Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Seulas Senyum Tulus
Saya dan isteri saya senang berwisata kuliner. Jika ada rumah makan yang baru atau unik, biasanya kami menyempatkan diri mencicipi masakannya [dengan catatan, tarifnya sesuai dengan kantong kami]. Beberapa bulan lalu, kami mendengar kabar bahwa pesinden kondang Anik Sunyahni, membuka rumah makan di Bogem, sekitar 300 meter di sebalah Barat candi Prambanan.
"Wah asyik, nih! Seperti apa ya kalau pesinden membuka warung makan? Apakah musiknya gending-gending tradisional?" demikian kami saling bercakap. Saya lalu ingat kalau pernah mampir di rumah makan pesinden lain, yaitu milik Yati Pesek. Lokasinya sekitar 300 meter di sebelah Timur candi Prambanan. Penataan ruangannya sangat sederhana. Tidak ada hal yang istimewa kecuali foto-foto Yati Pesek dalam berbagai pose yang dipajang di dinding dan tiang bangunan. Bahkan di balik kaca meja makan juga dipasang foto Yaiti Pesek, sehingga ketika akan menyedok makanan, kita pasti akan menatap wajah pelawak kondang ini.
Namun dari sisi menu makanan, saya menilai termasuk enak. Rumah makan ini menyajikan menu-menu tradisional Jawa, sambel dan minumannya. Harganya pun tidak lebih mahal dari warung di kaki lima.
Ketika akan pergi ke daerah Cangkringan, kami memutuskan untuk mampir di warung Sunyahni. Kami berempat berjalan melewati bangunan joglo kecil yang seluruhnya terbuat dari kayu. Bangunan ini sering dipakai untuk shooting stasiun TV lokal di Jogja. Setelah melintasi meja kasir, kami disambut bangunan-bangunan gazebo dari kayu dengan kapasitas 4 orang. Setiap pengunjung bebas memilih gazebo yang disukai.
Usai memesan makanan, kami mengobrol santai sambil menikmati lenggak-lenggok ikan mas di bawah Gazebo. Ketika melemparkan pandangan ke arah Utara, kita dapat melihat hamparan sawah yang masih hijau dengan latar belakang gunung Merapi yang sering tertutup kabut. Namun sayangnya, pemandangan sebelah Timur terganggu oleh menara operator seluler yang berdiri pongah. Lima belas menit berlalu, pesanan belum datang. Tak lama kemudian, pramusaji datang membawakan wedang secang. "Ini wellcome drink" kata pramusaji. Saya segera mencicipi minuman yang merah menyala itu. Rasanya pedas, seperti serbat atau sekoteng.
Menit-menit berlalu, tapi masakan tak kunjung datang juga. Kami mulai gelisah. "Jangan-jangan ikannya masih harus dibeli di pasar," gurau bu Agus. Aku tersenyum kecut. Perutku mulai berontak. Keringat dingin mulai terasa. Tandanya maag akan kumat.
Sekian menit kemudian, lemon tea pesananku disajikan, tetapi es kelapa muda yang dipesan istriku belum datang. Entah beberapa menit berlalu, makanan pesanan kami ta kunjung datang juga. Hatiku sudah kesal. Rumah makan ini tidak profesional.
Akhirnya masakan utama yang dipesan datang juga. Semua masakan itu disajikan dengan alas daun pisang. Piring makan juga di alasi daun pisang. Aku sebenarnya suka cara menghidangkan seperti ini. Ketika panas masakan menyentuh daun pisang, maka menimbulkan aroma harum yang khas. Akan tetapi karena hati sudah terlanjur kesal karena kelamaan menunggu, maka rasa masakan itu tidak dapat dinikmati sepenuhnya.
Selesai bersantap, hatiku masih sedikit bersunggut-sungut. Ketika melewati joglo, beberapa kru stasiun TV sedang menyiapkan peralatan untuk shooting. Aku melihat Sunyahni, pemilik rumah makan ini, sekaligus bintang utama cara yang akan diproduksi. Sudah berdandan rapi, dia terlihat berbincang serius dengan kru TV.
Ketika melihat kami, dia mengentikan pembicaraan itu untuk menyapa kami. "Terimakasih sudah berkunjung ke rumah makan ini," katanya ramah, dengan senyum tulus, tak dibuat-buat. Aku membalas senyuman sambil menganggukkan kepala.
"Dari mana, nih?" tanya Suyahni.
"Dari Klaten" jawab bu Agus.
"Lalu akan pergi ke mana?" lanjutnya.
"Mau ke Cangkringan"
"Oh, kalau begitu selamat jalan. Jangan lupa mampir kembali," katanya dengan nada bicara yang kenes.
Kami mengangguk sambil berpamitan.
Hmmmm......seulas senyum itu telah merubah pandangan kami. Keramahan pemilik rumah makan itu telah mengikis kesan miring tentang pelayanan di sana. Ketulusan itu tidak membutuhkan biaya, tapi dapat mendatangkan untung yang tak terduga.
'Ah, karena masih baru, mungkin saja pelayan dan juru masaknya belum mahir. Jadi tidak bisa bekerja dengan cepat,' batinku di dalam perjalanan. Mungkin pikiran ini merupakan pembenaranku setelah mendapat keramahan dari Sunyahni. Entahlah....yang jelas, kalau tidak bertemu dengan Sunyahni, aku sebenarnya sudah bertekad tidak akan makan di situ lagi.
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- 6968 reads
Ingin bertemu dengan pesinden Anik Sunyahni
Rumah Makan
Kalau dari Jogja, menuju arah Solo. Sampai di lampu merah Bogem (sebelum candi Prambanan) belok ke arah kiri atau jalur ke Cangkringan. Jarak itu dihitung dari lampu merah antara jalan raya Jogja-Solo.
Kalau pingin ketemu pemiliknya, saya juga ngak tahu caranya. Lha wong itu saya cuma kebetulan ketemu saja kok. Lagipula beliau pasti juga tidak ingat peristiwa ini.
"If any man wishes to write in a clear style, let him be first clear in his thoughts; and if any would write in a noble style, let him first possess a noble soul"
~ Johann Wolfgang von Goethe
------------
Communicating good news in good ways