Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pengalaman Naik K.A. Taksaka

Purnawan Kristanto's picture

  

Pertengah bulan Januari ini, keluarga saya pergi ke Jakarta menggunakan jasa kereta api. Berikut ini pengalaman kami:

 

Seminggu sebelum keberangkatan, saya dan isteri saya pesan tiket ke stasiun Tugu.  Lokasi reservasi ada di sebelah selatan rel, masuknya melalui jalan Pasar Kembang.  Begitu masuk ruangan reservasi, saya langsung bisa merasakan penurunan mutu pelayanan kereta api.

 

Biasanya ada seorang satpam yang duduk di bagian resepsionis. Dia akan memberikan nomor antrian kepada calon penumpang.  Selanjutnya, calon penumpang dipersilakan mengisi formulir pemesanan dan menunggu nomor urut dipanggil secara otomatis. Sistem ini kemudian juga dipakai oleh pengelola bank. Dalam hal ini, P.T. K.A.I sebenarnya menjadi pelopor pemakaian sistem antrian elektronik ini di DIY.

 

Sayangnya ketika lembaga pelayanan lain mengikuti sistem ini, P.T. K.A.I justru menghentikan sistem antrian.  Mereka kembali menerapkan sistem antrian fisik. Entah mengapa begitu. Saya menduga karena terjadi kerusakan peralatan.

 

Kami memesan kereta Taksaka pagi. Pada hari H, terjadi keterlambatan pemberangkatan kereta selama setengah jam.  Itu sudah untung, karena kereta Argo Lawu yang semestinya berangkat 15 menit lebih dulu dari kereta Taksaka, justru belum bisa diberangkatkan karena mendadak harus mencopot gerbong ke-8. (Di belakang gerbong ini masih ada gerbong ke-9).

 

Sesaat setelah kereta berangkat, kami mendapat suguhan secangkir teh manis. Setengah dua belas, kami mendapat sajian makan siang. Menunya: nasi putih yang keras, oseng-oseng tempe, telur dadar, ayam goreng, pisang.

 

Secara resmi kereta hanya berhenti lima kali, yaitu di stasiun Kutoarjo, Purwokerto, Cirebon, Jatinegara dan Gambir.  Tapi secara tak resmi, kereta berhenti lebih tiga kali lipat angka resminya.  Secara de jure, pedagang asongan dilarang masuk ke dalam gerbong kereta eksekutif.  Tapi secara de facto, pedagang bebas menjajakan dan bertransaksi ketika kereta singgah agak lama di sebuah stasiun.  Bahkan Polsuska yang mengawal kereta pun tidak ada niat untuk mencegah mereka masuk. Secara resmi, kereta menempuh perjalanan selama delapan jam.  Tapi kenyataannya, kami mendapat bonus satu jam.

 

Meski kecewa dengan pelayanan PT KAI, pulangnya kami tetap memilih kereta juga. Kami tetap memilih Taksaka pagi juga. Dari stasiun Gambir, kereta diberangkatkan terlambat setengah jam.  Melalui pengeras suara, pengatur lalu lintas kereta berkali-kali meminta maaf atas keterlambatan ini. Demikian juga atas keterlambatan kereta Parahyangan ke Bandung, dan juga keterlambatan kereta-kereta lainnya.  Entah, apakah itu benar-benar merupakan rasa penyesalan atau sekadar dari rutinitas pekerjaannya?

 

Pengalaman pulang kami tidak lebih nyaman dari pengalaman keberangkatan. Bahkan mungkin lebih buruk. Suhu A.C. tidak dingin, sehingga anak kami keringatan. Pesawat TV tidak dinyalakan. Bahkan pesawat TV di gerbong kami yang biasanya ada dua, tinggal satu buah saja.  Yang satu sudah tidak ada pesawat TV-nya.

 

Dalam perjalanan pulang ini, saya sempat melihat rangkaian kereta Bengawan yang diparkir di stasiun Karangsari dengan lilitan police line.  Beberapa meter kemudian, saya dapat menyaksikan “bangkai” kereta ekonomi yang anjlok itu masih tergolek di dasar sungai.  Masih ada banyak orang yang berkerumun untuk melihatnya.  Gerbong itu sudah ditutup terpal plastik.

---****-----

Beberapa hari kemudian, harian Kompas (23/01) menurunkan laporan tentang semakin memburuknya kualitas pelayanan dan kinerja pengelola transportasi kereta api.  Koran terkemuka ini menunjukkan indikator-indikator panjang lintasan yang berkurang hingga lebih dari 40 persen. Semakin menurunnya kemampuan persinyalan, hingga angka kecelakaan yang cukup tinggi.

 

Direktur Keuangan PT KAI berkilah, semua itu karena pemerintah menunggak pembayaran subsidi pada PT KAI. Akibatnya mereka terpaksa menurunkan mutu pelayanan.  Salah satunya adalah kanibalisasi.  Mereka juga menerapkan sistem 1-4. Artinya, di antara 4 gerbong, hanya 1 gerbong yang dipasangi rem.  Bulu kuduk saya langsung bergidik.  Pengelola kereta api ini sungguh berani bermain-main dengan nyawa banyak orang!

__________________

------------

Communicating good news in good ways

KEN's picture

Maaf, K.A RI Tak Bermutu

Kejam tuh, yang layak protes gak diprotes, yang sepele diprotes sampe bunuh2an, memang negara aneh. Saya bukannya membanding-bandingkan, tapi lebih ditekankan kepada penyontohan SDM dan sikap hidup yang baik. Di Jepang, KRL-nya sungguh sangat rapi, pada saat antri begitu rapi tanpa diatur orang lain, karena SDM-nya masing2 hidup dengan kesadaran tinggi dan patuh dan punya rasa malu sebagai manusia yang memiliki sifat malu, kenapa negara kita hanya bisa berteriak majukan bangsa? Tapi dalam kenyataannya tak membuktikan apa2.

>>>=GOD=LOVE=YOU=>>