Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Masalah Kemampuan Berbahasa Indonesia
Kemampuan mendengarkan menjadi kemampuan berikutnya. Secara normal, seseorang sudah akan dapat mendengarkan bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh apa pun yang ada di sekitarnya. Namun, sebagai individu yang baru saja mulai bertumbuh, apa yang didengarkan tidak dapat langsung dikenali. Ada proses pengenalan terhadap apa dan siapa yang mengeluarkan bunyi. Hal ini, secara luar biasa, terasah dengan baik di sepanjang hidup manusia sehingga kita dapat membedakan siapa atau apa yang mengeluarkan bebunyian itu. Dengan cara seperti inilah kiranya seorang bayi dapat mengenali suara ibunya atau ayahnya.
Kemampuan berbicara menjadi kemampuan berikut yang dimiliki oleh setiap manusia. Hal ini diperolehnya sebagai bentuk peniruan bunyi bahasa sebagaimana dijelaskan di atas. Itulah sebabnya, seorang yang dalam masa kecilnya, atau yang terlahir dengan kecacatan dalam pendengaran akan menjadi orang yang tidak mampu berbicara.
Meski demikian, dari sudut bahasa nonverbal, kemampuan berbicara tampaknya sudah melekat dalam diri seseorang sejak ia lahir. Hal ini diwujudkan dalam bentuk tangisan. Ketika lahir, jerit tangisnya mulai mengarahkan dirinya untuk berbicara secara nonverbal. Itulah bahasa lisan pertama umat manusia. Dalam perspektif guru Seni Rupa saya dulu di SMU, jerit tangis bayi ini menjadi seni pertama yang ada dalam diri manusia, yaitu seni suara.
Kemampuan membaca menjadi kemampuan ketiga sekaligus kemampuan tingkat tinggi pertama sebelum menulis. Saya ingat bagaimana saya bisa membaca untuk pertama kalinya. Ketika itu saya belum masuk TK dan seorang saudara mengajarkan saya membaca -- dan hal ini membuktikan bahwa kemampuan membaca baru diperoleh setelah kemampuan mendengar. Ketika itu, saudara saya membacakan beragam kata dan huruf yang bebunyiannya sampai ke telinga saya. Lewat proses peniruan, saya bisa mengikuti sampai akhirnya bisa membaca sendiri.
Sebagai kemampuan tingkat tinggi tahap pertama, membaca menjadi kemampuan yang harus dimiliki dengan baik oleh seseorang sebelum masuk ke tahap berikutnya, yaitu kemampuan menulis. Herannya, kemampuan membaca di kalangan masyarakat Indonesia belumlah terlalu baik. Hal ini ternyata berdampak juga di lingkungan akademik. Coba saja simak pandangan dari Sapardi Djoko Damono, seorang sastrawan (Kompas, Senin, 6 November 2006).
Kita tentu saja boleh menuduh bahwa pengajaran bahasa Indonesia di sekolah ternyata tidak berhasil meningkatkan kemampuan berbahasa anak-anak kita seperti yang kita harapkan. Di perguruan tinggi kita latih lagi mereka agar penguasaan berbahasanya meningkat, tetapi ternyata dalam proses penulisan skripsi, tesis, dan disertasi pun mahasiswa kita tidak menunjukkan kemampuan itu, tidak terkecuali yang dikerjakan oleh dosen-dosen yang mengajar kemampuan berbahasa Indonesia.
Jelas saja kondisi seperti ini merupakan kondisi yang tidak baik. Karena bagaimana kita bisa mengharapkan masyrakat Indonesia bisa memiliki kemampuan berbahasa yang baik bila ternyata para pengajarnya pun masih belum memiliki kemampuan berbahasa yang mumpuni. (Hal ini mengingatkan saya pada seorang dosen mata kuliah Bahasa Indonesia yang menolak kritikan dari mahasiswanya hanya karena mahasiswanya belum bergelar sarjana.)
Tidak dapat dielakkan bahwa kemampuan membaca menjadi pintu menuju kemampuan menulis. Hal ini juga ditegaskan oleh sastrawan yang juga menjadi dosen pada Fakultas Ilmu Budaya UI ini.
Hal yang juga penting dibicarakan adalah pandangan yang mutlak keliru, yang menyatakan bahwa keterampilan menulis bisa ditingkatkan terlepas dari kemampuan membaca.
Saya berpendirian bahwa kemampuan memahami bacaan merupakan landasan utama, bahkan satu-satunya, bagi kemampuan menulis.
Pandangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketika seseorang mampu memahami suatu bacaan, ia akan memiliki suatu pengetahuan, katakanlah bank data di dalam otaknya. Bank data ini jelas sangat berguna ketika ia hendak menulis. Ibarat menabung uang di bank, membaca dapat dipandang sebagai kegiatan menabung ribuan kosakata di dalam otak kita, yang sewaktu-waktu dapat dikeluarkan kembali secara tertulis.
Itulah sebabnya, pada hemat saya, membaca harus merupakan kegiatan utama dalam mata kuliah Bahasa Indonesia.
Pandangan beliau sungguh masuk akal. Sayangnya, ketika berhadapan dengan kebiasaan, yang mungkin dibentuk dari budaya yang malas membaca, cita-cita mulia untuk menghasilkan mahasiswa dan masyarakat untuk terampil dalam menulis akan sulit diwujudkan. Boro-boro menghabiskan dua belas tahun, seumur hidup pun tidak akan bisa menghasilkan seseorang dengan kemampuan menulis dengan baik, bila kemalasan sudah membudaya dalam dirinya.
Memang, ada masalah lain yang membayangi kondisi ini. Budaya lisan di Indonesia tampaknya masih dominan. Tidaklah mengherankan ketika seseorang membaca buku, ia tidak dapat langsung memahami apa yang ia baca sampai seseorang menerangkan kembali isi buku tersebut secara lisan. Sehingga, pada akhirnya, tidaklah mengherankan bila kemampuan berbahasa Indonesia di kalangan masyarakat, termasuk masyarakat akademis, tidak menggembirakan.
Bagaimanapun juga, kemampuan menulis yang baik jelas menunjukkan kemampuan berbahasa yang baik pula. Karena ketika seseorang sudah mampu menulis dengan baik, hal ini menunjukkan tiga kemampuan dasar lainnya cukup terlatih dengan baik. Dan seluruh kemampuan berbahasa Indonesia ini tidak akan pernah bisa dikuasai bila tidak diiringi dengan dorongan dan semangat yang tinggi dari pribadi Indonesia itu sendiri.
Katanya, buku adalah jendela dunia. Nah, sudah berapa banyak buku yang kita baca tahun ini? Sudah berapa banyak yang kita pahami dari buku-buku tersebut? Jangan-jangan dunia kita hanya selebar daun kelor?
_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.
- Indonesia-saram's blog
- 7199 reads
lestarikan lisan