Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Guru-guru SD (bag 5 - dan lain-lain)
Aku juga ingat dengan pak Hono, dia adalah penjaga sekolah. Ia sudah sangat tua, memakai topi hansip dan berkemeja batik. Karena aku sering telat dijemput, pak Hono cukup hapal denganku. Bersama anak-anak lain, tas selalu kutaruh untuk dititipkan, kadang dengan tidak teratur, di depan, bawah, atau belakang meja tempat pak Hono duduk menjaga sekolah. Mestinya ia sering kesal atau khawatir dengan tas yang digeletakkan begitu saja oleh anak-anak yang belum mengenal tanggung jawab itu. Bagaimana kalau ada tas yang hilang atau paling tidak isinya hilang? Bukankah ia yang pasti akan pertama disalahkan oleh orangtua atau bahkan anak yang sembarangan itu tadi? Aku baru menyadari betapa aku menyusahkan pak Hono yang kadang memang harus marah-marah (sehingga kami kemudian menganggap dia galak) karena hal itu, kini di mana pun ia berada saat ini, maafkan saya Pak... Pak Hono, penjaga sekolah di SD dan TK jelas sangat sangat berbeda dengan bapak satpam yang menjaga SMP. Satpam itu memiliki gardu khusus, jaraknya hanya sekitar 7 meter dari bangku dan meja pak Hono. Satpam itu botak, hitam, beralis tebal, bahkan sepertinya dari kawasan timur Indonesia, dan masih muda. Mungkin karena menghadapi anak SMP lebih banyak tantangannya.
Kantin di sekolahku ada dua. Yang satu semestinya untuk SD, tempatnya jauh lebih kecil, sementara yang satu untuk anak SMP, meski anak SD juga sah-sah saja jajan di situ. Aku lupa penjaga di kantin SD, namun untuk yang berjualan di kantin SMP, aku ingat seorang wanita tua, gemuk, dan berkebaya putih, serta jarang kulihat ia berdiri apalagi berjalan, meski ia tidak lumpuh. Wanita itu dipanggil dengan sebutan 'encim.' Tampaknya ia adalah yang memiliki kantin itu, karena dia yang memegang kas. Duduk di balik meja dagangan yang panjang, yang bergerak hanya tangannya yang gemuk. Sementara di depan ada beberapa orang, tua dan muda yang melayani pembeli. Kantin di SMP lebih lengkap dan lebih disukai kalau Mama mentraktirku. Penyebabnya adalah di situ dijual masakan berkuah seperti soto, bakso, dan timlo meski porsinya tidak begitu banyak. Hingga aku kelas dua atau tiga, masih ada semangkuk soto tanpa nasi seharga 50 rupiah. Tidak begitu banyak tapi cukup untuk mengisi perut. Kalau ingin lebih kenyang, ada timlo atau soto campur nasi yang semula berharga Rp.75 lalu naik menjadi 100, kemudian 150 dan waktu aku kelas 6 menjadi 200. Jajanan di depan sekolah juga banyak. Salah satu yang cukup sering kubeli adalah es cendol pak Sadinu. Kadang saking kepinginnya, di siang yang panas, aku merelakan uang ongkos angkotku dipakai untuk membeli es yang antara lain terdiri dari janggelan, cendol, nangka, kacang hijau, semacam manisan buah kecil-kecil warna hitam, dan susu bendera. Harganya pernah 75 rupiah, lalu meningkat 100, 125, dan terakhir 150 rupiah. Jajanan lain yang di depan juga banyak yang kugemari seperti terang bulan, leker, gandos rangin, arum manis, babi kuah yang diwadahi daun, dll. Beberapa penjual ada juga yang agak seperti penipu. Biasanya penjual yang seperti itu masih muda, mangkalnya tidak lama, tidak bertahun-tahun seperti yang lainnya dan dagangannya juga mahal. Mereka ini misalnya penjual susu dalam kemasan yang mereknya aku lupa, juga seorang pemuda yang membawa berbagai macam game watch untuk disewakan. Beberapa game dihargai beberapa rupiah. Sebenarnya itu sah dan halal, namun banyak orangtua dan guru yang tidak suka karena membuat anak boros dan lupa waktu. Jelas, saat itu belum ada yang membayangkan akan ada playstation atau game online yang bisa membuat orang tanpa sadar bermain non-stop selama berhari-hari.
Weuw, ternyata panjang sekali tulisan tentang SD ini. Padahal masih cukup banyak yang bisa kuceritakan lagi, hanya saja sepertinya aku belum ingin. Tapi, tulisan panjang ini sudah mencakup cukup banyak tentang masa-masa SD-ku, terutama yang berhubungan dengan para guru-gurunya. Tentang teman-teman waktu SD jelas akan jauh lebih banyak dari ini. Tapi, mungkin kali ini aku membicarakan tentang guru dulu. Beberapa guru jelas ada, tapi aku lupa nama-nama mereka. Asal aku bisa mengingatnya, kalau sempat akan aku tambahkan lagi ke dalam tulisan ini. Tentang para guru waktu SMP bisa jadi akan lebih panjang lagi tulisannya, mengingat ingatanku lebih segar, gurunya lebih banyak, dan pikiranku sudah lebih mengerti ketimbang sebagai anak SD, tentu saja. Meski panjang, aku cukup senang saat menuliskan semua ini. Sebelumnya aku sempat melihat-lihat dan mencari di Google tentang berapa banyak tulisan mengenai para guru SD Widya Wacana ini telah dituliskan para mantan muridnya. Sejauh yang kutemukan, aku baru menemukan dua tulisan di dua blog saja, itupun relatif pendek-pendek. Aku kira, dengan segala kelebihan dan kelemahan mereka, dengan segala pengalaman baik dan pengalaman buruk yang pernah dialami murid-muridnya, para guru itu harusnya dikenang secara lebih pantas. Inilah caraku mengenang mereka, baik untuk mereka yang masih aktif, yang sudah pensiun, yang sudah alih profesi, dan terutama untuk yang sudah tiada, serta terkhusus untuk para mantan wali kelasku.
- y-control's blog
- 6590 reads
Cari temen nich...
Bisa tolong infonya kalau tahun 80an ada nama guru agama di SD namanya pak Zakaria, bagaimanan beliau sekarang?
Pingin kontak2 ama temen2 lama yang hampir lupa...(sayang ya..) Ada yang kenal dengan : Daniel di Nusukan kalau sekolah pake spd mini, Henry di gondang (pinter selalu juara), Mien Purwanti ( kecil, putih..tapi pinter), Amelia (BienBien) tinggi posturnya rumahnya di deket GBIS kepunton, Ruth Faraya, dll.. tak lupa Si hitam manis Rebecca.. dan Maria Enny setyawati, nduut..hehehe yang ini suka sebangku ..baik orangnnya.,,Ah nostalgia..kalo ada dan bisa mengadakan reuni alumni pasti seru.
Sampai disini dulu ..jika ada waktu disambung,
mudah2 ada yang baca dan ketemu teman lama yang masih kenal..bisa saling kontak2 lagi..
guru SMP
Ini ada informasi tambahan untuk nostalgia...
Guru SMP Widya Wacana I Pasar Legi ada : Ibu Dian , Ibu Debora Lina K, Ibu Diah (Guru Karawitan), Pak Darmoko (Guru Matematika), Bu Sri V - Guru Ketrampilan, Bu Yulianti (Guru Geografi dan Ekonomi), Pak Mulyadi (Guru PSPB), Pak Michael Nenobais (Kepala Sekolah dan Guru Bahasa Indonesia), Pak Mardi (Guru Bahasa Indonesia), Pak Eko (Guru Agama), Pak Yunianto (Agama) Pak Budi S. Marsudi (sekarang Pendeta), Pak Benny Harahap (Agama) Pak Sis (Guru Bahasa Daerah- dulu sering dipanggil Mbah karena beliau sudah tua), Pak Mardi (karena ada 2 Pak Mardi seking dijuluki Pak Mardi kurus dan Pak Mardi pendek), Ibu Henriette (Guru Bahasa Ingris yang lucu - karena beliau dari Kalimantan katanya orang Dayak suka makan telinga orang), Bapak I.M. Sukono (Guru Musik), Ibu Hartati (Guru PMP), Pak Liem (Guru Olah Raga), Bu Rossy (guru BP), Pak Josti (Guru BP), Pak Hindarto (Guru Menggambar).
Apakah ada yang tahu anak Ibu Henriette (Guru Bahasa Ingris) namanya Ferry, adalah teman sekelasku dulu..suka main bersama.