Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sekolah Minggu

Indonesia-saram's picture

Ternyata masalah kebahasaan tidak sekadar muncul di dalam kehidupan sehari-hari yang mungkin cenderung sekuler. Masalah tersebut ternyata juga muncul dalam lingkungan gereja. Salah satunya adalah ketika kita menyebutkan kelas ibadah untuk anak-anak yang diprakarsai oleh Robert Raikes (1735--1811).

Robert Raikes dikenal sebagai pelopor berdirinya kelas ibadah bagi anak-anak pada hari Minggu. Sejarah mencatat bagaimana kepeduliannya terhadap anak-anak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan akibat kemiskinan. Hari Minggu sebagai satu-satunya hari libur dimanfaatkan oleh anak-anak, yang terpaksa bekerja untuk mencukupi kehidupannya, dengan bermain.

Kecintaannya kepada anak-anak akhirnya mendorong Raikes untuk memulai gerakan--dengan beberapa temannya--yang akhirnya melahirkan pelayanan bagi anak-anak di hari Minggu.

Masalah timbul ketika kita hendak menuliskannya. Manakah yang benar dari tiga kelompok kata berikut, Sekolah Minggu, sekolah Minggu, ataukah sekolah minggu?

Cara penulisan yang pertama terkesan bisa dibenarkan. Bila kita menganggap Sekolah Minggu sebagai nama, berdasarkan EyD, penulisan dengan masing-masing diawali oleh kapital dapat dibenarkan. Penulisan Sekolah Minggu juga bisa dibenarkan apabila ada nama yang lebih spesifik yang diberikan gereja untuk menyebut pelayanan bagi anak-anak tersebut. Untuk diketahui, dalam lingkungan pelayanan anak di GPIB, pelayanan untuk anak-anak disebut Ibadah Minggu Pelayanan Anak (IMPA) yang diselenggarakan oleh Bidang Pelayanan Kategorial Pelayanan Anak (BPK PA).

Cara penulisan yang kedua juga terkesan dapat dibenarkan mengingat penekanannya pada hari Minggu. Mengacu kepada EyD, setiap huruf pertama dari nama-nama hari ditulis dengan huruf kapital. Oleh karena itu, kalau menuliskan sekolah Minggu dengan penekanan hari Minggu, kiranya dapat diterima.

Akan tetapi, bila berdiri sendiri, penulisan yang semestinya diterima bukanlah Sekolah Minggu ataupun sekolah Minggu, melainkan sekolah minggu. Dasar argumentasinya ialah bahwa kegiatan belajar firman Tuhan tidak melulu diselenggarakan pada hari Minggu. Bila disepakati atau memang dibutuhkan, pelayanan tersebut dapat dilakukan hari Sabtu, misalnya. Dan karena dilakukan secara teratur, yaitu setiap minggu, kegiatan itu dapat disebut pula sebagai sekolah minggu.

Simpulannya, cara penulisan yang pertama dapat diterima dengan syarat diikuti oleh nama khusus yang diberikan oleh gereja. Misalnya, Sekolah Minggu Filadelfia. Untuk penulisan kedua, perlu dipertanyakan lagi: benarkah yang ditekankan harinya ataukah pengajarannya? Bila memang pengajaran alias penyampaian firman Tuhanlah yang menjadi penekanannya, seharusnya penulisan sekolah Minggu tidak berterima. Akhirnya, penulisan sekolah minggu juga berterima, khususnya bila tidak diikuti oleh nama khusus sebagaimana penulisan yang pertama.

Ah, masalah kebahasaan memang merembes juga ke dalam kehidupan gereja.

__________________

_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.