Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Haleluyah (Gali Kata Alkitab dari Tinjauan Tulisan Ibrani Kuno)

Hery Setyo Adi's picture

Kata “haleluyah” biasanya orang menerjemahkan “puji TUHAN”. Rekan saya bercerita bahwa dirinya baru tahu tentang arti kata “haleluyah” itu, yaitu “puji TUHAN”.  Alkitab terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) tahun 1974 yang dicetak ulang ke-61 setahun lalu, juga menerjemahkan ‘puji TUHAN”. Apa sebenarnya arti kata ini?

Dalam tulisan aslinya, yaitu Ibrani, kata “haleluyah” terdiri dari dua kata: “halelu” dan “yah”. Kata “yah” menunjuk kepada YAHWEH atau TUHAN, nama diri Allah yang benar. Sedangkan kata “halelu” berasal dari akar kata yang terdiri dari dua huruf “he” dan “lamed”. Huruf “he” pada awalnya adalah gambar seorang laki-laki dengan tangan ke atas melihat ke arah suatu penglihatan yang menakjubkan. Sedangkan huruf “lamed” pada mulanya gambar sebuah tongkat gembala. Tongkat dipakai sang gembala untuk menggerakkan kawanan binatang ke suatu arah. Dengan demikian penggabungan dua huruf “he” dan “lamed” itu berarti “melihat ke arah”.

Apa maksudnya “melihat ke arah”? Orang-orang pada jaman kuno biasa melakukan perjalanan, sebagaimana orang-orang jaman sekarang. Pada masa sekarang ada kompas, tapi dahulu kompas belum ada. Pada masa lalu, mereka menggunakan bintang utara sebagai pemandu. Bintang tersebut terletak di atas kutub utara. Bintang itu berbeda dengan bintang yang lain. Bintang lain terus beredar karena rotasi bumi. Bintang utara terus berada di tempatnya dan menjadi titik pusat dari gerakan bintang-bintang yang lain. Karenanya, bintang itu bisa menjadi penentu arah bagi manusia.

Dengan demikian apa arti kata “haleluyah”? Uraian di atas menjelaskan bahwa kata “yah” menunjuk Yahweh atau TUHAN, dan kata “halelu” berarti “melihat ke arah”. Jadi arti kata “haleluyah” berarti “melihat ke arah TUHAN”.

Pengalaman Israel

Mazmur 106 mengisahkan TUHAN itu setia. Karena itu, mestinya, bangsa Israel selalu “melihat ke arah TUHAN” supaya mereka tidak berdosa. Ketika bangsa itu menghadapi laut Tiberau sementara pengejaran tentara Firaun telah dekat di belakang mereka, bangsa itu takut, lalu mereka berbuat dosa (Mz 106:6-7; bdk. Kel.14:10-12). Jika bangsa itu “melihat ke arah TUHAN”, maka mereka tidak perlu berbuat dosa, sekalipun mengalami krisis yang berat. Beruntunglah mereka memiliki sang pemimpin seperti Musa. Musa berbicara kepada mereka, supaya bangsa Israel melihat keselamatan dari TUHAN (ay 13).

Jika bangsa itu “melihat ke arah TUHAN”, mestinya kasus-kasus berikut tidak perlu terjadi, seperti: napsu (ay 14), kecemburuan (ay 16-18), penyembahan kepada anak lembu emas (ay 19-20), menolak negeri yang dijanjikan Allah (ay 24), bersungut-sungut (ay 32-33), dan menajiskan diri dengan berhala-berhala (ay 19-20, 36-39).

Implikasi

Kata “haleluyah” tidak jarang telah menjadi latah bagi anak-anak TUHAN. Di antara mereka setiap kali mengalami hal-hal yang baik baru bisa mengatakan “haleluyah”. Bagaimana ketika mereka mengalami hal-hal buruk dalam hidupnya? Apakah mereka bisa mengatakan “haleluyah”?

Kupasan terhadap kata “haleluyah” di atas, membawa kita kepada suatu pengertian bahwa dalam menyikapi pengalaman yang baik maupun buruk  harus bisa menyatakan sikap “haleluyah”. Sebab, sebagaimana arti yang terkandung dalam kata “haleluyah” itu, kita mestinya selalu “melihat ke arah TUHAN”.  Yahweh atau TUHAN-lah yang mestinya menjadi penentu arah bagi manusia. Sebagaimana seseorang yang melakukan perjalanan membutuhkan “tahu arah” agar tidak tersesat, demikian juga orang dalam menjalani hidup harus “melihat ke arah TUHAN” agar tidak tersesat.

(Artikel ini ditulis oleh Hery Setyo Adi, yang dikembangkan dari artikel yang dimuat dalam Pelayanan via SMS dengan judul "Gali Kata Alkitab" edisi 2, Rabu 12 Maret 2008 dari nomor 085294397157)