Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pulang ke Kotamu

anakpatirsa's picture

KULIRIK pantat kuda yang lewat, tidak kulihat popoknya. Kubaca di koran, walikota Jogja marah-marah karena menduduki bekas kencing. Ia pun mencari tahu siapa yang kencing sembarangan itu, kuda. Ia pun menyuruh kuda penarik andong di kawasan Malioboro diberi popok.

        Memang tidak semua orang suka bau pesing, tetapi bagiku, pesing atau tidak, Malioboro selalu membangkitkan kenangan. Kupikir Katon menulis Lagu Jogjakarta itu saat menyusuri lorong Malioboro. Seperti lirik lagu itu, aku merasakannya. Merasakan kerinduan yang akhirnya terpenuhi begitu kembali ke Jogja. Kota yang masih seperti dulu, seperti kata Katon. Tiap sudutnya yang begitu kukenal membuatku teringat lagi tahun-tahun kehidupanku di Jogja. Seperti katanya, tiap sudutnya menyapa bersahabat.

        Bagiku, sapaan itu membangkitkan kenangan.

        Salah satu kenangan itu terjadi di sebuah perpustakaan. Aku mengajak gadis itu masuk perpustakaan sastra di emperan Malioboro. Ia langsung bertanya, mengapa aku yang begitu menyukai komputer, juga menyukai sastra. Kubilang aku tidak tahu. Aku menyukai sastra, tetapi aku lebih menyukai komputer daripada sastra.

        Ia bertanya, “Apa sih yang sebenarnya yang kamu suka, Malioboro atau perpustakaan?”

        “Aku suka Malioboro,” kataku, “tetapi aku tidak tahu apa yang membuatku suka. Mungkin karena di Malioboro aku bisa melihat orang bertahan hidup. Mungkin karena toko-toko yang berjejer sepanjang jalan itu milik orang kaya, sedangkan kaki lima yang berjejer di depannya milik rakyat kecil. Mungkin aku suka karena bisa melihat orang kaya dan orang miskin itu bisa mencari nafkah berdampingan.”

        Ia bilang, “Kamu kok suka berfilsafat?”

        Ia tidak mengerti apa itu filsafat, tetapi hanya kusimpan dalam hati. Kukatakan para seniman juga suka Malioboro. Bagi mereka Malioboro itu sumber inspirasi. Pelukis kembali ke Maliboro begitu kehabisan ide; pengarang pergi ke Maliboro begitu sumurnya mulai mengering.

        Ia bilang, “Memangnya kamu seniman?”

        “Aku programmer,” kataku, padahal baru semester satu.

        Ia tanya, “Mengapa kamu masuk perpustakaan sastra kalau mau jadi programmer?

        “Karena aku juga suka sastra,” kataku, “tetapi aku lebih suka komputer daripada sastra.”

        Setelah agak lama, aku baru sadar ia tidak suka aku mengajaknya masuk perpustakaan ketika rencana awalnya jalan-jalan di Malioboro. Ia begitu gelisah, bahkan mungkin akan berteriak bila aku tidak segera mengajaknya menyusuri lorong Malioboro lagi.

        Gara-gara perpustakaan sastra di lorong Malioboro ini, aku kehilangan seorang gadis

Purnomo's picture

AP - bagiku Malioboro sudah berubah.

Pada tahun 1970-an sebagai salesman aku harus mengerjakan jalan Malioboro pada pagi hari karena pk.14.00 semua toko HARUS TUTUP selama 2 jam. Ini aturan pemerintah unt memberi istirahat karyawan toko.  Mungkin pemerintah Belanda yang diteruskan oleh Sri Sultan. Saat siang sepanjang Malioboro sepi, lengang. Pedagang emperan juga harus ikut tutup.

Sekarang?
Aku malas menyusuri trotoar jalan itu. Panas, sumpek, sesak. Nyenggol cewek juga malas karena sekarang bau keju basi. Kalau dulu bau bunga melati.

Pak Tee pasti punya cerita yang komplit.

Pak Tee's picture

Tersenggol

Malas nyenggol cewek, kenapa nyenggol sy Pak? He.... he.... he.... Siapa bilang sy punya cerita komplit? Memang sudah lama sy tidak menulis. Terus terang sy diberkati Tuhan dengan banyak pekerjaan. Jadi....., maafkanlah sy.

Tentang Yogya.... Kalau Bapak ke Yogya dan sempat berkeliling Yogya, Bapak akan menjumpai banyak sekali hotel-hotel baru. Puluhan hotel baru sudah dibangun dalam beberapa tahun belakangan ini. Dan tentu saja lalu lintas yang lebih padat. Sy tidak tahu, apakah Yogya masih "Berhati Nyaman" bagi pendatang.

Terima kasih atas senggolannya.

__________________

Seperti pembalakan liar, dosa menyebabkan kerusakan yang sangat parah dan meluas. Akibatnya sampai ke generasi-generasi sesudah kita. Aku akan menanam lebih banyak pohon!

anakpatirsa's picture

Pak Pur:

Pak Pur, Malioboro Tahun 70-an? Waw.

Sayang zaman itu kamera masih langka ya. Bahkan tahun 90-an saja, jepret satu foto pun langsung melihat sisa "pulsa" nya.

Malioboro yang sekarang, sama seperti malioboro yang kulihat pertama kali dulu. Jadi itu sudah saya terima sebagai Malioboro yang seharusnya dalam  pikiran saya.

Kecuali yang ini (Hehehe.. diambil dari bagian utuh "memoarku" tentang Jogja dan Solo:

 

MALIOBORO yang ada di benakku selalu seperti sebuah lukisan.

Lukisan manusia-manusia yang sedang berjalan tanpa beban. Tidak ada yang kelihatannya sedang tergesa-gesa. Tidak ada yang mengumpat kalau orang di depannya tiba-tiba berhenti atau membungkuk melihat sesuatu yang menarik mata. Tidak peduli warna kulit atau pakaiannya, semua orang berjalan sambil melihat kiri dan kanan. Jarang melihat ke depan.

Maliboro saat subuh tidak seperti itu. Memang lukisan yang sama, tetapi sang pelukis telah menghapus orang-orang yang berjalan tanpa beban itu, ia hanya menyisakan beberapa orang. Dan selain menghapus apapun yang dipajang di emperan toko, ia juga menghapus lelaki tua yang memainkan angklung di emperan mal.

Buat pemain angklung yang terhapus di lukisan itu, aku biasanya hanya memberinya sebuah lirikan. Ketidakhadirannya mengalahkan ketidakhadiran semua manusia dalam lukisan itu, membuatku menyadari kalau dirinya merupakan bagian dari kenanganku di Malioboro. Kalau ia ada, aku pasti merogoh kantongku sebagai bayaran untuk sebuah kesetiaan.

Ia sudah menjadi bagian kenanganku di Malioboro.