Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Guru-guru TK (cuma satu posting aja kok)
huhuhu.. stop menjadi blogger yg kayak korban penggusuran
Di TKku, TK Widya Wacana di wilayah kalurahan Warung Miri, seingatku ada tiga guru. Paling tidak tiga itulah yang kuingat betul. Yang pertama adalah Bu Tik, entah siapa nama lengkapnya. Dia ini boleh dibilang adalah guru TK yang paling dekat denganku. Kalau sekarang aku lihat fotonya yang diambil ketika ada acara pertunjukan sulap di TK kami, Bu Tik itu meski masih muda, tapi orangnya hitam, tidak cantik, kasarnya berwajah ndeso, mbak-mbak banget. Itu sih sekarang, tapi kalau dulu, yang aku tahu Bu Tik ini sabar, baik, dan penuh perhatian padaku. Ketika di TK, aku pernah be ol di celana, rasanya dialah yang menanganiku, meski sejurus kemudian mamaku juga datang antara lain dengan membawa celana bersih. Kalau aku belum dijemput, sementara anak-anak lain sudah pulang, seingatku Bu Tik ini akan selalu mengawasiku dari dalam ruang kantornya. Aku juga ingat bahwa Bu Tik ini juga yang membangkitkan semangatku agar tidak lekas putus asa dalam belajar membaca. Ia selalu duduk di dekatku dan membimbing secara khusus terutama ketika guru di depan mengajak seluruh kelas membaca keras bersama-sama.
Meski aku lebih dekat dengan Bu Tik, keluargaku justru lebih dekat dengan dua guru yang lain. Yang pertama adalah Bu Kris. Aku pikir tidak ada murid Bu Kris yang akan melupakan dia. Bu Kris orangnya sangat gendut, kulitnya putih, suka tertawa, kalau tertawa matanya yang sipit sampai tertutup dan lipatan-lipatan lemak di wajahnya juga membuatnya tambah lucu dan terlihat ramah. Bu Kris ini orangnya juga sabar. Yang paling kuingat tentang Bu Kris adalah dukungannya ketika aku mengikuti lomba menggambar. Untuk lomba menggambar ini perlu kuceritakan sedikit. Aku masih sangat ingat apa yang kugambar, bahkan sekarangpun aku masih bisa menggambarkannya lagi. Yang kugambar adalah tank warna hijau, dengan berbagai atribut bendera merah putih di badannya, yang sedang berada di medan perang yang seperti padang pasir, dengan berbagai ledakan di sekelilingnya. Aku tak ingat kenapa aku bisa menggambar seperti itu. Yang jelas, sebelum disuruh ikut lomba, bersama temanku Michael, aku sempat dipanggil berdua dan disuruh menggambar. Aku tak yakin kalau yang kugambar di ‘seleksi’ itu adalah tank tersebut. Namun, singkat cerita, akulah yang ditunjuk mewakili TK kami untuk ikut lomba gambar. Sebelum ikut lomba, aku dilatih dulu. Nah, sepertinya di situlah aku diarahkan oleh seorang guru gambar (?) untuk menggambar tank ABRI sedang berperang di padang gurun itu. Di lomba pertama, aku berhasil meraih peringkat (entah peringkat berapa, tapi jelas bukan juara satu). Hadiahnya antara lain alat tulis, buku gambar, dsb. Setelah lomba itu, ternyata ada lomba lain lagi. Kali ini nampaknya levelnya lebih tinggi. Tapi, entah mungkin karena mengenang keberhasilan yang kemarin, atau memang biar mudahnya saja, di lomba gambar itu, aku disuruh (disuruh guru-guru atau siapa ya?) agar membuat gambar tank yang sama saja. Ya, kali ini aku tidak meraih apa-apa. Yang menang di lomba itu, aku ingat namanya adalah Robet Bonus yang menggambar suasana pasar tradisional. Kenapa aku masih ingat namanya adalah karena memang waktu itu aku merasa kesal dengan dia, apalagi setelah gambarnya itu dikirimkan oleh sekolahnya ke majalah Bobo.
Kembali lagi ke Bu Kris. Aku ingat bahwa di lomba kedua di mana aku tidak meraih apa-apa itu, Bu Kris mengantar dan menjemputku. Di lomba kedua itu, memang tidak ada satupun keluargaku yang ikut untuk mendukung atau mengantarku. Setelah lomba selesai, aku langsung diantar ke sebuah tempat di mana keluarga dan bahkan saudara-saudara yang jarang kutemui sudah ada di sana, semuanya berpakaian putih-putih, termasuk aku yang kemudian langsung disuruh ganti pakaian. Tempat itu bernama Rumah Perabuan Tiong Ting. Rupanya di hari lomba itu, pamanku meninggal dunia. Jadi, pantas saja seluruh keluargaku sibuk. Menanggapi pengumuman bahwa aku tidak memenangkan apa-apa di lomba kedua itu, Bu Kris pun menghibur aku yang kecewa karena tidak dapat apa-apa “nanti hadiahnya dari mamah papah saja ya…” Tapi mama papaku ternyata memang tidak memberiku hadiah apa-apa.
Guru ketiga adalah Bu Naomi. Dia adalah mamanya Yiska, yang juga sekelas denganku waktu TK dan SD. Bu Naomi mulutnya agak ‘perot.’ Kakakku sering membohongi aku tentang sosok Bu Naomi yang juga pernah jadi gurunya itu. Dia bilang Bu Naomi mulutnya agak “perot” karena dulu pernah kena tendang waktu latihan karate. Tak jelas apakah memang Bu Naomi memang bisa karate, bahkan ketika SD pun aku meragukan informasi itu. Di lain waktu kakakku juga pernah bercerita bahwa Bu Naomi pernah mengajarkan sebuah lagu berjudul “Saya Cacingan.” Kakakku yang ini waktu kecil memang suka mengarang-ngarang lagu, dia pun menyanyikan lagu “Saya Cacingan (diucapkan “saya cacingen”)” itu, liriknya “saya cacingen.. saya cacing.. cacingen.. saya cacing..cacing.. cacing.. cacing.. cacingen.” Nadanya adalah sama seperti nada sebuah lagu sekolah minggu klasik yang aku lupa judulnya. Waktu itu aku sih percaya meski mama juga sempat menegur waktu mendengar kami menyanyikan lagu itu “hus, lagu opo kui??” Bu Naomi tidak pernah mengajarku, bagiku dia tak lebih dari mama temanku selain juga teman keluarga dan kemudian juga pernah jadi tetangga. Ia juga menurutku tidak sesabar dua guru di atas. Langkahnya yang seakan selalu terburu-buru, senyumnya yang “perot” dan kacamata warna coklatnya membuat dia nampak agak galak.
Sebagai tambahan, di TK juga ada ibu kantin, namanya Bi Sandi (diucapkan Bik Sandi). Ibu-ibu yang sudah tua, selalu pakai kebaya, berkacamata tebal warna coklat, istrinya pak bon sekolah kami. Ia selalu kuasosiasikan dengan salah satu tokoh ibu-ibu tua di serial si Unyil, sayangnya aku sekarang lupa namanya, mungkin Mak Ijah. Bi Sandi ini juga menurutku agak galak. Satu hal yang kuingat adalah dia pernah menegur seorang anak yang sedang beli jajan karena rupanya tidak sopan karena terus berteriak-teriak minta dilayani. “Ya, sebentar to, apa tangannya Bibi sepuluh” katanya. Sejak itu aku agak takut dengan Bi Sandi. Ya aku memang mudah jadi penakut. Memang aku sendiri jarang jajan di warung kecil yang antara lain menjual bihun, permen, asem, dsb. Sepertinya aku lebih sering makan bekal dari rumah atau jajan di PKL depan sekolah.
Segitu dulu mengenai guru-guru TK. TK mungkin sering tidak dimasukkan dalam kategori sekolah yang sebenarnya, juga para guru-guru TK sepertinya juga jarang ikut mendapat sebutan seperti pahlawan tanpa tanda jasa, pembimbing generasi penerus bangsa, dsb. Mungkin karena TK masih dianggap tidak mengemban misi negara karena pengelolaannya yang dari inisiatif swasta, mungkin karena pemerintah atau juga banyak orang di negeri ini masih banyak yang belum paham mengenai tingkatan perkembangan manusia, mungkin karena pekerjaan guru TK dianggap mudah, tidak perlu mikir, yang penting sabar, mungkin karena sampai sekarang masih begitu meriah gembar-gembor bahwa guru (mungkin selain guru TK, dosen, guru silat, dll) sebagai orang yang penuh pengabdian, dedikasi, mulia, sederhana, dsb. Yang terakhir ini, bukannya aku ingin menolaknya mentah-mentah, bagaimanapun aku tetap menghormati banyak guru. Kebetulan juga banyak teman yang sekarang jadi guru. Tapi sebagaimana manusia biasa, guru juga memiliki sisi-sisi jelek bahkan sisi liar. Rangkaian catatan tentang guru-guru di sekolah dulu ini tidak kumaksudkan untuk apa-apa. Aku hanya ingin membuka tumpukan album foto itu, menyusunnya menjadi fotonovela kalau bisa, bukankah itu selalu merupakan kegiatan yang menyenangkan?
lengkapnya di sini
- y-control's blog
- 9580 reads