Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Aku anak Raja, kamu anak siapa?
“Setiap pagi dengan sepeda motor aku mengelilingi gedung sekolah ini 7 kali. Aku imani pasti diterima bekerja di sini. Iman yang disertai tindakan pasti memberikan hasil. Buktinya? Sekarang aku bekerja di sini.”
Begitulah kesaksian guru baru sebuah SD Kristen kepada rekan-rekannya yang diucapkan dengan lantang ketika jam istirahat di ruang guru. Saya kebetulan ada dalam ruang itu karena menunggu bertemu Kepsek. Reaksi para pendengarnya yang berjemaat di berbagai denominasi gereja beragam. Ada yang cuek, ada yang diam-diam mencibirkan bibirnya, ada yang ber”ah-oh-ah” terkagum-kagum.
Pintu yang menghubungkan ruang guru dengan kantor Kepsek terbuka dan saya dipersilakan masuk. Di pintu saya berkata kepada beliau, “Bu, ada baiknya sebelum Ibu pulang nanti, kursi kerja Ibu dikunci di dalam gudang. Kalau sampai ada guru yang sebelum pulang mengeliling kursi Ibu 7 kali setiap hari, bisa-bisa Yayasan meminta Ibu menulis surat pengunduran diri tanpa bisa memberikan alasan yang jelas.”
Guru-guru yang tadi menahan geli, langsung tertawa. Sebelum saya menutup pintu, saya menoleh ke arah guru baru itu. Ia menatap saya dengan mata mendelik. Saya tersenyum, menganggukkan kepala, menutup pintu. Sambil berjalan menuju kursinya Ibu Kepsek menggerutu, “Hobi kok cari musuh tiap hari.”
Saya tidak mencari musuh, tetapi mengingatkan orang lain untuk waspada. Ibu guru ini punya iman yang kuat sehingga dengan imannya ini ia bisa mewujud-nyatakan keinginannya. Sekali memutari gedung sekolah ini berarti ia telah menempuh jarak hampir 1.5 km. Tujuh kali putaran sekitar 10 kilometer dan ini butuh waktu sambil tidak memedulikan keheranan tukang parkir di daerah ini melihat sisa laskar Yosua ini. Imannya hidup dan berkuasa karena disertai tindakan. Bukankah ini yang diajarkan oleh Alkitab?
“Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” – Yakobus 2:26
Imanilah bahwa anak-anak Raja tidak ditakdirkan hidup miskin. Tetapi iman hanya bisa memindahkan gunung bila disertai tindakan. Karena itu mari berikan persembahan untuk Tuhan. Bukan 10%, tetapi lebih. Kumpulkan perhiasan-perhiasan Anda, serahkan setrifikat rumah Anda, BPKB mobil atau sepeda motor boleh juga.
Jika Anda sampai saat ini masih hidup pas-pasan dan hutang di warung nasi dekat kantor tidak pernah lunas, itu dikarenakan Anda hanya beriman saja. Beriman saja tidak cukup. Beriman saja tidak akan menjadikan Anda anak Raja.
Wadoh, kalau bukan anak Raja, lalu Anda ini anak siapa dalam Kerajaan Allah di bumi ini?
– o –
Karena mencoba menolong teman yang ingin mengadopsi anak, saya mendatangi sebuah gereja mini yang berada di sebuah perkampungan kumuh. Gereja ini jemaatnya para marginal. Juga merangkap panti asuhan untuk menampung anak-anak yatim piatu atau bayi-bayi yang tidak diingini sejak dalam kandungan. Saya mendengar ada 3 bayi di situ. Sekitar 30 anak tidur di atas langit-langit gereja yang dipasang bilah-bilah kayu untuk alas tidur mereka.
Bapak Pendeta menjelaskan bahwa ia sudah mendirikan sebuah bangunan dekat gereja untuk tinggal anak-anak itu. Lalu mengapa mereka tidak dipindahkan? Saya diajak melihat rumah itu. Bangunan ini berdiri di atas bantaran sungai sehingga bisa dibongkar-paksa oleh pemerintah kapan saja. Ada 3 kamar, dinding dalamnya belum diaci, lantainya masih tanah yang dikeraskan, langit-langit belum ada, listrik dan lampu sudah terpasang, tidak ada perabot rumah sama sekali. “Jika ada tempat tidur bukankah anak-anak sudah dapat dipindahkan ke mari?” tanya saya.
“Betul,” jawab beliau, “tetapi saya kehabisan dana.”
“Berapa banyak uang yang Bapak perlukan untuk membeli tempat tidur, kasur, meja belajar dan kursi?” tanya saya seakan-akan memiliki mesin pencetak uang.
“Lima belas juta.”
“Lima belas juta rupiah?” tanya saya heran. “Dekat sini ada barisan kios yang menjual funitur murah. Kalau Bapak beli di situ saya perkirakan harganya tidak lebih dari 5 juta.”
“Itu funitur kodian, murahan,” jawabnya. “Anak-anak saya adalah anak Raja. Mereka harus punya tempat tidur yang berkelas. Setidaknya merek Ligna.”
Saya melongo. Rumah itu sudah 2 bulan menganggur gara-gara beliau mimpi punya Ligna. “Saya selalu mengingatkan mereka untuk tidak minder. Mereka berharga di mata Tuhan. Mereka bukan anak-anak miskin. Saya selalu menyemangati mereka untuk punya cita-cita besar, yaitu jadi hamba Tuhan yang terkenal atau pengusaha yang sukses.”
Suka-sukamulah, begitu pikir saya. Setiap orang berhak punya mimpinya sendiri-sendiri. Bagi saya setiap orang Kristen bebas memegang doktrin yang ia sukai asal tidak memaksa orang lain mengikutinya. Saya berpamitan karena tidak ada lagi yang perlu diperbincangkan. Tiga bayi itu sudah diambil orang. Ketika mau nangkring di atas sepeda motor, ya ampun, mendadak sakit gila saya kambuh.
“Pak Pendeta, Daud itu bukan anak Raja,” kata saya, “tetapi raja yang disahkan oleh Tuhan lewat nabi-Nya. Tetapi mengapa raja itu Tuhan gusur dari gua ke gua dan tidur di atas tanah keras beralaskan tikar? Menurut nalar saya, Tuhan ingin kelak Daud menjadi raja yang mumpuni; kaya raya sekaligus bisa berempati kepada mereka yang berkekurangan; berdisiplin baja sekaligus bisa mencucurkan air mata ketika menulis mazmur. Jikalau begitu SK Tuhan turun dan ia langsung dikirimi tempat tidur Ligna, pasti ia kelak jadi raja gemblung seperti pendahulunya. Jika Bapak berencana membeli funitur yang dibutuhkan dengan harga di bawah 5 juta, saya bantu mencarikan dananya. Hubungi saya dalam satu minggu ini.”
Saya mengambil secarik kertas dari saku dan menulis nomor hape saya. Kami bersalaman. Belum 2 jam dan saya masih berkelana ke sana ke mari dengan sepeda motor, hape saya berbunyi. Saya menepikan kendaraan. Ternyata beliau.
“Saya sekarang ada di kios furnitur. Biaya yang dibutuhkan tidak lebih dari 3 juta. Sekarang bagaimana?”
“Kasurnya berapa, Pak?” tanya saya.
“Harga ini sudah lengkap, termasuk kasur.”
“Oke, tutup Pak. Nanti sore saya kirim uang 1 juta. Tolong kirim nomor rekening tabungan Bapak ke nomor hape ini. Kurangnya saya cari dalam satu minggu ini,” kata saya mengakhiri pembicaraan. Mendadak saya teringat sesuatu. Kami baru saja berkenalan. Ia tidak tahu alamat rumah saya dan juga di gereja mana saya berjemaat. Bagaimana beliau memercayai mulut saya? Kalau ia sudah memesan barang itu tetapi saya batal mengirimkan uang, piye jal? Apa wajah saya di matanya seperti wajah malaikat? Weleh, ge-er buanget saya ini.
Sore hari saya mentransfer uang 1 juta yang saya pinjam dari kas “gerombolan diaken bayangan” untuk beasiswa yang saya pegang tanpa memberitahu para “share holder”nya. Enam hari kemudian saya pergi ke gereja itu untuk memberitahu kekurangan 2 juta rupiah belum berhasil saya dapatkan. Saya mau minta maaf dan berharap ia bersabar.
Ternyata panti itu sudah ditempati anak-anak. Semua furnitur yang dibutuhkan telah lengkap di sana. “Lima hari setelah saya pesan, barang-barang ini sudah saya terima,” Pak Pendeta menjelaskan.
“Wah, penampilan seorang pendeta memang membuat orang lain langsung memercayainya. Belum lunas barang sudah dikirim.”
“Pedagang tetap saja pedagang. Ada uang ada barang,” jawabnya sambil nyengir.
“Maksud Bapak, barang ini sudah lunas?”
“Haleluya! Puji Tuhan! Tuhan kirim orang untuk melunasi kekurangannya.”
Kena saya! Saya yang menjanjikan membayar lunas kedahuluan orang lain. Tetapi seorang salesman tidak boleh ketahuan kalahnya.
“Benar juga kata saya ‘kan? Bagaimana orang berani membantu kita kalau melihat kita sudah punya mobil? Baru dan bagus lagi.”
“Mobil saya jelek kok,” jawabnya sambil menunjuk mobil mini bus yang diparkir di depan panti dan dipergunakan untuk antar-jemput anak ke sekolah. “Kalau hujan air masuk dari atas dan dari bawah.”
“Bagaimana kalau kita terlebih dahulu menyelesaikan bangunan ini,” usul saya. “Kita pasang lantai keramik biar bisa dipakai persekutuan dengan duduk lesehan.”
Kami bersama mengukur luas lantai. Saya tidak menjanjikan lantai mahal. Saya berharap bisa meminta ubin keramik apkiran dari teman-teman yang punya bisnis bangunan. Tetapi kembali beliau menelepon saya sebelum saya mendapat material itu dengan salam pembuka yang khas, “Haleluya, puji Tuhan!” Ia mengabari sudah ada orang yang mau mengambil-alih pemasangan ubin keramik, termasuk materialnya. Dan itu terjadi lagi ketika saya mau mengaci dinding. Terjadi lagi ketika saya mau memasang langit-langit bangunan. Tidak salah bila saya sering berkata, “Banyak orang mau berbuat baik tetapi tidak mau jadi yang pertama” karena takut dianggap sombong atau sok rohani. Hanya dengan modal 1 juta rupiah semua terselesaikan. Roti jelai ini telah dilipatgandakan oleh Tuhan Yesus.
Laporan keuangan bulanan rutin dibuat dan dibagikan kepada para donatur. Dari laporan ini saya melihat jumlah donatur bertambah. Ada yang tiap bulan memberi 1 juta rupiah, ada yang 100 ribu rupiah. Sabun, pasta gigi, sepatu dan beras juga datang. Bahkan karena berlimpah, pada akhir bulan beras yang tersisa dibagikan ke panti asuhan lain dan para tetangga panti. Kas tidak pernah lagi defisit yang membuat istrinya harus ke pegadaian membawa perhiasannya. Suami istri ini berjuang dari hari ke hari menunaikan kewajibannya sebagai anak-anak Kerajaan, bukan hanya menuntut haknya sebagai anak Raja dengan manja. Saya menghormati mereka.
Tujuh tahun setelah mengenalnya, beliau mengirimi saya surat undangan peresmian rumah panti baru yang berlokasi di tepi kota. Seorang anak Raja telah membelikannya tanah seluas 3000 meter dan di atasnya didirikan bangunan seluas 1000 meter dua lantai. Di lantai dasar ada 3 kelas untuk play group dan TK, kantor, kamar-kamar tidur. Lantai dua disekat menjadi ruang-ruang luas untuk pertemuan. Sisa tanah 2000 meter ditutup paving blok. Di dekat pagar tinggi yang mengelilingi area ini ada bangunan kecil untuk tempat generator yang dioperasikan apabila listrik padam.
Ketika para undangan berpindah dari halaman depan ke lantai 2, saya diam-diam berkeliling di lantai satu. Memasuki kamar-kamar tidur untuk anak-anak saya berdecak kagum. Tempat tidurnya bermerek terkenal. Kasurnya tidak berisi kapuk, tetapi pegas. Spring bed! Dan, ada unit-unit AC menempel di dinding. Kembali saya harus berdecak waktu memasuki kamar-kamar mandi yang luas. Ada wastafel untuk sikat gigi dan kloset duduk.
Terngiang kembali sepotong kalimat dalam pidato sponsor utamanya. “Selama ini setiap orang yang berkunjung ke panti asuhan selalu bekata, ‘Aduh kasihan ya anak-anak panti.’ Saya ingin sekarang mereka berkata, ‘Aduh bahagianya anak-anak panti’ ketika mengunjungi panti ini.” Saya setuju dengan pernyataannya setelah melihat fasilitas yang ada. Tetapi saya tidak akan membawa anak-anak Sekolah Minggu gereja saya ke tempat ini agar mereka tidak tergoda berpikir, “Kapan ya papa mama aku meninggal supaya aku bisa pindah ke mari.”
Di pintu utama saya bertemu istri Pak Pendeta. Saya menyalaminya dan menyampaikan ucapan selamat.
“Tadi saya lihat wajah Bapak kusut. Wajah Ibu juga tidak beda. Harusnya berwajah bahagia dong karena sekarang sudah punya istana.”
“Saya bingung nanti bagaimana dengan biaya perawatannya. Kira-kira harus tambah berapa juta rupiah lagi ya?”
“Kebetulan tadi di halaman dengan seorang teman saya mencoba menghitungnya. Dengan adanya genset besar yang perlu solar, pemakaian listrik yang jauh lebih banyak dan tambahan tenaga karyawan setidaknya untuk menjaga keamanan 24 jam karena lokasi ini ada di tengah-tengah hutan karet, yaaa paling tidak tambah sekitar 20 juta rupiah setiap bulannya.”
“Nah itu lho yang bikin saya pusing. Kemarin-kemarin cari 25 juta rupiah setiap bulan saja kami sudah jungkir balik.”
Seorang anak Raja tidak berhenti bekerja ketika ia dipindahkan ke dalam istana. Setiap fasilitas yang diberikan Raja kepadanya juga membawa seabrek kewajiban baru yang harus dikerjakannya.
– o –
Jadi, salahkah seseorang yang memosisikan dirinya sebagai anak Raja? Atau yang memegang prinsip “iman tanpa perbuatan” adalah iman yang mati?
Gereja telah memasarkan banyak jargon kekristenan yang kemudian dipegang teguh oleh jemaatnya. Tetapi, ibarat kita yang hanya punya sepeda diberi sebuah mobil, kita tidak diajarkan bagaimana memperlakukan mobil itu oleh pemberinya. Kita tidak tahu merawat mobil tidak sama dengan merawat sebuah sepeda sehingga bisa saja mobil itu membawa malapetaka.
Aubrey Malphurs dalam bukunya “A New Kind of Church” (Michigan: Baberbooks, 2007) menyebut 3 terminologi yang mungkin bisa menjelaskan kasus-kasus di atas, yaitu Core Belief (keyakinan inti) yang mendasari munculnya Core Value (prinsip hidup) yang kemudian mengatur Action (tindakan).
Seorang yang menerima Yesus sebagai Juruselamatnya, biasanya (karena sekarang tidak harus) menerima Core Belief ini dalam kelas katekisasi. Tetapi atas nama efisiensi dan menghindari keluhan calon anggota baru, kelas katekisasi yang dulu berlangsung sampai 50 kali pertemuan @ 1 jam, bisa diringkas menjadi 2 jam (Minta dibaptis kok dipersulit?). Karena itu yang mereka terima hanya Core Belief saja. Mereka tidak sempat diajar bagaimana, misalnya, mengaplikasikan doktrin kedaulatan Allah atas alam semesta beserta isinya dalam hidup keseharian mereka. Mereka tidak mendapat Core Value-nya sehingga berprinsip bahwa apa pun yang terjadi atas dirinya merupakan akibat tindakan Allah. Oleh karena itu ketika masuk rumah sakit gara-gara ngebut dengan sepeda motor mereka berkata dengan lantang dan yakin (Action), “Puji Tuhan, Ia mengijinkan kecelakaan ini terjadi atas diri saya” yang membuat para pelawatnya bengong dan ngeri jadi Kristen.
Untuk menyederhanakan teori di atas, saya akan memberi contoh sehari-hari. Misalnya saja saya punya Core Belief bahwa manusia adalah keturunan kera yang tidak punya kehidupan lain setelah kematian. Value yang muncul karena Belief ini adalah menikmati hidup seperti binatang yang tidak perlu memikirkan hari esok dan tidak peduli mana yang benar atau yang salah karena hukum rimbalah yang berlaku. Tindakan yang muncul sudah dapat ditebak, bukan?
Dengan core belief ini maka ketika seorang berkata lantang “Aku anak Raja” saya tidak akan menjawab “Betul, kamu anak Raja dan aku anak kera.” Tetapi “Karena aku anak kera, kamu juga anak kera.”
Akhir kata, sebagai penutup ada kisah nyata untuk Anda. Selesai berkotbah di sebuah gereja di Surabaya pada tanggal 14-September-2008, seorang pendeta tamu menerima secarik kertas dari penatua gereja itu.
“Maaf Pak Pendeta, ada seorang jemaat yang menulis surat protes ini untuk Bapak. Tolong jangan sakit hati.”
“Saya sudah bertahun-tahun menjadi anggota gereja ini,” begitu pembuka surat itu. “Saya tidak suka gereja kita memanggil lagi pendeta tadi untuk berkotbah. Ia mengungkit-ungkit dosa orang yang sudah percaya kepada Tuhan Yesus padahal Tuhan Yesus tidak sekejam itu.”
“Pekerjaan saya mucikari. Tetapi saya tidak lupa beribadah kepada Tuhan. Bahkan setiap Sabtu pagi saya mengumpulkan semua anak asuh saya untuk persekutuan doa. Puji Tuhan, Ia memberkati. Tempat bisnis saya makin maju dibandingkan tetangga kiri-kanan. Bahkan orang-orang gereja makin banyak yang datang ke tempat saya. Ini bukti bahwa Yesus adalah Tuhan Yang Mahakasih yang mau mengampuni dan memberkati setiap orang yang mau datang kepada-Nya.“
Pak Pendeta menghela nafas dalam-dalam karena kesedihannya teramat dalam.
Aku anak Raja, kamu anak siapa?
(the end)
Belum ada user yang menyukai
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 4540 reads
jangan bergaul dengan anak raja..
Purnomo : memang gokil... bisa-bisa nya buat penutup kisah nyata yang seperti ini :
“Pekerjaan saya mucikari. Tetapi saya tidak lupa beribadah kepada Tuhan. Bahkan setiap Sabtu pagi saya mengumpulkan semua anak asuh saya untuk persekutuan doa. Puji Tuhan, Ia memberkati. Tempat bisnis saya makin maju dibandingkan tetangga kiri-kanan. Bahkan orang-orang gereja makin banyak yang datang ke tempat saya. Ini bukti bahwa Yesus adalah Tuhan Yang Mahakasih yang mau mengampuni dan memberkati setiap orang yang mau datang kepada-Nya.“
Bergaul dengan anak raja itu susah.. jangan berteman dengan anak raja.. apalagi punya bawahan yang anak raja, wah-wah.. piye jal??
Joli yang memulai kok bertanya
jangan berteman dengan anak raja.. apalagi punya bawahan yang anak raja, wah-wah.. piye jal??
Ya gara-gara kalimat tanya Joli di atas inilah saya menulis blog Anak Raja. Bukan untuk menjelaskan tetapi untuk mengungkapkan 'saya juga bingung kok'.
Gitu lho.
Yuk kita tunggu blogger lain memberi pencerahan.
Purnomo, piye sih?
Ya gara-gara kalimat tanya Joli di atas inilah saya menulis blog Anak Raja.
Piye sih kangmas ini? Joli tanya-nya setelah baca tulisan blog Purnomo ini??
Ya wis, nunggu apa kata anak raja berkomentar aja..
Purnomo : Seorang anak Raja tidak berhenti bekerja ketika ia dipindahkan ke dalam istana. Setiap fasilitas yang diberikan Raja kepadanya juga membawa seabrek kewajiban baru yang harus dikerjakannya.
Jadi teringat, seorang jemaat sebuah gereja, karena merasakan pertolongan Tuhan, ingin bersyukur dengan memberikan persembahan kepada gerejanya. Ketika menanyakan apa yang gereja perlukan? "AC" cepet di jawab oleh pak pendeta, "perlu berapa AC pak?" pak pendeta segera berhitung dan segera menginformasikan jumlah-nya : 8 untuk kedung gereja, 1 untuk ruang rapat dan 1 untuk pastori. Ternyata untuk 10 bh AC, listrik gereja jeglak jeglek, musti perlu genset. Jemaat tersebut bertanya lagi, perlu berapa KVA pak? pak pendeta berhitung lagi semua keperluan listriknya. Kira-kira 45 KVA cukup.. lalu mulailah cari toko genset, ternyata setelah ke toko, genset harga 45 KVA dan 60 KVA juga yang lebih besar lagi terpaut harga nya cuma sedikit-sedikit. Lalu di pilihlah genset berkapasitas besar, mumpung ada yang bersyukur.. jarang-jarang loh orang bisa bersyukur dengan total begini..
Setahun.. dua tahun kemudian.. ketika harga solar gila-gila-an.. mulai-lah.. operasional genset berkapasitas besar, minum solar juga banyak.. mulai-lah lagu keluh kesah yang di nyanyikan.. bukan lagu "aku anak raja" lagi loh yang di nyanyikannya..
Joli, just to remind
Komentar Joli di ataslah yang menginspirasi saya. Di akhir artikel rencananya sih mau saya tulis “for Joli my inspiration” tapi batal karena takut diprasangkai blogger lain. Apalagi Joli telah menulis sudah kebelet mau kopdar lagi di Semarang. Biar tidak tanya lagi “kapan aku bilang begitu” sekalian saya ingatkan “di blognya Priska.”
Jelas toh sekarang siapa di depan siapa?
Salam.
@Purnomo anak raja
Seperti BIASA tulisan anda selalu membuat saya berdecak kagum. Ketika membaca judulnya, saya sedikit tertegun. Kurang lebih 1 tahun kebelakang saya pernah membaca status seorang teman, tentang ANAK RAJA, wah bukan sebuah kebetulan jika ada orang yang menulis ANAK RAJA.
Sedikit kecewa, karena tidak menemukan jawaban tentang ANAK RAJA, yang ada malah ikut BINGUNG.
Omong-omong, teman saya itu menulis STATUS sebagai berikut, kurang lebih seperti ini, "...Kita sebagai Anak Raja sudah seharusnya berdiri diatas Memerintah.."
Sempat terlintas, "Apakah benar kita ANAK RAJA dipilih untuk memerintah, bukankah melayani?"
Karena kita sungguh berharga bagi-Nya dan Dia mengasihi kita.
Aku anak Raja, engkau anak Raja, kita semua anak Raja
Lagu di atas sudah saya akrabi di Sekolah Minggu sekitar 30 tahun yang lalu. Tetapi setiap anak tahu pesan apa yang ada dalam lagu itu. Kita disebut anak Raja karena kita adalah pewaris kerajaan Allah atas kasih karunia Tuhan Yesus. “Sebagai anak Raja,” begitu yang selalu ditekankan oleh para GSM, “kita harus berperilaku layaknya seorang anak Raja sehingga tidak malu-maluin Bapanya.”
Sekarang, istilah “anak Raja” telah bergeser valuenya. Mengapa demikian? Karena keyakinan ini bertumpu di atas Core Belief yang mengatakan “Yesus membereskan semua masalah hidupmu karena Yesus tidak ingin kamu hidup menderita. Tidak ada salib lagi buat kamu karena Yesus telah disalibkan ganti kamu.” Tentunya Core Value yang muncul jadi lain karena 30 tahun yang lalu slogan “aku anak Raja” bertumpu pada:
“Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” – I Petrus 2:9.
Jadi dalam artikel itu saya tidak semata-mata membicarakan tentang filosofi “anak Raja” tetapi lebih untuk memeriksa ulang Core Belief yang kita miliki, lalu mengevaluasi Core Value yang dimunculkannya, kemudian apa Action yang kita lakukan tidak menyimpang.
Artikel ini mempunyai hubungan dengan artikel-artikel sebelumnya tentang penginjilan. Kesaksian penutup cukup jelas menunjukkan siapa yang besalah dalam kasus ini. Bukan jemaatnya, tetapi mereka yang memberitakan Injil dengan diskon besar-besaran kepada mucikari itu.
“Apakah benar kita ANAK RAJA dipilih untuk memerintah, bukankah untuk melayani?” Rasa-rasanya pertanyaan ini berarti “apakah orang Kristen boleh memerintah orang Kristen lainnya?” Ini pakarnya Bung Libe karena ada di genre “man management” atau “kepemimpinan dalam gereja.” Kita tunggu saja blognya.
Salam.
Satir
Setiap kali membaca tulisan koh Purnomo, kita harus menyiapkan obat mulas. Ha...ha...ha.... Sungguh satir.
Wawan
------------
Communicating good news in good ways