Terjadi keanehan saat kami bersiap pulang ke Yogyakarta. Ketika pak Agus, kapten pilot, mengecek tangki bahan bakar di sayap sebelah kiri, volumenya sudah berkurang. Namun saat mengukur tangki pada sayap sebelah kanan, isinya tidak berkurang. Anehnya justru bertambah banyak! Ada apa ini?
Memeriksa tangki bahan bakar
Demi keselamatan penerbangan maka pilot harus selalu mengecek kondisi pesawat sebelum menerbangkannya. Kami baru saja mengunjungi dua lokasi bencana di pinggiran kota Tasikmalaya. Pukul dua siang, kami merasa kunjungan ke lapangan sudah cukup. “Kelihatannya kita terbang sore ini,” kata pak Agus kepada saya.
Batas waktunya adalah pukul 3 sore. Jika kami bisa sampai landasan udara Wiriadinata sebelumnya, maka kami bisa terbang sore itu juga. Jika tidak, maka kami harus menginap dan menunggu besok pagi. Jam kantor di landasan udara itu hanya sampai pukul 3 sore. Namun ada alasan yang lebih penting. Saat ini ada peraturan yang melarang penerbangan pada malam hari karena dianggap berbahaya.
Saya sebenarnya sudah siap jika harus menginap. Istri saya sudah menyiapkan perlengkapan pribadi dan pakaian untuk ganti. Hari itu saya telah mengosongkan kegiatan. Jadwal kegiatan yang terdekat adalah mengajar Sekolah Penulisan Gloria pada keesokan sorenya. Jadi sekalipun menginap dan baru terbang keesokan paginya, saya merasa masih bisa menghadiri acara tersebut. Namun tiba-tiba HP saya berbunyi. “Mas Wawan bisa datang ke Sekolah Penulisan nanti sore ‘kan?” tanya mbak Tina dari seberang telepon.
Saya terlonjak. “Lho, bukankah acaranya besok?” jawab saya heran.
“Apakah mas Wawan tidak diberitahu kalau acaranya dimajukan sehari?”
“Nggak tuh.”
Wah gawat! Saya harus menyampaikan dua materi pada sekolah penulisan ini. Yang lebih runyam lagi, dua makalah yang sudah saya kirimkan beberapa hari sebelumnya ternyata tidak diterima oleh pihak sekretariat. Padahal saya tidak sedang membawa laptop.
“Saya akan mengusahakan bisa pulang sore ini,” kata saya pada mbak Tina, “tapi untuk berjaga-jaga, tolong mas Arie Saptaji bersiap menggantikan saya.”
Sementara itu pak Agus masih penasaran dengan misteri tangki bahan bakar itu. Bagaimana mungkin, setelah digunakan untuk terbang selama 1,5 jam, tapi tangki bahan bakar sebelah kanan tidak berkurang sama sekali? Kedua tangki itu dihubungkan dengan selang yang menyatu di ruang bakar mesin. Logikanya, seharusnya volume kedua tangki ini akan berkurang secara proporsional. Apakah selang yang kanan tersumbat? Setelah diperiksa ternyata tidak tersumbat. Teknisi AU di lanud juga berusaha membantu, tapi tanpa mempelajari buku manualnya, mereka merasa tidak bisa berbuat banyak.
Lalu bagaimana itu bisa terjadi? Jarum jam terus merambat. Matahari sudah tergelincir ke arah Barat. Cuaca yang cerah ini juga dapat berubah sewaktu-waktu. Tekanan semakin terasa berat. Ada dua pilihan: Segera menemukan sumber persoalan dan terbang, atau menunggu keesokan hari sambil berharap dapat menemukan solusinya.
Kapten Pilot Agus mengambil keputusan untuk memindahkan bahan bakar di tangki kanan ke tangki kiri. Cairan Pertamax plus yang berwarna merah itu disedot menggunakan selang dan ditampung dengan jerigen plastik. Setelah itu dituangkan ke tangki sebelah kiri. Dia punya perhitungan, sekalipun nanti terbang hanya menggunakan tangki kiri, namun jumlah bahan bakar itu cukup untuk menempuh perjalanan dari Tasikmalaya ke Yogyakarta.
Bahan bakar sudah dipindahkan, namun pak Agus masih penasaran dengan persoalan ini. Maka dia lalu menelepon temannya yang punya pesawat berjenis sama. Dia menceritakan persoalan yang dihadapinya. “Apakah kamu pernah mengalami hal ini?” tanya dia.
“Coba periksa pesawatmu,” jawab temannya,”Apakah pesawatmu diparkir dengan kondisi miring?”
Pak Agus menurut. Dia memeriksa ketinggian sayap sebelah kanan, lalu dibandingkan dengan sayap kiri. Eureka!!! Kasus terpecahkan. Karena diparkir selama berjam-jam dengan kondisi miring, dan karena dua tangki itu berhubungan, maka cairan yang ada di tangki kanan mengalir ke tangki kiri.
Dengan perasaan lega, kami pun masuk ke badan pesawat mungil itu. Sesaat kemudian pesawat sudah siap di landasan pacu.
“Here we go,” batinku lega.
Hanya dibutuhkan landasan 200 meter untuk menerbangkan pesawat ringan ini. Pesawat menanjak menuju ketinggian 5000 feet. Awan tipis putih berserakan di atas Tasikmalaya. Lima menit kemudian kami sudah sampai di atas kota Ciamis. Dengan perjalanan darat harus ditempuh selama dua jam.
Seperempat jam kemudian, pilot menjalin kontak dengan pak Yudi, petugas menara di Tunggul Wulung, Cilacap. Mereka mengobrol cukup lama karena trafik di Cilacap sangat lengang. “Pak Yudi ini senang mengobrol karena dia kesepian,” kata pak Agus kepada saya. Bandara ini hanya didarati oleh maskapai Susi Air yang melayani rute Cilacap-Jakarta, dua kali sehari. Rute ini dilayani pesawat jenis Carravan. Selain penerbangan terjadwal, mereka juga melayani charter.
“Apakah penumpang Susi Air banyak, pak?” tanya pak Agus.
“Tidak banyak sih,”jawab pak Yudi, “kebanyakan adalah pegawai di PLTU.”
Kesetiaan maskapai ini memang patut diacungi jempol. Pak Yudi bercerita, jika pesawat ada di Halim Perdanakusuma Jakarta, lalu ada satu penumpang di Cilacap, maka pesawat ini akan tetap terbang tanpa penumpang hanya untuk menjemput satu penumpang itu!
“Silakan mampir ke Tunggul Wulung, Cap” pinta pak Yudi ramah.
“Maaf, ini kami sudah kesorean,” jawab pak Agus,”takutnya nanti kemalaman sampai di Jogja.”
“Kalau begitu flying pass saja, ya!”
Awan tebal menghampar di Cilacap. Pesawat dinaikkan pada ketinggian 6000 feet. Landasan Tunggul tampak sayup-sayup pada ketinggian ini.
“Kami bisa melihat landasan di atas sini,” jelas pak Agus.
“Oke pak, saya akan melihat menggunakan Binocular,” jawab pak Yudi lewat radio.
Sayangnya awan itu terlalu tebal. Lensa binocular itu tak mampu menembusnya.
Kokpit canggih
Kami terbang menyusuri pantai dari Cilacap sampai ke Karangbolong. Kapal-kapal besar terlihat tengah berlayar ke laut lepas. Memasuki Purwokerto, menara kontrol di Adisucipto meminta kami bergeser lebih ke kiri. Jalur ini padat dengan pesawat komersial berbadan besar.
“Sebenarnya saya kurang suka pada jalur ini karena sangat padat,”keluh pak Agus pada saya. Dia lalu meminta izin pada menara kontrol untuk bergeser ke kanan menuju arah Jabir. Syukurah, permintaan dipenuhi sehingga kami melaju dengan nyaman.
Alun-alun Utara
Stadion Mandala Krida
Sesampai di pantai Congot, pesawat diarahkan ke Timur Laut. Kami melintas di atas kabupaten Kulonprogo. Menjelang pukul lima sore, kami masuk kota Jogja dari arah Barat Daya. Saya menyiapkan kamera video dan mencoba mengenali landmark kota Gudeg. Terlihat Alun-alun Utara, kemudian stadion Mandala Krida, Ambarukmo Plaza. Dan landasan udara Adisucipto terlihat di depan. Pak Agus mengarahkan pesawat ke atas landasan beraspal itu. Badan pesawat agak tergoncang-gocang saat approaching. Begitu mendarat, pesawat langsung dibelokkan ke arah kanan menuju hangar AAU. Kami melewati pesawat latih Charlie Bravo yang diparkir rapi.
Aprroaching Adisucipto
Hangar itu sangat sepi. Tidak ada orang lain selain kami berdua. Semua harus diurus sendiri. Mulai dari membuka pintu hanggar sampai memasukkan pesawat. Pintu hangar itu sangat besar dan terbuat dari besi yang tebal. Otot manusia tak mampu menggerakannya. Maka harus ditarik dengan mobil untuk menggeser pintu hangar itu. Untungnya, pesawat itu sangat ringan sehingga bisa didorong oleh pak Agus sendiri. Saya disuruh memberi aba-aba, seperti tukang parkir, supaya sayap pesawat tidak menyenggol pesawat lain yang juga disimpan di hangar itu.
Selepas Maghrib, mobil yang dikendarai pak Agus sudah keluar dari bandara. Saya minta diantarkan ke Gloria Graha di Kotabaru, Jogja. “Masih ada waktu untuk mengejar sessi saya,” batinku lega. Aku dijadwalkan menyampaikan materi pada pukul tujuh malam.
Begitu saya nongol di Gloria Graha, kelegaan terpancar di wajah mbak Tina. Mas Arie juga sumringah karena tidak jadi ketiban sampur menggantikan saya. Namun masih ada masalah. Makalah yang telah saya kirim via email ternyata tidak ketahuan nyasar sampai ke mana. Saya lalu meminjam internet di sana untuk mencari makalah. Saya bongkar arsip di gmail, tapi nihil. Syukurlah, saya sempat mengunggah makalah itu di blog saya. Saya mengunduh, mencetak dan menyerahkan pada mbak Tina untuk digandakan. Masih ada waktu setengah jam yang saya manfaatkan untuk mandi. Kulit ini terasa lengket oleh keringat dan ditempeli debu-debu perjalanan.
Sebelum ‘tampil’, saya sempat menyambar sepotong roti yang disediakan mbak Tina. Lumayan, bisa mengganjal perut yang kosong. Keletihan badan dan kurang tidur tidak begitu terasa karena tertutupi oleh antusiasme yang ditunjukkan oleh siswa Sekolah Penulisan Gloria.
Pukul sembilan malam, Pelangi menjemput dengan mobil gereja. Kebetulan dia sedang ada rapat di Jogja, sehingga saya bisa menumpang pulang ke Klaten.
Baca Juga:
Lihat Videonya di sini:
__________________
------------
Communicating good news in good ways
cerita mas wawan menarik.
cerita mas wawan menarik. aku udah lihat video yang dilampirkan dalam cerita pertama: pesawat ultra ringan.
Kangen Angsle
Matur nuwun tuan guru Sidik. Doakan aku bisa terbang langsung ke Malang, supaya kita bisa mengobrol lama sambil minum angsle hangat.
------------
Communicating good news in good ways
@mas wawan, terimakasih artikelnya.
@mas wawan,
terimakasih artikelnya,
mengingatkan aku, pernah mendapat kasih karunia di jogja,
belajar mendapat pengetahuan di jogja,
dan mengenal TUHAN dan mengasihi sesama manusia,
mengenal teman-teman antar suku bangsa.
ketentraman dan kedamaian ada dijogja,
untuk masyarakatnya dan kotanya,
terimakasih jogja,
TUHAN memberkati
Nb :
salam untuk eyang terkasih di jogja
Tak punya Eyang
"salam untuk eyang terkasih di jogja"
Saya tidak punya eyang di Jogja. Eyang yang mana?
------------
Communicating good news in good ways