Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Si Penjual Keripik

Purnawan Kristanto's picture

Sudah lebih dari dua bulan, Bapak penjual kripik tak lewat depan rumah kami. Biasanya, seminggu sekali dia menawarkan kripik tempe dan kripik belut.  Kami menyukai kripik tempe yang dia jual karena kemripik (crispy) dan gurih.  Ketika pertama kali menawarkan dagangannya, dia kelihatan takut-takut dan  malu.  Orangnya sangat sederhana. Khas orang desa. Cara bicaranya sangat  santun. Usianya di atas 50 tahun. Dagangannya ditaruh di dalam kardus dan  diikat di boncengan sepeda onthel. Berkali-kali dia minta maaf, seolah-olah  merasa bahwa kedatangannya ini mengganggu kami.  Dia mematok harga  Rp.3000,-/bungkus. Waktu itu, kami membeli 3 bungkus. Kami memberikan uang 10 rubian dan memberikan kembaliannya kepadanya.

Setelah itu, setiap minggu dia selalu menawarkan kripik ke rumah kami. Namun belakangan ini, Bapak itu tidak lewat lagi.  Persediaan kripik di rumah sudah habis. "Sudah lama penjual kripik itu tidak lewat," kata isteri saya. "Barangkali dia sudah ganti usaha," kata saya, "kayaknya keuntungan jualan kripik tidak begitu besar."

Ternyata dugaan saya salah. Penjual kripik itu datang lagi. Seperti biasa, dia menawarkan dagangannya dengan takzim.

"Kok dangu mboten sadean, pak(Kok lama tidak jualan, pak)?" tanya isteri saya dengan bahasa Jawa yang kagok (maklum, dia besar di Jakarta).

"Maaf, mbak.  Saya pergi ke Perancis," jawab Bapak itu dengan bahasa Jawa halus.

Isteri saya terperangah. Dia merasa telah salah mendengar, atau Bapak itu yang salah ucap.

"Maksudnya, negara Perancis yang di luar negeri itu?" tanya isteri saya tak percaya.

"Iya mbak.  Naik pesawatnya saja 12 jam."

"Ada apa ke sana, pak?"

"Anak saya menikah. Mendapat jodoh orang Perancis."

Bapak itu lalu bercerita bahwa anak perempuannya yang tinggal di Jogja mendapat suami warga negara Perancis. Mereka berkenalan di kota Gudeg itu. Dengan bersemangat dia lalu menceritakan perjalanannya ke negerinya Zinedin Zidane itu. Menurutnya, dia dibawa ke sebuah ladang rumput yang luas.

"Wah,sapinya banyak sekali, mbak," katanya dengan mata berbinar-binar. Mungkin yang dikunjungi Bapak ini adalah sebuah ranch. Cerita diteruskan pada acara pemberkatan. "Gerejanya besar sekali. Tapi sayangnya, tidak banyak jemaatnya," kata Bapak ini sambil melirik ke dalam rumah kami.

"Kalau mbak dan masnya ini Katolik atau Protestan? Kalau saya Katolik."Seperti biasa kami menyodorkan uang 10 ribuan.  Beda dari biasanya, Bapak itu memberikan 4 bungkus kripik tempe.  Mungkin dia ingin berbagi kebahagiaan dengan kami karena anaknya mendapat suami yang berkecukupan.

Namun yang membuat saya heran adalah, mengapa Bapak ini masih berjualan tempe? Apakah mantunya tidak memberikan tunjangan hidup kepadanya? "Barangkali Bapak ini ingin punya kegiatan di masa tuanya," kata isteri saya dengan bijak.

 

Setelah pertemuan itu, Bapak ini kembali “menghilang”, berbulan-bulan dia tidak lewat depan rumah kami  Tiba-tiba dia muncul lagi.  Kali ini dia membawa cerita yang baru.  Dia tidak bisa berjualan karena anak perempuannya meninggal dunia. Dia menjadi korban gempa bumi yang menggoncang kabupaten kami pada bulan Mei 2006.  Rumah anaknya itu rata dengan tanah. Tapi cucunya bisa selamat. Kami  mengucapkan ikut berduka cita kepadanya.

 

Setelah itu, dia “menghilang” lagi selama beberapa bulan. Lalu pada akhir tahun 2006, dia muncul lagi. Kali ini membawa kabar bahwa anak bungsunya baru saja mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit.

 Kegembiraan dan kesusahan datang silih berganti.  Orang Jawa punya prinsip, hidup ini seperti “Cokro Manggilingan” (roda cakra yang berputar). Ada saatnya kita berada di atas, ada saatnya berada di bawah.  Kami belajar satu hal dari Bapak ini, apa pun yang terjadi dalam hidup ini, the show must go on. “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Roma 8:28)

__________________

------------

Communicating good news in good ways