Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

GWB 9 – DERITA CALON PENDETA (bag-2)

Purnomo's picture

                 Pak Budi bercerita juga tentang pelayanannya di pelosok Jawa Timur dan Palangka Raya. Sampai dia mengakhiri kesaksiannya, aku belum bisa memutuskan apakah dia bisa dimasukkan ke dalam “Cluster Teol”. Untuk memberi tambahan waktu otakku berpikir, aku mengulur waktu dengan berkata, “Pak, saya ke mari untuk minta maaf karena sewaktu donasi untuk Bpk dihentikan mendadak saya lupa memberitahu kepada Bpk sebelumnya.”
                “Saya sebetulnya ingin bertanya kepada mbak Ningsih tetapi saya sungkan mengatakannya,” jawabnya. Ningsih adalah penyalur santunan untuk para GWB di daerah selatan Semarang sampai Ungaran.



                “Sekarang boleh Bpk tanyakan kepada saya.”
                “Tak perlu, karena pertanyaan itu sensitif.”
                “Bpk ingin bertanya mengapa donasi itu dihentikan?”
                 Dia tidak menjawab.
                “Ada 3 jawaban yang bisa Bpk pilih di antaranya. Satu, karena purnomo kehabisan uang. Dua, Ningsih tidak meneruskan uang yang saya titipkan (ini tidak mungkin karena ada kwitansi yang harus ditandatangani penerima dana). Ketiga, donasi itu dialihkan kepada yang lebih membutuhkan.”
                “Saya memilih jawaban ketiga.”

               “Nah, sekarang giliran saya mengajukan pertanyaan sensitif. Bpk boleh jawab boleh tidak. Bpk dan Ibu bekerja sebagai Guru Wiyata Bakti di SDN. Berapa honornya?”
               “Istri saya dapat 400 ribu, saya 300 ribu.”
               “Sebagai pendeta, honor Bpk jumlahnya tetap atau tidak tetap?”
               “Tidak tetap.”
               “Berarti honor ditentukan oleh jumlah persembahan yang masuk?” Dia mengangguk. “Kalau tahun lalu UMR kota Semarang, katakanlah 1,1 juta, apakah honor Bpk di atasnya?” Dia mengangguk. “Di atas 1.5 juta?”
               “Tidak tentu. Bisa 1 juta pernah juga 2 juta.”
               “Rata-ratanya?”
               “Ya di antara 1 juta sampai 2 juta itu.”
               ‘Somewhere between’ itu ya bukan ‘averagely’. Apa dia berkelit? Belum tentu. Pengalamanku bergaul dengan pendeta pedesaan membuatku mengerti bahwa tidak setiap mereka tahu akuntansi, bahkan yang sederhana. Ada yang sampai aku ajari cara membuat buku kas gereja.

              “Bisa saya melihat ruang ibadah, Pak?” tanyaku.
               Aku dipersilakan masuk. Ada seperangkat alat band. Di sebelah mimbar ada layar kecil multimedia. Aku mendongak, ada proyektor tergantung di atas. Apa ini sebuah indikator gereja itu berkecukupan? Belum tentu. Gereja-gereja kecil di pedesaan itu ‘guyub’, mau berbagi lintas denominasi. Di Kabupaten Demak sebuah gereja bila mendapat sumbangan over head projektor baru, yang lama diberikan kepada gereja yang lain.

               Dua tahun yang lalu istrinya bercerita mereka sekeluarga baru pulang dari Nias menengok kampung halaman. Ongkos dari hasil menabung? Tidak. Dari seorang yang membelikan tiket pesawat Semarang-Jakarta-Medan pp.

               Di dinding belakang tertempel beberapa lembar kertas pengumuman. Satu di antaranya adalah tabel jumlah persembahan setiap bulan selama tahun 2014. Kebanyakan berangka 6 digit. Kalaulah beberapa 7 digit bila ditambah dengan 700 ribu honor sebagai GWB tidak mencapai 2 juta rupiah.




          “Kalau melihat tabel ini hidup Bpk berkecukupan ya?”
          “Berkat Tuhan selalu cukup.”
          “Cukup apa cukup, Pak? Kayaknya tidak rohani bagi seorang pendeta untuk berkata ‘kurang cukup’. Tetapi masih boleh ‘kan bilang ‘agak berat’?”
           Dia tertawa. “Ya begitulah. Apalagi sekarang adik perempuan istri saya ada di sini. Ditambah 1 mahasiswa praktek.”
          “Apalagi bila telur dari kandang ayam yang berlerot di halaman samping gereja kadang hanya cukup buat lauk pagi saja,” sambung saya. Dia tergelak.
 
           Ibadah Minggu gereja ini dihadiri tidak lebih 50 orang. Tetapi gereja ini terletak di daerah yang sedang berkembang bisnis propertinya dan harga tanah cepat naik. Gereja kecil ini bahkan sudah ber-IMB walau belum bisa membangun gambar bangunan yang tertera di IMB-nya. Kembali duduk di teras gereja aku menyodorkan notes meminta nomor rekening tabungannya. “Mungkin saya bisa bantu-bantu kalau ada rejeki, Pak.”

          “Saya tidak punya buku tabungan. Bisa memakai punya istri saya?”
           Sekarang jelas sebabnya mengapa dia tidak tahu tepat jumlah penghasilannya setiap bulan.
          “Bisa Pak.”
           Dia membawa notesku ke dalam pastori.
           Semoga donasi yang akan aku kirim boleh menjadi tanda baginya bahwa dia tidak berjuang sendirian di sini. Masih ada saudara-saudara seimannya yang peduli kepadanya.

                                                             (Minggu 02.08.2015)