.
"Orang tua juga Kristen?"
"Mereka jadi Kristen setelah sekian tahun saya ke gereja. Saya menjadi Kristen bukan karena keturunan."
"Enyak gue juga Kristen. Sampai berbusa mulutnya gue nggak mau ke gereja. Gue jadi Kristen bukan karena ajakan enyak gua."
Saya tersentak. Orang seperti ini Kristen? Karena itu saya bertanya,
"Kamu Kristen? Bagaimana kamu bisa jadi Kristen?"
 
"Ceritanya panjang. Suatu malam aku pulang mabuk. Aku bawa gado-gado buat isteriku. Biasaaaa, sogokan. Aku panggil-pang­gil dia, tetapi dia tidak muncul. Aku cari dia. Dia sedang baca Alkitab. Aku marah. Alkitabnya aku rebut, aku robek-robek, aku tuangi bumbu gado-gado. Lalu aku tidur di kamar lain. Hawa panas sekali. Nggak tahu mengapa badanku terasa panas sekali."
"Terlalu banyak minum 'kali."
"Semula aku juga berpikir begitu. Lalu ase aku setel high cool, termostat aku putar sampai mentok. Baru sebentar mendadak ase mati. Aku nyalakan lagi. Gilanya, baru sebentar, mati lagi. Aku periksa, sekering beres. Adanya kelebihan beban tidak mungkin karena lampu kamar tetap hidup dan tidak berkedip-kedip. Mati hidup mati ini terus berulang. Menjelang fajar aku baru bisa tidur."
"Besok malam aku masih tidur di kamar itu, kamar tidur pribadiku. Persis tengah malam rasanya ada yang membangunkan aku. Di tengah ruangan aku melihat ada segumpal sinar. Seperti lampu bohlam yang kuat sinarnya tetapi cahayanya tidak kemana-mana. Seperti ada selaput bening yang menahan cahayanya. Aku seperti mendengar suara 'mengapa kamu melakukan seperti itu kepada aku.' Aku teringat Alkitab yang aku rusak. Kemudian bola cahaya itu lenyap."
 
“Malam berikutnya aku pergi tidur agak sore. Di kamar itu juga, sendirian. Aku sudah melupakan peristiwa itu. Aku menganggap itu mimpi saja. Lewat tengah malam aku terbangun. Aku melihat dari satu sudut kamar keluar seberkas asap putih, yang bergerak perlahan melintasi kamar. Kemudian dari sudut lain keluar juga berkas asap yang kemudian bergerak saling menyilang. Geraknya makin lama makin cepat sehingga kamarku penuh asap putih. Aku tidak takut, bahkan marah. Ada kekuatan gaib yang mau mengganggu aku. Aku keluarkan empat simpananku. Satu persatu ajimat itu aku pergunakan, tetapi tidak mempan. Karena itu aku berteriak, 'Okey, aku menyerah. Sekarang apa maumu. Cepat katakan kepadaku.'
'Ambil Alkitab dan bacalah,' aku mendengar ada suara keluar dari kabut pekat putih itu.
'Tidak bisa, Alkitab terlalu tebal,' aku menawar.
'Baca dari Abaraham sampai Musa,' suara itu terdengar lagi. Kemudian perlahan kabut itu menipis dan hilang. Pagi-pagi aku mencari Alkitab, tetapi tidak kudapat. Lalu aku menyuruh pelayanku keluar membeli Alkitab. Aku pesan kalau ditanya isteriku bilang aku suruh beli rokok. Aku malu jika isteriku mengetahui. Celakanya, hari itu hari Minggu, mana ada toko buku buka. Aku bilang dalam hati, 'Kalau kamu menyuruh aku membaca Alkitab hari ini, kamu juga harus menyediakannya untukku'. E, mendadak aku ingin membuka laci meja tulisku yang ada di loteng. Laci yang terbawah aku buka, ada Alkitab di situ. Padahal meja tulis itu sudah lama tidak aku pergunakan dan aku tidak tahu di laci terbawah ada Alkitab. Tidak ada satu minggu seluruh Perjanjian Lama, bukan sampai Musa saja, aku habiskan.”
 
Ia berhenti sejenak memandang aku lekat-lekat. Ia tersenyum. Lalu katanya,
“Aku tahu kamu tidak percaya. Kamu boleh tanya cerita Alkitab Perjanjian Lama kepa­daku. Taruhan, aku bisa menjawabnya. Satu banding sepuluh aku layani," katanya menantang.
Bulu lengan saya meremang. Saya percaya kisah mistisnya bukan hasil imajinasinya.
"Isterimu tahu kejadian itu?"
"Ia tahu aku membaca Alkitab. Ia tahu aku membuang begitu saja jimatku. Tetapi ia tidak tahu mengapanya. Ketika aku katakan aku percaya Yesus, malah ia tertawa berkepanjangan. Sampai mati kamu enggak bakalan percaya Yesus, katanya. Karena itu aku tidak marah jika kamu menganggap ceritaku tadi omong kosong. Jangankan orang lain, istriku sendiri saja tidak percaya biarpun aku sudah mau mengikutinya ke gereja. Itu susahnya kalau kamu pernah jadi bajingan. Untuk mengujinya aku disuruh berhenti nenggak minuman keras. Buat aku lebih baik membuang uang sepuluh juta daripada disuruh berhenti minum. Aku pemi­num berat. Waktu di SMA aku tidak bisa hidup tanpa minum. Kalau tak percaya coba tanya dia," ia menunjuk seorang manajer senior yang kebetulan sedang berada di ruangan itu.
 
“Aku sudah dengar dari A Cong kegilaanmu terhadap minuman keras,” jawab saya. Ketika ia tidak mau sekolah lagi, orangtuanya memaksanya menjadi asisten salesman. A Cong salesman tua yang dititipi berandal ini bercerita setiap berangkat ke lapangan ia membawa 2 botol besar miras. Ia tidak makan siang karena lebih suka mengisi perutnya dengan 2 botol minuman itu. Pernah ia masuk rumah sakit karena muntah darah.
 
"Aku bilang kepada Suhuku (begitu ia menyebut Yesus), 'bantu aku berhenti mi­num',” ia melanjutkan ceritanya. “Aku sendiri kemudian terheran-heran, bisa-bisanya aku berhenti minum. Tidak pakai proses panjang, langsung berhenti. Aku tidak sembarangan cerita tentang 3 malam yang menentukan itu kepada orang-orang. Jangan lagi orang lain, aku sendiri tidak akan percaya jika tidak mengalami sendiri. Tidak tahu kenapa mendadak aku ingin cerita sama kamu. Aku juga tidak pernah gembar-gembor bilang gua Kristen. Kagak usah menepuk dada karena kita Kristen. Yang penting perbuatan. Malu kalau orang tahu kita orang Kristen tapi hidup macam orang kapir."
 
Dalam perjalanan pulang ke rumah rasa nyeri yang hebat menyerang lambung. Saya harus menyetir mobil dengan badan membungkuk menahan sakit. “Tidak tahu kenapa mendadak aku ingin cerita sama kamu,” kalimat itu terngiang kembali. Saya tahu. Tuhan mau saya tahu mukjizat dalam Perjanjian Baru masih berlaku sampai saat ini. Bahkan untuk orang yang telah menghina-Nya. Ya Tuhan, Engkau telah memberiku mukjizat pertama ketika Engkau mau menerimaku sebagai tebusan Yesus. Tetapi masih adakah mukjizat lain bagiku? Mukjizat bukti pemeliharaan-Mu kepada anak tebusan-Mu ini? Kau dengarkah doaku, doa Ega, doa Puteri setiap malam? Jika memang aku masih berbuat dosa, dosa itu adalah aku meragukan mukjizat masih akan terjadi dalam hidupku. Aku tidak bisa seperti anak-anak yang dapat memberikan kepercayaan yang mutlak. Aku tidak bisa melepaskan diri dari keraguan ini. Aku menyerahkan diri dalam tangan-Mu. Aku berserah, berserah karena tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Perbuatlah apa yang Kau inginkan. Tetapi jangan ambil Ega dari sisiku.
 
Terngiang kembali perkataan Puteri bila tiba gilirannya memimpin doa malam, "Tuhan, singkirkanlah iblis yang ada di perut mama, biar adik lahir dengan selamat."
Kami memutuskan untuk mulai berdoa bersama, sesuatu yang tidak pernah kami lakukan selama 7 tahun usia pernikahan kami. Menjelang Puteri akan tidur, kami berkumpul bersama membaca 1 pasal Alkitab. Saya dan Ega bergantian membaca 3 ayat, sedangkan Puteri yang masih harus mengeja membaca 1 ayat. Jika malam ini kami membaca Kitab Mazmur, malam berikutnya kami membaca Injil Yohanes. Dua kitab itu kami baca bergantian. Setelah selesai membaca, salah satu dari kami memimpin doa.
 
Kuasa kegelapan itu telah mengembangkan sayapnya. Iman percaya saya makin melemah karena Ega mulai membicarakan kematiannya. Dokter telah memberitahu kembali apabila janin ini selamat sampai saat kelahiran, hanya ada satu yang bisa diselamatkan. Ibu atau anak. Dan celakanya, Mega tetap memilih dia yang pergi. Saya makin gila bekerja untuk melupakan kenyataan ini. Saya membawa pulang pekerjaan administrasi kantor dan mengerjakannya setelah semua orang tidur. Saya baru berhenti setelah betul-betul mengantuk sehingga begitu kepala saya menyentuh bantal saya langsung terlelap. Dengan demikian otak saya tak sempat lagi memikirkan kegelapan yang sedang menyelubungi hidup kami.
 
Tetapi sebelum tidur saya selalu mencoba menaikkan doa pribadi. Namun lebih sering saya berdiam diri tanpa bisa mengucap kata-kata. Sebulan saya berpuasa, tetapi saya tidak melihat jawaban Tuhan. Saya merasa seperti anak yang diusir dari rumah orangtuanya. Apakah saya harus mengalami nasib seperti Daud ? Orang yang diurapi, orang yang telah memenangkan banyak petempuran, lalu pada suatu hari tanpa tahu salahnya harus meninggalkan tempat tinggalnya dan terlunta-lunta di gunung-gunung batu. Jika dalam pengembaraannya Daud harus berpura-pura gila, mungkin saya akan benar-benar jadi gila.
 
Apakah pencobaan ini tidak akan melampaui kekuatan saya? Saya tak tahu. Benar-benar tak tahu!
 
(bersambung)
 
Masih adakah mukjizat bagi kami?
bag-2: Mengetuk pintu sorga.
Rusdy's picture

Bantu Doa

Pur nulis:

"Apa yang telah dilakukannya telah menunjukkan masih ada seseorang yang peduli terhadap masalah saya. ... Tak ada yang menga­jak kami berdoa, atau berjanji akan mendoa kami."

Hmmm... makasih untuk mengingatkan. Apalagi diantara 'dewasa iman', tersering kali lebih mudah berpikir, "Ah, ini cobaan memang sudah seharusnya dijalankan, jadi kamu seharusnya jangan ngedumel" dibanding "Ayo, kita berdoa bersama"

orangsokberiman's picture

Minta dan Taat

Syalom..

walaupun ID saya 'orangsokberiman', tp saya ingin menjadi orang kristen yg sesungguhnya..

Saya pernah bertanya pada teman saya, 'gmn supaya kita tau apa mksd Tuhan?'..

Temanku cuma jawab, " Minta terus sama Tuhan utk lebih peka terhadap maksud dan tujuan yg telah Tuhan rencanakan, dan Taat "..

Saya memang bukan orang yang imanya sudah kuat, masih banyak yang harus saya rubah..Tapi saya yakini kalau Tuhan tak akan meninggalkan kita.Disaat kita benar-benar berserah disitu Tuhan akan menunjukan jalan yang buat kita "its imposible!'..

Makasih buat artikelnya..Cerita anda membuat saya sadar, utk bertobat...