Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Diaz
"Apa kabar? Vero sudah belajar berdiri. Diaz tambah besar." hanya itu bunyi SMS kakak tertuaku. Jarang sekali ia menanyakan kabarku, dan akupun sama sekali tidak pernah mengirimkan SMS duluan. padahal, dua tahun lalu, waktu aku pulang kampung, ia sengaja pulang juga untuk menemuiku. Lima tahun kami tidak bertemu. Aku juga tidak datang pada pesta pernikahannya.
Aku hanya mendengar cerita dari adik-adikku, bagaimana ayah berkata "Langsung ke pokok pembicaraan saja!" ketika pihak keluarga pria melamar putri sulungnya. Ayah tidak suka sesuatu yang bertele-tele, termasuk ketika orang datang melamar anaknya, yang mengikuti aturan ada, ngomong kesana kemari, menanyakan kabar, dan segala tetek bengeknya. Ayah akhirnya bosan, apalagi beberapa hari sebelumnya sudah dikasih tahu maksud kedatangan ini. Sehingga akhirnya ia tidak tahan prosedur turun temurun ini. Akhirnya berkata, "Langsung ke pokok pembicaraan saja."
Juga mendengar cerita adik-adikku tentang liku-liku percintaan itu. Ketika kami berpisah lima tahun sebelumnya ia pacaran dengan seorang pria yang menulis, "pekerjaan : programmer" di sebuah kartu nama. Setahuku programmer tidak sama dengan orang yang merakit-rakit komputer.
Kisah cinta itu berliku-liku, tetapi aku tahu kakak tidak pernah menyesali keputusannya ketika terpaksa memutuskan cowok tersebut. Lalu menjalin hubungan dengan pria yang akhirnya menjadi suaminya. Kami semua bersyukur atas keputusan tersebut.
Sebenarnya, aku belum pergi waktu pria yang sekarang menjadi suaminya mendekati kakak, ia tahu kakak sudah punya pacar. Namanya Surya, mendekati kakak waktu Pra-Jabatan PNS. Mereka sama-sama guru. Aku lebih suka kakakku pacaran sama guru daripada tukang rakit komputer yang ketahuan menjual komputer Celeron 800 kepada orang yang meminta Pentium III 800.
"Selama janur kuning belum terpancang, tidak ada larangan untuk mendekatinya." kata-kata ini keluar dari mulut Surya ketika dikasih tahu kakakku sudah punya pacar. Adik-adikku yang bercerita. Mereka dengar sendiri cerita dari orang yang memberi peringatan tersebut -- Dunia memang kecil.
Singkat cerita mereka menikah.
Aku baru bertemu dengan Surya setelah putra mereka berumur setahun. Waktu itu aku mendapat telpon dari seseorang bernama Surya, berkata: "Aku Surya, sedang penataran di Jogja!" Aku bingung siapa Surya yang memintaku datang menemuinya di daerah Prambanan. Untung saja aku segera ingat adikku tentang kakak impar bernama Surya. Bukan karena aku terlalu peduli sehingga tetap ingat nama itu, tetapi karena ada cerita di balik nama itu. Adikku berkata, "namanya cocok, karena orangnya sedikit hitam."
Sebenarnya malam itu aku agak bosan karena si ipar ini hanya bercerita tentang putra mereka si Diaz. Bagaimana anak berumur setahun yang masih merangkak menjatuhkan beberapa bantal, menggunakannya sebagai tangga untuk turun ke lantai.
Dalam hati aku berkata, "Semua anak di dunia menganggap anjingnya yang paling pintar, semua ayah di dunia menganggap anaknya yang paling pintar."
Ia tidak bercerita tentang kenakalan Diaz. Tetapi beberapa tahun kemudian aku mendengar cerita versi lain, dari adik-adikku serta dari ibu.
Aku hanya mendengar cerita tentang Diaz kecil yang sangat nakal. Tidak pernah bisa diam. katanya seperti si anakpatirsa kecil. Waktu ayah sakit, Diaz dibawa supaya ayah terhibur melihat cucu pertama yang tidak pernah dilihatnya. Sayang sekali penyangga inpus ayahpun ditariknya. Diaz benar-benar sudah kena blacklist dari para saudara sepupu jauh.
Waktu aku di kampung setahun yang lalu, mendapat kabar bahwa kakak dan anaknya Diaz akan datang. Jika dulu Diaz dibawa supaya ayah bisa melihatnya, maka sekarang ia dibawa supaya aku bisa melihatnya.
Pengaruh sebuah cerita sangat besar, aku melihat kakakku datang sambil memegang seorang anak kecil bertubuh tampak sangat sehat. Tetapi cerita kenakalannya membuatku tidak berani terbuka lebih dahulu. Aku baru menyalami tangannya setelah kakak berkata, "Ayo salaman sama om." Entah apa yang membuatku menjaga jarak dan tidak berani langsung menggendongnya.
Tapi cerita tentang kenakalan Diaz tidak terbukti. dia benar-benar jadi anak manis. Sampai aku berkata kepada adikku Dein yang juga ikut pulang, "Diaz tidak nakal kok!" Aku melihat adikku ini mulai mengamankan benda-benda yang bisa pecah, serta menyembunyikan mesin jahit. Sebelumnya ia berkata "Diaz tidak boleh melihat benda yang bisa berputar."
"Masih belum, sebentar lagi, tunggu beberapa jam lagi." hanya itu kata-kata adikku sambil terus mengamankan benda-benda yang bisa pecah, termasuk Guji Cina peninggalan kakek.
Benar! Dua jam kemudian, sifat asli Diaz kelihatan. Kejadian pertama terjadi di tangga rumah yang pernah kulompati waktu kecil. Ia penasaran naik turun tangga ini, supaya ada alasan, ia melemparkan mobil-mobilan kecil yang diberikan ibu. Berkata, "ambin mobin" lalu turun. Artinya karena mainannya berada di tanah ia harus turun untuk mengambilnya. Cuma ini diulang beberapa kali sampai ia bosan.
Setelah bosan naik turun tangga, giliran mesin jahit yang ternyata tidak tersembunyi dengan baik. Pedalnya diinjak-injak, untung benang dan jarumnya sudah diamankan.
Tidak tahu mengapa aku malah senang dengan semua 'kenakalan' tersebut, Aku malah menemani Dias bermain. Kuberikan engsel pintu, ia mengganggapnya sebagai mobil dan menyukainya. Mobil plastik yang diberikan ibu sudah tidak ada bentuknya bahkan tidak ada yang tahu dimana sekarang. Kemungkinan sudah dilempar ke samping rumah berharap ada alasan jalan-jalan di samping rumah, bukan hanya di bawah tangga.
Hampir terjadi kecelakaan di hari kedua. Kami sudah begitu dekat, sehingga setiap ada barang "aneh" yang kutemukan, akan kutunjukkan kepadanya. Termasuk sebuah senapan angin rusak. Sudah sepuluh tahun senapan ini rusak, aku tahu itu karena aku yang merusakkannya. Jadi kupompa dan kutarik pelatuknya, aku tahu tidak berfungsi karena pernah kubongkar dan tidak bisa kukembalikan dengan benar. Untung aku tidak mengarahkannya kearah Diaz atau orang lain. Ada peluru yang menghantam langit-langit rumah.
Ternyata, lima tahun tidak pulang membuatku tidak tahu ayah sudah memperbaikinya sebelum terserang stroke. Terakhir kali memakainya lupa mengeluarkan peluru.
Malamnya aku sulit tidur, selalu memabayangkan apa yang terjadi jika senapan itu kuarahkan ke Diaz. Waktu kecil aku pernah melihat tetanggaku menduduki senapan angin. Iseng diam-diam kutarik pelatuknya, pelurunya melesat 1 cm dari betis seseorang yang duduk 5 meter di situ. Aku menjadi ketakutan karena kenangan menakutkan ini, juga waktu kecil melihat seorang anak yang main-main dengan senapan angin yang lalu mengenai mata seseorang.
Walaupun tidak bisa lagi berkomunikasi, ayah sepertinya takut melihat Diaz membawa senapan itu kemana-kemana. Ia tidak tahu kemarin hampir terjadi sebuah kecelakaan. Ayah sepertinya berusaha mengatakan "Jangan biarkan ia bermain dengan senapan itu. Itu sudah tidak rusak lagi, sudah diperbaiki." - Sepertinya ayah tahu aku memberikan senapan itu karena mengira masih rusak. Butuh beberapa waktu bagi ibu menjelaskan kalau senapan ini sudah tidak berbahaya. Tetapi akhirnya kami memutuskan memang lebih baik Diaz tidak bermain dengan senapan angin.
Bercerita tentang Dias tidak akan ada habis-habisnya. Aku hanya ingin mengatakan aku merindukan Diaz, dengan segala tingkahnya. Seringkali aku ingin Diaz tetap menjadi anak kecil yang tidak pernah bisa diam. Tetapi ketika aku melihatnya lagi ia pasti sudah besar. Sekarang ia sudah besar seperti kata ibunya. Setahun lalu aku menelpon ke sekolah tempat kakakku mengajar dan orang yang menjawab berkata, "Ia sedang mengantar Diaz ke TK."
Diaz ternyata sudah besar tetapi aku merindukan segala kenakalannya.
"Apa kabar? Vero sudah belajar berdiri. Diaz tambah besar."
Aku menjawab: "Baik-baik saja. Sering ingat kembali saat bermain sama Diaz waktu pulang dulu."
- anakpatirsa's blog
- 5372 reads
Another One From anakpartisa
Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
batu karang, ombak dan kapal