Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Oma Gaul
Kemajuan teknologi terutama gadget bukan hanya digandrungi oleh orang-orang muda, tetapi orang-orang tua pun tidak mau ketinggalan untuk bisa mengunakan teknologi canggih tersebut. Hal ini telah membuat saya "direcokin" oleh para oma gaul. Para oma gaul ini datang kepada saya untuk diajari mengunakan gadget, terutama WA. Kebanyakan dari mereka adalah teman-teman dari suster kepala yayasan tempat saya tinggal. Oma-oma yang se-paroki dengan suster kepala biasa datang langsung ke kamar saya untuk diajari cara pakai WA atau lainnya, akibatnya terkadang saya tertular Flu oleh mereka (Flu membuat saya sangat menderita, karena saya tidak punya kekuatan untuk batuk). Tetapi untuk oma yang rumahnya jauh, saya mengajari mereka via telepon.
Di antara oma-oma itu, memang ada yang hidup sendirian. Mereka tidak berkeluarga dan tidak memiliki anak, karena itu tidak ada yang mengajari mereka. Namun ada juga yang memiliki anak dan cucu, dan walaupun mereka tinggal bersama atau berdekatan, anak cucunya tersebut tidak sabaran untuk mengajari orang tua mereka yang mungkin kemampuan belajarnya sudah menurun.
Saya menuliskan hal ini, karena inilah "tantangan" bagi kita sebagai generasi muda, terutama bagi kita yang masih punya orang tua, apakah kita mau dengan sabar mengajari orang tua kita, ataukah kita akan menolak untuk mengajari mereka, karena kita merasa terlalu merepotkan dan buang-buang waktu, karena betapapun seringnya kita mengajari orang tua kita, mereka akan lupa lagi, dan membiarkan saja mereka dalam ketidak tahuan mereka.
Mungkin bagi kita adalah hal yang sepele apakah kita mau atau tidak mau mengajari orang tua mengunakan HP. Tapi tidak demikian bagi orang tua kita. Bagi orang tua, masalahnya bukan hanya mau atau tidak mau kita mengajari mereka, bukan hanya pada akhirnya mereka bisa mengunakan HP atau tidak. Namun lebih dari pada itu, bagi orang tua ini adalah masalah apakah kita mengasihi dan menghormati mereka. Jika kita mengasihi dan menghormati mereka, kita akan bersedia meluangkan waktu untuk mengajari mereka.
Suatu kali seorang ibu minta kepada saya untuk diajari cara memanggil Uber. Dia sudah minta kepada anaknya untuk diajari, tetapi rupanya si anak tidak sabar untuk mengajari ibunya, dan berkata kepada ibunya: "Piteken sembarang ngono loh ma, gak mbeledos gak" ( Tekan saja sembarang gitu loh ma, tidak akan meletus). Ibu ini bercerita kepada saya, sambil saya ajari cara memanggil Uber. Saya mencoba menghibur dia: "Gak apa-apa tante, belajar pelan-pelan, nanti pasti bisa. Karena di jaman tante muda dulu khan tidak ada barang seperti ini". Akhirnya, setelah belajar selama beberapa jam, dengan terus diulang entah sampai berapa kali, tante ini bisa memanggil Uber sendiri. Tapi saya yakin, meskipun ibu ini sudah bisa memanggil Uber sendiri, perkataan anaknya yang menyakiti hatinya tidak mungkin begitu saja terlupakan, karena persoalannya bagi ibu ini bukan hanya dia akhirnya bisa memanggil Uber sendiri atau tidak, tapi lebih kepada apakah anaknya mengasihi dan menghormatinya atau tidak.
Jika kita mengasihi dan menghormati orang tua kita, maka kita akan dengan sabar mengajari orang tua kita, karena Alkitab berkata: Kasih itu sabar ( I Kor 13:4 ). Saat kita bisa dengan sabar mengajari dan memberi semangat kepada orang tua kita, mereka akan dapat merasakan bahwa kita benar-benar mengasihi dan menghormati mereka. Sebenarnya ini adalah kesepatan yang baik untuk menunjukan kasih dan penghomatan kita kepada orang tua. Mungkin kita belum bisa menunjukan kasih kita dengan mengajak orang tua kita berwisata ke tempat-tempat yang indah, atau membelikan mereka barang-barang yang bagus. Tetapi kita dapat menunjukan kasih kita dengan cara sabar mengajari dan menjawab pertannyaan mereka dengan baik dan sopan.
Kemarin seorang teman suster bercerita, dia melihat cucunya mengunakan modem. Ibu ini bertanya: "Apa itu?". Cucunya menjawab: "Modem". Ibu ini bertanya lagi: "Untuk apa modem itu?". Cucunya yang enggan menjelaskan menjawab: "Sudalah eyang ti..... eyang ti gak perlu tau macem-macem". Jadi kemarin saya menjelaskan kegunaan modem kepada ibu ini. Terlepas dari apakah dia benar-benar mengerti atau tidak, tetapi saya sudah berusaha untuk menjelaskan kepadanya, dan itu menunjukan bahwa saya menghargainya.
Semua oma gaul yang saya ceritakan di sini adalah mereka yang keluargannya tidak bersedia mengajari. Bagi orang tua yang keluarganya bersedia mengajari, tentu mereka tidak akan datang kepada saya. Karena bagaimanapun pasti lebih menyenangkan diajari oleh anak cucu sendiri daripada oleh orang lain.
Memang, saya akui terkadang ada beberapa dari oma gaul ini yang sangat menjengkelkan. Saya sudah berusaha sabar mengajari mereka, tetapi justru mereka yang tidak bisa sabar terhadap diri sendiri. Mereka ingin cepat bisa mengunakan semua aplikasi yang ada di HP. Mereka marah kepada diri sendiri jika mereka terus-terusan lupa. Bahkan ada yang kesal ingin membanting HPnya jika terus-terusan salah pencet.
Padahal kebanyakan orang tua, memakai HP hanya berdasarkan hafalan, bukan pengertian seperti orang muda. Kebanyakan orang tua hanya mampu memahami "habis tekan ini, kemudian tekan itu". Sebagai contoh, jika orang tua ingin belajar chating lewat WA, mereka hanya mampu menghafal, tekan gambar telpon hijau bulat yang ada tulusannya whatsapp, tekan kedip-kedip supaya keluar papan tombol ABCD, ketik pesan, terus tekan bulatan hijau sebelah kanan, kalau pesannya sudah naik ke atas dan ada bunyi pluk, berarti pesannya sudah terkirim. Kemungkinan besar, jika kita dikte 1 kali mereka akan lupa lagi. Jadi harus diulang-ulang sampai mereka benar-benar hafal. Selain itu, orang tua tidak mengerti untuk membaca ikon-ikon. Seperti ikon penjepit kertas untuk melampirkan file dll. Perlu waktu lama untuk mengajari orang tua memforward gambar atau video, meskipun mereka sudah bisa chating WA.
Orang tua juga akan kebingungan jika muncul sesuatu "di luar hafalan mereka". Jika iklan yang tidak diharapkan muncul saat membuka aplikasi, atau muncul saran untuk update aplikasi dengan versi terbaru, orang tua akan kebingungan, dan mengira ada sesuatu yang salah. Suatu kali saya mengajar teman suster untuk panggil Uber lewat line. Setelah pengulangan yang tak terhitung banyaknya, akhirnya si ibu "hafal" cara panggil Uber lewat line. Ketika dia mau pulang dan sungguh-sungguh ingin praktek panggil Uber, tiba-tiba saat buka line muncul iklan ( selama dia belajar tidak pernah muncul iklan ). Dia langsung kebingungan: "Loh kok metuh'e ngene" ( loh kok keluarnya begini ). Salah satu anak asuh suster menjawab: "Wong lantase iklan ae tante Ning, kok bingung". Bagi dia orang muda, itu hanya iklan. Tapi bagi si tante, itu adalah sesuatu yang tidak beres.
Jika kita mau melihat kebelakang sejenak. Melihat kembali bagaimana kita saat masih kecil dulu. Bagaimana orang tua kita dengan begitu sabar mengajari dan menjawab semua pertannyaan kita. Tidak peduli seberapapun lelah mereka, tetap dengan senang hati mereka akan mengajari kita. Asalkan kita bisa menjadi "anak yang pintar" mereka akan membayar apapun harganya.
Bisakah kita mengingat kembali pengorbanan orang tua kita, dan membalas segala pengorbanan mereka saat ini. Bersedia mengajari mereka dengan sabar, seperti mereka dulu juga mengajari kita dengan sabar. Menjawab semua pertanyaan mereka, seperti mereka dulu berusaha untuk selalu menjawab semua pertanyaan kita yang tidak ada habis-habisnya sebagai anak kecil yang selalu ingin tahu. Maukah kita untuk membayar apapun harganya, waktu dan tenaga, asalkan orang tua kita menjadi "orang tua yang pintar"?
Saat saya merasa jenuh dalam menghadapi para oma gaul ini, saya akan mengingat masa lalu saya sebagai anak kecil yang tidak bisa apa-apa dan perlu untuk selalu diajar. Memang oma-oma gaul yang sekarang ini saya ajar, tidak ada satupun yang pernah melakukan apa-apa dalam hidup saya, karena saya baru mengenal mereka setelah saya dewasa. Namun saya bisa mengingat dengan jelas, bagaimana Alm. nenek saya dengan susah payah mengajari saya membaca dan menulis sewaktu saya kecil. Nenek saya harus mumbungkuk sedemikian hingga ia bisa menuntun tangan saya untuk memegang pensil dan menulis dengan benar. Saya juga ingat, bagaimana nenek mengulang-ulangi membacakan satu ayat Alkitab sampai saya bisa menghafal dengan baik, karena saya belum bisa membaca sendiri, hanya karena saya ingin mendapatkan stiker saat sekolah Sabat ( sekolah Minggu bagi gereja Advent ) bagi siapa yang bisa menghafalkan ayat yang sudah ditentukan. Sebuah stiker, tidak berarti apa-apa bagi nenek saya. Tetapi ia tahu, stiker itu sangat berati bagi saya. maka, karena kasihnya kepada saya, ia rela menghabiskan berjam-jam waktunya hanya demi mendapatkan sebuah stiker. Ketika saya mengingat kembali apa yang telah dilakukan nenek untuk saya, kembali timbul kasih saya kepada oma-oma gaul tersebut. Dan saya dapat kembali mengajari mereka dengan senang hati.
Gadget telah menjadi hiburan tersendiri bagi para orang tua. Teman-teman suster kepala yang selurunya berusia 60 tahun keatas mengatakan bahwa HP adalah hiburan bagi mereka. Terutama bagi orang tua yang hidup sendirian, HP adalah teman yang setia. Mereka bisa membaca dan mendengarkan renungan harian lewat HP. Bisa menonton lewat HP. Terlebih lagi saat malam jika mereka tidak bisa tidur, HP bisa menjadi teman untuk melewatkan malam yang panjang. Sesama orang tua yang sama-sama tidak bisa tidur, bisa ngobrol lewat WA, juga berbagi gambar atau video lucu yang akan membuat mereka tertawa sendirian malam-malam.
Para orang tua yang sudah pandai memakai WA, menonton Youtube, dan main game ternyata setiap bulannya menghabiskan kuota lebih banyak daripada jatah kuota saya setiap bulannya. Mereka juga memerlukan memory card lebih besar daripada yang saya miliki, karena mereka merasa sayang untuk menghapus gambar atau video kiriman teman-teman mereka. Karena itu, saya menjuluki mereka oma-oma gaul. Karena mereka lebih mengandrungi teknologi canggih daripada saya yang masih muda. Meskipun untuk bisa memakai teknologi canggih tersebut mereka harus belajar dengan susah payah.
Saya merasa gembira saat melihat "murid tua" saya akhirnya mahir mengunakan HP, dan mereka juga merasa bahagia atas apa yang mereka capai. Meskipun para "murid tua" saya tidak memberi saya apa-apa, tapi kegembiraan mereka sudah merupakan berkat bagi saya. Karena dalam keadaan saya sebagai penyandang cacat, saya masih bisa berguna bagi orang lain.
Saya berharap, pengalaman saya ini bisa menginspirasi para orang muda, terlebih lagi mereka yang masih memiliki orang tua, agar kita bisa dengan sabar untuk mengajar orang tua kita jika mereka ingin belajar mengunakan teknologi canggih. Meskipun itu akan menghabiskan waktu dan tenaga kita. Jangan pernah berhenti mengasihi dan menghormat orang tua kita, karena pada saatnya kelak kitapun akan menjadi tua.
Tuhan Yesus Memberkati
- Lily Ika Loesita's blog
- Login to post comments
- 4188 reads
Tua
Seperti pembalakan liar, dosa menyebabkan kerusakan yang sangat parah dan meluas. Akibatnya sampai ke generasi-generasi sesudah kita. Aku akan menanam lebih banyak pohon!