Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Andi
Andi. Demikian ia akrab disapa. Seorang anak berumur sembilan tahun. Tubuhnya kurus tinggi dengan rambut keriting hitam kemerahan akibat terbakar matahari. Ia adalah salah satu pengemis yang biasa mangkal di lampu merah itu. Setiap hari mulai dari jam 7 pagi hingga jam 7 malam, tak henti-hentinya ia menadahkan tangan untuk meminta belas kasihan orang-orang yang berlalu lalang di jalan itu. Kadang usahanya berhasil tapi sering juga ia menahan kecewa karena orang-orang hanya menggelengkan kepala atau memberi isyarat tangan yang berarti ‘tidak’.
Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, ia sangat tidak menginginkan pekerjaan itu. Ia malu. Tapi apa boleh buat, hanya itu yang bisa dilakukannya untuk membantu ibu dan kedua adiknya.
Saat ini, mereka memang hanya tinggal berempat. Di sebuah rumah mungil yang sangat sederhana. Berdinding anyaman bambu dan beralaskan tanah. Sering, saat musim penghujan tiba, air masuk dengan leluasa, menimbulkan genangan dan menambah dingin hingga semakin menusuk tulang.
Ayah Andi yang berprofesi sebagai tukang batu sudah meninggal satu setengah tahun yang lalu akibat penyakit asma yang telah lama dideritanya. Dan sejak itu, hidup keluarga ini terasa semakin berat. Tidak ada lagi sumber nafkah bagi keluarga. Karenanya, Ibu Andi kemudian membuka warung sederhana di depan rumah. Walau penghasilannya pas-pasan tetapi Ibu Andi tidak menyerah.
Situasi ini membuat Andi harus mengambil keputusan yang sulit. Ia berhenti dari sekolahnya. Ia tidak ingin menambah beban yang sudah terlalu berat disandang oleh ibunya. Apalagi jika melihat adik-adiknya yang masih sangat muda. Ia ingin bekerja tapi harus bekerja apa? Setelah menimbang-nimbang sekian lama, akhirnya, ia menetapkan hati untuk menjadi pengemis. Awalnya memang sangat berat apalagi jika secara tidak sengaja harus berpapasan dengan teman-teman SDnya. Rasanya, ia ingin segera menyembunyikan wajahnya karena malu.
Dan seperti hari-hari yang telah berlalu, siang itu, Andi bersama teman-temannya sedang mengemis di jalan itu. Matahari yang cukup menyengat tak dirasakannya. Namun tiba-tiba suasana berubah. “Ada petugas… ada petugas!” demikian teriak salah satu temannya dengan suara cukup keras.
Impian meraih sekeping rejeki musnah sudah. Semua berlari tak tentu arah. Menghindari kejaran para petugas berseragam coklat yang berwajah bengis. Pun dengan Andi. Namun malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Karena rasa takut yang sangat, Andi tidak hati-hati. Ia tidak melihat sebuah mobil yang melintas cukup kencang di sampingnya. Dan… “brakkkk…!!!” sebuah hantaman keras membuat tubuh Andi melayang dan jatuh tepat di hadapan sebuah truk yang juga tengah melaju dengan kencang. Tak ayal, roda truk itu pun melindas tubuh Andi. Kepalanya remuk. Darah segera mengalir bagaikan mata air. Semua terkesiap. Semua menjerit. Tapi tak ada lagi yang bisa dilakukan. Juga oleh para petugas berseragam coklat yang berwajah bengis itu. Mereka malah buru-buru pergi begitu terjadi tabrakan itu.
Mendung tiba-tiba datang. Angin berhenti berhembus. Matahari pun menjadi muram dan tidak punya gairah lagi untuk melanjutkan karyanya. Dunia menangis.
- cahyadi's blog
- Login to post comments
- 5640 reads