Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
sayap-sayap mungil untukku
Minggu pagi ....
“Opa datang!”
Seruan itu bak lonceng merdu di telingaku. Wajah tirus berhias senyum, tubuh kurus terbalut setelan rapi .... Di mataku, inilah cowok paling guannteng seantero dunia!
Aku menyongsongnya sambil bersiap-siap berlabuh di pangkuan lelaki berkacamata itu. Siap berpetualang mengarungi kisah-kisah yang dibacakannya dari majalah anak-anak yang tak pernah absen dibawakannya. Lelaki inilah mentari masa kecilku. Segala yang kukecap terasa manis bila bersamanya.
Dahulu sebelum bersekolah, aku dititipkan pada Opa. Bila Sabtu sore tiba, Opa akan mengantarku ke rumah kontrakan orang tuaku di jalan Kartini. Minggu sore keesokan harinya, ia sudah siap menjemputku lagi untuk kembali ke rumahnya di Tebet. Sangat menyenangkan tinggal bersama Opa. Walau aku cucu satu-satunya, tak pernah aku kekurangan teman di sana. Aku bersuka-ria bermain bersama anak-anak tetangga.
Setiap sore sehabis dimandikan, ada saja yang mengajakku berjalan-jalan mencari tukang ubi rebus sambil menanti kepulangan Opa. Begitu sosok kurusnya muncul di ujung jalan, aku akan berlari riang menyongsongnya dan pulang ke rumah di dalam gendongannya. Rumah selalu terasa lebih hangat bila ada Opa. Sebelum ia mandi, aku akan didudukkan di pangkuannya, dipeluk dan diciuminya. Sambil berjoget-joget, digodanya aku berulang kali dengan julukan ‘si pentol’. Memang sewaktu kecil pucuk hidungku berwarna merah seperti hidung badut.
Aku betah sekali berlama-lama di pangkuan Opa, memainkan dua helai rambut yang tumbuh dari tahi lalat besar di dagunya, sambil sesekali menariknya. Opa tak pernah marah. Ia akan berpura-pura kesakitan sehingga membuatku tertawa-tawa kegirangan.
Memasuki usia sekolah, aku mulai tinggal bersama orang tuaku. Lebih tepatnya bersama ibuku, sebab ayah sering raib tak tentu rimbanya. Rumah kami sunyi. Nyaris tak ada canda tawa. Ibu menyediakan seorang pengasuh untukku, sebab ia harus bekerja untuk menghidupi kami sekeluarga. Alangkah berbedanya suasana rumah kami dengan rumah Opa. Ada rasa kehilangan yang tak dapat kulukiskan. Karena itulah, Minggu pagi adalah saat yang paling kunanti-nanti. Menghabiskan satu-dua jam bersama Opa sanggup membuat sepanjang hariku berseri!
Sesekali pada hari Sabtu sore aku diijinkan menginap di rumah Opa. Waw, itu saat yang istimewa! Karena esok Minggunya kami akan pergi ke gereja bersama-sama (hal yang tak pernah kulakukan bersama ibuku), dan pulangnya ... aku akan minta dibelikan es krim kesukaanku. Hmmm ....
Suatu hari, tiba-tiba Opa berhenti mengunjungiku. Ia tak muncul selama berminggu-minggu. Hatiku bertanya-tanya. Minggu-minggu terasa panjang dan menjemukan. Lalu datang berita, Opa dirawat di rumah sakit. Aku tak boleh menjenguk. Anak-anak di bawah usia tujuh tahun dilarang masuk.
Anehnya, suatu sore tergopoh-gopoh aku dijemput. Kabarnya, Opa ingin melihatku. Bersorak-sorak hatiku ingin segera melihatnya. Akhirnya bisa juga kami bertemu! Celana panjang kegedean dipakaikan di badanku. Sepatu hak tinggi kesempitan dipaksa muat di kakiku. Aku dikarbit habis-habisan agar tampak seperti bocah berumur tujuh tahun.
Meski berjalan terpincang-pincang, lolos juga aku dari petugas pengawas. Lorong-lorong yang putih panjang terasa semakin menyiksa sepasang kakiku yang lecet. Belum lagi harus didera rasa kecewa ketika mengetahui bahwa aku cuma boleh menengok Opa dari jendela! Aku kan mau dekat-dekat Opa, bukan cuma mengintipnya lewat jendela, gerutuku yang tercermin dari wajah cemberutku.
Masih setengah kesal, kulongok kamar tempat Opa dirawat. Dari balik jendela kaca, tampak sesosok lelaki bertubuh bengkak terbaring menatapku lekat. Aku tercekat, itu bukan Opa! ... Tetapi sebelah tangannya yang tampak begitu berat, bersusah payah menggapai ke arahku. Wajah bengkaknya tak kukenali, namun sorot mata yang hangat dan lembut itu tak mungkin keliru! Cuma Opa yang punya tatapan semanis itu .... Rupanya kanker paru-paru telah menggerogoti raganya, namun tak satu pun mampu menghalangi pancaran cinta di matanya.
Itulah terakhir kali aku melihat Opa. Sekaligus tahun terakhir aku menetap di ibu kota. Meninggalkan semua kenangan manis bersamanya. Detik-detik pemakamannya berkelebat bagai mimpi. Aku berbaju putih. Peti diturunkan. Ditimbun tanah. Bunga ditaburkan. Entah mengapa, tak pernah bisa kuingat detilnya dengan jelas. Mungkin karena aku memang tak ingin mengingatnya.
Kini, puluhan tahun berselang, setiap kali aku mengenang Opa, kehangatan cintanya masih nyata terasa. Melalui cerita ibuku ... terbayang sosok letih Opa yang rela menggendongku semalaman, semasa bayiku di kala kusakit. Padahal ia amat lelah bekerja seharian. Padahal keesokan paginya ia harus kembali bekerja. Hangat cintanya bagai hangatnya darah yang mengalir di segenap pembuluh darahku. Dari Opa yang hadir sepanjang enam tahun pertama usiaku, Tuhan menghujaniku dengan limpahan cinta.
Selain cinta yang tak habis dimakan usia, satu lagi hadiah abadi dari Opa yang tak seorang pun pernah memberikan ... sayap-sayap mungil untukku. Diberinya aku sepasang sayap mungil tuk mengarungi lembar-lembar ajaib dari sebuah benda bernama buku. Sayap yang dihadiahkannya sejak dini, melalui kisah-kisah yang dibacakannya dari majalah anak-anak yang tak pernah absen dibawakannya... setiap Minggu pagi kala ia menjengukku. Adalah Opa yang pertama-tama menuntunku menikmati keindahan buku, dan dari Opa pula aku belajar membimbing anak-anakku sejak dini untuk menyukai buku.
In loving memory, Bianto Hardy.
eha
- Evylia Hardy's blog
- Login to post comments
- 4408 reads
Keharuan
Shalom,
Rasa haru melingkupi hatiku......ketika kusimak kata-demi kata yang anda tulis..tanpa terasa bulir2 bening membasahi pipi ini.......
Penuh perasaan dan kenangan cinta yang kuat............
Indah untuk dikenang.........mahal untuk dilepaskan.......
Sebelum cinta itu terhilang, kita layak untuk menghargai cinta yang diberikan orang-orang kepada kita, karena ternyata akan ada waktunya jikalau cinta itu terrenggut dari kita......tanpa kita kuasa untuk melawannya.......kita harus melepasnya dan hanya dapat mengenangnya........kita merasa memiliki namun tak dapat lagi melihatnya.........apalagi menggapainya....
Salam hangat
Sarah
kalo dah ilang baru kelabakan
betul, sarah. kerap kita lupa bersyukur. setelah ga tampak di depan mata, baru deh kita kelabakan. moga2 ke depannya kita bisa lebih bijak lagi ya
omong2, kayaknya bungsu kita sebaya deh
Eha
eha