Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Orang Buta Menuntun Orang Buta

Purnawan Kristanto's picture

 

Rapat Persiapan Pemeriksaan Kesehatan

 

 

Saat mempersiapkan aksi sosial operasi katarak, kami seperti orang buta menolong orang buta. Ini adalah ladang pelayanan yang baru. Kami hanya bermodalkan kesediaan, selanjutnya berserah kepada Tuhan untuk memperlengkapi kami. Kami benar-benar buta mengenai kondisi orang-orang yang buta karena katarak ini. Namun dengan bertanya kepada mbah Gugel, kami diberi petunjuk bahwa jumlah penderita katarak di Indonesia itu tertinggi di Asia Tenggara. Tentu saja ini masuk akal karena jumlah penduduk di Indonesia itu paling banyak seasia tenggara. Namun data juga menunjukkan bahwa jumlah pertambahan jumlah pertambahan penderita katarak setiap tahun terlalu besar dibadningkan dengan jumlah penderita yang bisa dioperasi. Karena itu kami memantapkan diri untuk menyiapkan pelayanan ini. Ini kami Tuhan, pakailah kami.

Kami menggandeng dokter Elisa Manueke. Pria asal Manado ini adalah dokter spesialis mata, direktur rumah sakit AU Adisoemarmo, sekaligus anggota TNI AU. Jam terbangnya di dalam aksi sosial katarak ini sangat tinggi. Setiap kali TNI mengadakan hari bakti, dokter Elisa selalu terlibat dalam operasi katarak. Dia memiliki semangat pelayanan yang luarbiasa.

Kebutaan kami yang pertama adalah kami tidak tahu jumlah penderita katarak di Klaten. Dinas Kesehatan kabupaten Klaten tidak memiliki data. Pada awalnya kami merasa was-was tidak banyak orang yang mendaftar.Ternyata kehawatiran itu tidak beralasan. Dengan menggandeng teman-teman dari komunitas lintas agama, kami mulai mempublikasi acara ini. Kami membagi tugas dengan menempelkan poster dan menyebarkan brosur di komunitas masing. Yang Kristen menyasar gereja, sedangkan yang Islam menargetkan pondok pesantren, masjid dan pengajian. Hingga pendaftaran ditutup tanggal 15 Nopember, ternyata ada 410 calon pendaftar! Mereka tidak hanya berasal dari kabupaten Klaten saja, tapi juga kota-kota lain.

 

Rapat koordinasi publikasi

 

 

Kebutaan kami yang kedua adalah soal birokrasi. Ketika pertama kali bertemu dengan dokter Elisa, dia mengatakan bahwa kami tidak perlu memusingkan soal perizinan. "Kita kan mau mengadakan aksi sosial. Masa' untuk berbuat baik akan dipersulit," katanya. Kenyataannya, tidak semudah yang diucapkan dokter Elisa. Mula-mula kami mengirimkan surat pemberitahuan kepada Kanit Intel Polres Klaten karena kami akan mengadakan acara yang melibatkan banyak orang. Hari berikutnya kami dipanggil untuk 'menghadap' bagian intel. Kami ditemui oleh salah satu staf.

"Mana suratnya?" tanya polisi itu.

"Kemarin kan kami sudah kirim pak," jawab kami.

"Mungkin sudah diarsip. Kalau mencari lagi, bisa lama," kilah polisi.

Untung Agus Permadi membawa salinan surat tersebut. Polisi membolak-balik surat.

"Surat ini tidak rapi," celetuk polisi.

"Tidak rapi gimana, pak?" tukasku.

"Surat ini rata kiri"

"Lalu yang rapi itu seperti apa?"

"Yang rapi itu rata kiri dan kanan."

Seketika wajahku langsung memerah karena aku yang menulis konsep surat itu. 'Apa polisi ini tidak penah mengetik menggunakan MS Word?' batinku sengit. Teman-temanku rupanya tahu gelagatku ini.

Ketika kami dipanggil masuk ke ruang intel, aku menyuruh Agus Permadi yang masuk. Aku memilih untuk tinggal di luar karena masih sebal soal perataan tadi.

Di dalam ruangan, polisi bertanya, "Ini acara apa? Kapan dilaksanakan? Siapa penanggungjawabnya?"

Rupanya mereka belum menyentuh surat kami sama sekali. Agus Permadi juga mulai kehilangan kesabaran.

"Semua informasi itu sudah ada di dalam surat pembeitahuan yang kami kirimkan. Silakan bapak baca dulu," kata Gus Per.

Polisi tidak bertanya lagi. Dia hanya minta surat rekomendasi dari Dinas Kesehatan.

 

Pemasangan Spanduk dan Poster

 

 

Maka kami pun mengirimkan surat ke Dinas Kesehatan. Mereka membalas dengan jawaban yang membingungkan. "Kami tidak bisa melarang acara ini, tapi kami juga tidak merekomendasikan." Alasannya, operasi ini tidak dilaksanakan di fasilitas kesehatan. Dinas Kesehatan menyarankan agar operasi dilaksanakan di Puskesmas Jogonalan atau Puskesmas Wedi. Kami merencanakan untuk menggelar operasi ini di gedung pertemuan, namanya Wisma Narwastu. Ini yang tidak disetujui oleh Dinas Kesehatan.

Namun jika dilaksanakan di Puskemas, itu namanya bukan aksi sosial. "Yang namanya aksi sosial itu bisa dilaksanakan di mana saja. Yang penting tempatnya steril," kata dokter Elisa. Biasanya tim dokter akan mensterilkan tempat itu sehari sebelumnya. Setelah itu tidak ada orang yang diizinkan masuk ke ruangan tersebut selain dokter.

Setelah salah satu panitia menghubungi kepala dinas kesehatan, akhirnya dicapai solusi bahwa dokter Elisa akan mengirimkan surat ke Dinas Kesehatan untuk menyatakan bahwa tim dokter yang dipimpinnya akan menjadi penanggungjawab operasi ini. Dinas Kesehatan akan dibebaskan dari tanggungjawab dalam aksi sosial ini. Untuk itu, kami harus mengirimkan surat permohonan ke pengurus daerah Perdami (Persatuan Dokter Spesialis Mata) di Jawa Tengah. Surat pertama ternyata salah. Perdami mengira bahwa surat tersebut berisi permohonan bantuan dokter bedah mata. Itu sebabnya mereka membalas bahwa Perdami menolak permintaan kami untuk kegiatan bulan Desember. Kami harus mengulangi mengirim surat lagi. Intinya, meminta Perdami untuk menugaskan dokter Elisa untuk melakukan operasi pada bulan Desember. Berdasarkan surat tugas itu, dokter Elisa kemudian mengirimkan surat ke Dinas Kesehatan. Namun sebelum surat itu datang, kami ditelepon lagi oleh staf Dinas Kesehatan yang isinya menyatakan keberatan jika operasi tersebut tidak dilaksanakan di Puskesmas. Rupanya kesepakatan dengan kepala dinas tersebut belum dikomunikasikan kepada anak buah. Tak urung, hal ini membuat kepala kami semakin cenat-cenut. Namun begitu kami menerima surat dari dokter Elisa, maka ketegangan pun mulai mereda.

 

Dokter Elisa meninjau tempat operasi

__________________

------------

Communicating good news in good ways

Rusdy's picture

Birokrasi Buset

Ck ck ck, alasannya nggak rapi kiri dan kanan...