Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Memberi dengan senang tetapi sedikit
Encim itu mendadak saja menangis dan membiarkan air matanya deras meleleh meluncur turun di pipinya yang tambun. Mungkin ia tahu sederet pertanyaan yang saya ajukan menunjukkan saya tidak memercayai ceritanya yang menyebabkan ia terpaksa meminta-minta.
Saya sedang berdiri di tepi jalan menunggu istri berbelanja di pasar pecinan ketika dia mendekati saya. Wajahnya bulat, tubuhnya agak gemuk, kulitnya halus. Pakaiannya seperti yang biasa dikenakan oleh perempuan Tionghoa separoh baya di daerah ini. Bajunya berwarna kuning muda cerah dengan corak bunga besar. Celana panjang komprang berwarna coklat muda. Perpaduan warna yang pas. “Saya datang dari Tangerang, naik kereta Senja Utama ke Semarang, mau cari famili. Tapi tidak ketemu. Saya minta Koko bantu ongkos pulang,” begitu pembuka presentasinya dalam logat Jakarta.
Segera mata saya menelusuri garis setrika baju dan celananya. Tidak ada yang patah. Sampai ke kaki, ia memakai sandal jepit karet. Tidak ada debu yang menempel di sandal atau di kakinya, padahal saat itu sudah pukul 11 pagi. Saya memandangi wajahnya lagi. Masih bersih seperti baru mandi. Kesimpulan saya, ia baru keluar dari base camp-nya.
“Ayo saya bantu mencari. Mana catatan alamat rumah famili Encim?”
“Saya tidak punya catatan. Saya dulu pernah ke rumahnya. Tetapi sekarang saya lupa. Saya mau pulang ke Jakarta saja.”
“Di belakang ini ada kelenteng besar. Ayo saya antar ke sana. Pengurusnya orang baik. Nanti Encim diberi makan. Sore diantar ke setasiun dan dibelikan karcis.”
“Tidak mau. Koko saja yang bantu saya.”
“Saya kenal baik pengurus kelenteng itu. Ayo saya antar pakai becak,” saya mendesaknya dan melambaikan tangan ke arah sebuah becak. Dan tanpa suara tangis tumpahlah air matanya membuat saya mengherani apakah sewaktu muda dia pernah ikut kelas teater. Atau dia pernah ikut kelompok peratap orang mati di Tapanuli yang derasnya air mata bisa memperbanyak pasinapuran (tip) yang diperoleh?
Saya mengeluarkan dompet dan mengambil selembar ribuan rupiah. Ia menerimanya dan,
“Tambah lagi ceban, Koko. Saya belum makan.”
“Yok kita makan di sana, di warung gudeg. Saya yang bayar.”
“Saya tidak boleh makan nasi. Saya punya penyakit gula. Saya makan roti.”
“Ayo kita masuk ke dalam pasar. Saya belikan roti.”
“Roti di pasar tidak bersih, kena debu. Nanti saya sakit.”
Saya tertawa tanpa rasa jengkel sambil mengulurkan tangan, “Kalau mau cari ceban jangan sama saya. Sini, kembalikan uang saya.”
Mendadak saja aliran air matanya berhenti. Ia melap pipinya, membalikkan tubuh dan pergi tanpa bilang kamsia. Ia masuk ke kantor ekspedisi. Hanya sebentar ia sudah keluar dan berjalan ke arah ujung jalan. Saya mendekati seorang tukang parkir dan menunjuk ke arah perempuan itu.
“Kamu kenal encim itu? Di mana rumahnya?”
“Bapak dimintai uang? Bapak beri berapa?”
“Seribu rupiah.”
“O ya sudah.”
“Ya sudah ‘gimana?”
“Memang dia itu suka minta-minta. Ia keliling kota sampai jauh. Pernah waktu saya antar anak saya ke kampus di tepi barat kota saya ketemu encim itu. Seminggu yang lalu di sini ada orang memberinya 10 ribu. Dia minta lagi sambil menangis-nangis. Ia pergi setelah ditambahi 50 ribu. Lain kali kalau dia minta jangan diberi, Pak.”
“Ah ndakpapa,” jawab saya.
Betul, tidak mengapa karena saya memberi dengan senang walau sedikit walau tahu dia berbohong.
– o –
Apa beratnya memberi bila jumlahnya tak seberapa? Kita bisa melakukannya dengan senang hati, tanpa merasa dipaksa atau berat hati. Kita dengan senang hati memasukkan uang seribu rupiah kedalam kantong kolekte di gereja. Biar sedikit tetapi kita senang karena telah menunaikan kewajiban sebagai anggota sebuah gereja.
Kita juga telah ikut berperan menjaga kelangsungan hidup situs-situs Sabda bila setiap bulan mentransfer 5 ribu rupiah ke rekening pengurusnya. Tetapi apalah artinya uang sejumlah itu untuk sebuah kegiatan yang membutuhkan uang ratusan juta setiap tahunnya? Apa kita tidak malu?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu dijawab bila kita tidak ingin kehilangan rasa senang dalam memberi, walau sedikit. Yes, rasa senang! Inilah dasar utama dalam memberi. Mari sejenak kita menempatkan diri sebagai si peminta yang butuh uang 10 ribu. Bagaimana perasaan kita bila orang memberi 10 ribu setelah setengah jam mengata-ngatai kita sebagai pemalas dan berbakat jadi pengemis? Di manakah harga diri kita bila ada orang yang melemparkan uang 10 ribu rupiah ke wajah kita? Bukankah lebih baik bertemu dengan orang yang hanya memberi seribu rupiah dengan wajah senang diiringi ucapan “maaf ya, saya hanya bisa membantu sedikit”?
Ibarat anak sekolah, kita baru bisa menulis kata-kata lepas. Kita belum bisa menulis sebuah kalimat, tetapi kita bisa menulis kata-kata lepas itu dengan rapi. Ibarat anak yang belajar berhitung, kita baru bisa menghitung 1 sampai dengan 10. Tetapi kita tahu mengapa 3 ditambah 4 menjadi 7.
Kita belum bisa setiap hari memberi makan 50 anak jalanan. Tetapi setiap pagi kita bisa menyediakan 2 keping uang logam 500 rupiah untuk kita berikan kepada 2 anak jalanan ketika berkendaraan ke kantor. Kita belum bisa menjadi orangtua asuh untuk 1 orang anakpun. Tetapi kita telah membuat langkah awal yang baik dengan setiap bulan menyerahkan uang 20 ribu rupiah ke sebuah rumah singgah. Kita belum sanggup menjadi donatur panti wreda. Tetapi dengan senang setiap pulang kantor kita membeli sebungkus nasi dengan lauk sederhana untuk kita berikan kepada seorang nenek tetangga kita yang hidup sendiri dalam rumah reyot.
Apakah di kelas ini kata memberi harus selalu berarti ‘memberi uang’? Tidak, karena bisa berupa barang yang masih punya nilai jual.
Setelah 2 bulan menempati rumah baru, koran bekas di rumah sudah menumpuk karena tidak tahu ke mana harus menjualnya. Kebetulan suatu hari ada ibu yang berkeliling komplek perumahan untuk membeli koran dan buku bekas. Saya panggil dia. Saya keluarkan semua koran bekas. Ternyata ia membeli dalam hitungan per 100 lembar lepas. Ia merapikan lipatan setiap lembar koran itu dan menyingkirkan lembar yang cacat. Ada sekitar 340 lembar yang bagus. Jadi, 3 kali sekian ribu rupiah, katanya. Saya menerima uangnya tanpa menawar. Ketika ia memasukkan koran yang dibelinya ke dalam keranjang bawaannya, saya masuk rumah karena telepon rumah berdering. Setelah selesai bertelepon saya keluar untuk mengambil koran yang cacat dan 40 lembar tidak dibelinya. Astaga, tidak ada yang bersisa. Semua sudah dibawa ibu itu. Saya jengkel. Kalau saja dia meminta sisanya tanpa membayar, saya tidak keberatan memberikannya.
Saya tidak menegurnya ketika esok hari ia melintas di depan rumah saya. Setiap ia menanyakan apa ada koran bekas, saya selalu bilang tidak ada walau tumpukan koran sudah setinggi lutut. Saya tidak bisa menjualnya kepada orang lain karena ibu ini satu-satunya pengepul koran bekas yang diijinkan masuk ke dalam komplek perumahan ini. Suatu pagi ketika akan pergi kebetulan kolektor sampah sedang mengambil sampah rumah saya. Inilah orang yang tepat, pikir saya. Bergegas saya mengambil koran bekas yang sudah rapi terikat dan memberikan kepadanya. “Pak, bawa ini sekalian,” kata saya. Wow, wajahnya mendadak saja bersinar. Hepi! “Matur nuwun,” katanya sambil membungkukkan badan.
Jika koran itu saya uangkan, tidak lebih 10 ribu rupiah nilainya. Tetapi melihat ungkapan sukacita di wajahnya, saya merasa seperti sudah memberinya uang 100 ribu rupiah. Dan itu membuat saya ketagihan. Saya mencari sepatu yang lama tidak saya pakai karena robek sedikit. Saya bawa ke kios tukang sepatu untuk memperbaikinya. Ongkosnya 2 ribu rupiah. Melihat sepatu yang telah kembali rapi ini, saya tergoda untuk memakainya lagi. Untung saya bisa mengalahkan godaan ini. Sepatu ini saya berikan kepada kolektor sampah itu. Begitu juga nasib pakaian saya yang lama menumpuk tak terpakai.
Memberi butuh pembelajaran. Jika kita belum mampu atau belum mau memberi uang, kita bisa melakukannya melalui pemberian barang yang masih punya nilai jual.
Mungkin untuk maksud yang sama sebuah gereja di Semarang menyediakan sebuah kotak di depan pintu masuk ruang ibadahnya. Kotak ini disediakan untuk menampung koran dan buku bekas yang dibawa oleh jemaatnya. Menurut koster gereja itu yang saya wawancarai, dalam sebulan koran bekas yang terkumpul jumlahnya berkisar 800 sampai 1000 kilogram.
Jadi? Terserah Anda. Bukankah yang yang utama dalam memberi adalah rasa senang?
(bersambung)
Serial Sekolah Memberi:
Kelas-2: Memberi dengan senang tetapi sedikit.
Belum ada user yang menyukai
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 3732 reads
tulisan yang bagus pur
judul yang lucu, heran koq ga ada yang komen yah? apa semuanya tertohok jadi malu2 untuk komen? hahaha...
ya, gue setuju, gue pun begitu. ketika memberi sesuatu, gue ga pernah merasa bahwa gue sedang mengasihi orang itu sesuai dengan yang Yesus ajarkan. tidak, gue cukup tahu diri untuk mengakui bahwa gue hanya sedang memuaskan ego gue.
"gue MEMBERI lho.... gue ini ORANG BAIK lho... gue ini CUKUP SUKSES jadi bisa memberi lho..."
hahaha :-)
Dennis, jangan menyaingi saya
jadi orang jahat. Tidak ada komen bukan berarti tertohok, tetapi karena banyak yang sedang sibuk dengan kopdarnas dan 17-an sehingga badan capek. Ini juga saya rasakan setelah tanggal 15 malam menginap di sebuah dusun di lereng Merbabu di ketinggian 1700 meter. Sekarang di rumah susah tidur karena merasa badan gerah.
Dennis wrote "gue MEMBERI lho.... gue ini ORANG BAIK lho... gue ini CUKUP SUKSES jadi bisa memberi lho..."
Statement di atas lebih berbicara kepada motivasi memberi, yang membuat saya teringat sebuah kejadian.
Seorang teman yang baru saja menyerahkan uang kepada saya (yang saya perkirakan hampir 20% dari penghasilannya) untuk proyek "Sekolah Gratis" mengajak seorang jemaat ikut serta dan mempertemukannya dengan saya. "Ia mau ikut menyumbang," katanya.
Orang itu juga saya kenal. Ia meminta saya terlebih dahulu menceritakan tentang proyek itu. Saya berkata, "Daripada kamu mendengar cerita yang sama untuk kedua kali, karena saya kira kamu sudah dengar dari teman kita itu, lebih baik kamu bertanya apa-apa yang kurang jelas."
Pertanyaan pertamanya membuat saya heran. Ia bertanya, "Apakah dengan SPP-nya digratisi maka anak ybs akan termotivasi untuk menjadi rajin belajar?"
Saya balik bertanya, "Menurut kamu, seorang anak SD bersekolah karena terpaksa dan dipaksa atau karena atas gairahnya sendiri? Di pihak orangtuanya sendiri, apakah ia menyekolahkan anaknya supaya jadi pandai atau agar ia lulus SD walau tidak pandai? Di tingkat yang lebih tinggi, di perguruan tinggi, apakah kita kuliah agar jadi pandai atau lebih mengutamakan dapat gelar S1-nya?" Dia tidak menjawab.
Karena kasihan, saya cerita mengapa saya terdorong untuk menyelenggarakan proyek itu. Ketika saya sampai kepada masalah BOS, ia bertanya "BOS itu apa?" Weleh, semangat saya langsung down. Ini orang tidak punya minat terhadap pendidikan. Dalam taktik wawancara saya diajari lebih baik menilai kecerdasan atau minat seseorang dari pertanyaannya, bukan dari jawabannya atas pertanyaan kita.
Selesai presentasi saya, ia berpesan agar saya memberinya proposal tertulis. Jawaban saya singkat saja, "Saya tidak pernah membuat proposal tertulis karena ini proyek pribadi sehingga saya tidak bisa membuat stempel surat."
Setelah ia pergi, saya panggil "calo"nya. "Mengapa kamu mengajak orang yang tidak punya minat terhadap pendidikan untuk ikut proyek Sekolah Gratis? Saya yakin ia tidak akan ikut."
Teman saya yang STh itu bercerita, "Ia bilang kepada saya bahwa pekerjaannya sekarang diberkati Tuhan. Kamu tahu sendiri tahun lalu ia hanya punya sepeda motor, sekarang kamu lihat sendiri ia punya mobil baru. Ia ingin menyumbangkan uangnya untuk menyantuni anak-anak yang kurang mampu."
"Sebaiknya ia mencari sendiri calon penerima uangnya."
"Itu sudah saya anjurkan. Tetapi, kalau ia melakukan sendiri 'kan orang lain tidak tahu ia sekarang sudah jadi orang sukses? Biasanya, orang sukses ingin orang lain tahu ia orang sukses."
Sekarang sudah lewat 3 minggu dan orang itu tidak menemui saya. Saya jadi teringat kepadanya karena statement Dennis yang telak.
Karena belum juga mengantuk, saya tambah satu kisah lagi. Di pintu gereja seorang pengurus beasiswa berbicara kepada seorang tante yang suaminya konglomerat. Tiba-tiba saja tante ini berkata dengan suara keras, "Aku tidak mau jadi donatur. Aku kasi tahu , aku sudah membayari semua anak panti asuhan XXX." Saya mengaguminya karena tahu panti itu jumlah anaknya lebih dari 40 anak. Jika 1 anak SPP-nya 250 ribu, maka setiap bulan ia menyumbang uang paling tidak 10 juta rupiah.
Suatu ketika saya dolan ke panti ini. Ketika pengurusnya mengeluh bahwa ia terpaksa memindah semua anaknya dari sekolah Kristen ke sekolah lain karena tidak kuat menanggung SPP-nya yang tinggi, saya berkata, "Maaf Bapak, bukankah seorang jemaat gereja saya bernama Ibu AAA sudah menanggung semua SPP anak-anak Bapak? Ini saya tahu karena saya mendengar sendiri dari mulutnya."
Bapak ini berpikir sejenak dan kemudian berkata, "Betul, ibu itu membayar semua SPP anak-anak. Tetapi untuk 1 kali saja, tidak seterusnya."
Selamat malam Dennis dan thx untuk provokasinya.